29 Juni, 2008

JAMAN SEKARANG?

Moralitas (etika) bagi sebagian orang hanyalah masalah cita rasa. Semua terserah pada mata orang yang memandangnya. Dalam menyamakan baik dengan merasa baik orang-orang seperti ini 'mengukur moralitas bukan dengan tolok ukur yang berlainan dari dirinya sendiri, tetapi hanya dengan perasaannya sendiri mengenai dirinya. Dalam mencoba mengambil keputusan mengenai bagaimana tindakannya dalam soal moral yang sulit, mereka bukan bertanya 'betulkah ini?', melainkan 'apakah saya merasa sreg dengan tindakan ini'

(Christopher Gleeson, S.J, Menciptakan Keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 9)

26 Juni, 2008

PENAFSIR DASA FIRMAN

Kita mengakui bahwa 10 Perintah Allah (Dasa Firman) disampaikan kepada manusia melalui perantaan Musa. Secara prinsip nilai-nilai yang terkandung pada 10 Perintah Allah tidak dapat ditawar lagi, jika manusia ingin melangsungkan hidupnya secara luhur. Sekalipun demikian, nilai-nilai dari 10 Perintah Allah dapat diterapkan dalam situasi atau konteks tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai 10 Perintah Allah memberi makna yang berbeda dari jaman ke jaman. Misalnya saja, Yesus memberi arti baru tentang nilai tertentu daria Dasa Firman tersebut. Kelak di kemudian hari agaknya Muhammad (nabi umat beragama Islam) pun secara tidak langsung mengenal nilai-nilai Dasa Firman yang pada gilirannya memperkembangkannya. Siapakah Yesus dan Muhammad itu?

YESUS DAN MUHAMMAD

Dari analisis historis, sulit untuk mengingkari peran dan jasa Yesus dan Muhammad, sebagai aktor sejarah yang telah meletakkan fundamen moral dan visi kemanusiaan yang menjadi acuan perilaku ratusan juta penduduk bumi dari masa ke masa. Tulisan ini akan menganalisis peran sosial-historis kedua tokoh tersebut dari sudut pandang kesejarahan dan mencoba memposisikan keduanya lebih sebagai tokoh sejarah dan peradaban daripada sebagai figur orang suci. Keduanya secara gemilang berhasil melahirkan sebuah peradaban religius dengan jumlah pengikut yang melampaui etnis dan bangsa. Dan, sebagian besar di antara mereka memiliki sikap yang sangat militan. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Yesus dan Muhammad merupakan tokoh dan peletak dasar bangunan peradaban dunia yang hingga hari ini masih tetap berdiri kukuh dan - ibarat pohon - bahkan makin tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Jika mengikuti teori elitisme historis yang berpandangan bahwa alur dan warna sejarah itu sesungguhnya dibangun dan dikendalikan hanya oleh sekelompok aktor, maka Yesus dan Muhammad meskipun keduanya telah tiada, sosok dan ajarannya mampu menggerakkan dan mengendalikan perilaku ratusan juta manusia dalam berbagai aspek kehidupan, meliputi bidang politik, moral, lembaga keluarga, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Spirit, ajaran, dan institusi yang dimunculkannya menjadi acuan hidup oleh ratusan jiwa manusia dan senantiasa menyedot pengikut yang amat setia dari abad ke abad. Kesetiaan itu bahkan secara negatif cenderung melahirkan pandangan teologi dan ideologi yang amat eksklusif, yang pada urutannya mengkondisikan munculnya konflik berdarah di antara ke dua umat beragama dengan atas nama Tuhan. Karena itu, secara historis, sungguh sulit menandingi kebesaran dan keluasan pengaruh Yesus dan Muhammad.

Namun secara historis, kedua tokoh ini juga disalahfahami misinya sehingga banyak perang antar pemeluk agama yang telah menodai kebesaran kedua tokoh ini.

Agama dan Perilaku Politik
Meski singkat, sebuah analisis komparatif antara Yesus dan Muhammad dalam pemikiran politik disajikan, antara lain, oleh Hugh Goddad dalam bukunya Christians & Muslim, From Double Standarts to Mutual Understanding (1955). Berbeda dengan Muhammad yang terlahir dalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala, Yesus lahir di tengah masyarakat Yahudi yang sudah menganut faham monoteisme. Dengan demikian, formulasi ajaran dan faham ketuhanan yang dibawakan Yesus memiliki nuansa perbedaan dari Muhammad, terutama pada periode Mekkah yang bercorak hitam putih. Kecuali itu, pergulatan politik antara Yesus dan Muhammad memiliki karakter yang sangat berbeda. Yesus lahir di bawah kekuasaan Roma yang begitu perkasa, sedangkan Muhammad memulai kariernya di tengah padang pasir dalam lingkungan masyarakat nomad. Jadi, garis kehidupan politik di antara kedua tokoh tersebut sejak awal perjuangannya haingga akhir hayatnya secara significan memang berbeda. Umat Kristiani, meskipun pernah mengendalikan kekaisaran Roma, pada akhirnya secara tegas membuat pemisahan antara agama dan politik. Sementara itu, Muhammad dan para pengikutnya justru secara gemilang berhasil membangun dan mewariskan kekuasaan politik. Doktrin Gereja yang mengatakan: "serahkan urusan politik pada negara, sedangkan urusan agama pada gereja" telah turut memperkukuh munculnya faham sekularisme politik di Barat. Terlebih lagi ketika faham rasionalisme dan empirisme berhasil membuktikan bahwa pendekatan rasional-empirikal terhadap persoalan politik lebih ekseptabel dan menyelesaikan persoalan daripada tawaran agama. Karena terbebas dari bayang-bayang doktrin agama, lembaga riset keilmuan dan filsafat humanisme di Barat berkembang sangat pesat dan bahkan menyaingi posisi agama itu sendiri. Dengan demikian, bagi masyarakat Kristiani, kontroversi seputar apakah sebuah negara sebaiknya mengikuti ideologi sekular ataukah religius tidak begitu populer sebagaimana dalam Islam.

Sebaliknya, dalam sejarah pemikiran Islam, baik akibat faktor doktrin keagamaan maupun kisah sukses Muhammad dan penerusnya dalam membangun imperium yang bercorak teokratis, hubungan agama dan negara menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Terutama ketika umat Islam memasuki abad modern. Munculnya negara bangsa dan pluralitas etnis, agama, dan budaya yang merupakan salah satu ciri masyarakat modern telah menimbulkan persoalan teologis, sosiologis, dan politis bagi umat Islam sejak dari Maroko, Turki, Iran, Pakistan, Saudi Arabia dan Indonesia. Analisis terhadap persoalan ini makin tajam dengan munculnya sarjana-sarjana muslim yang studi pemikiran politik di Barat yang mengajukan data empiris dari kegagalan perilaku politik dunia Islam yang kemudian dikomparasikan secara kritis dengan realitas politik negara-negara sekuler yang dinilai relatif lebih demokratis dan lebih sejahtera.

Wacana Masyarakat Madani
Perbedaan visi dan collective memory antara umat Islam dan umat Kristen mengenai hubungan antara agama dan negara juga terlibat ketika kita membicarakan seputar konsep masyarakat madani. Bangunan utama ajaran Yesus lebih menitikberatkan pada kasih dan moral, hampir-hampir tidak membicarakan masalah hukum yuridis serta epistemologi keagamaan sebagaimana dalam cakupan ajaran Islam. Jika dalam wacana keislaman dikenal istilah "Islamisasi Ilmu", "Islamisasi ekonomi", dan istilah lain sejenis, dalam Kristen tidak populer tema semisal "Kristenisasi ilmu pengetahuan", yang lebih berkembang adalah teologi dan etika. Itu pun metodologi dan cakupan bahasannya berbeda dengan tradisi teologi dan etika dalam Islam. Perbedaan karakter doktrin kedua agama ini penting disadari. Dengan demikian, kita lebih mudah memahami mengapa respons umat Islam dan umat Kristiani berbeda ketika membicarakan persoalan agama dan politik.

Mengenai tema masyarakat madani, misalnya, collective memory dan referensi teologis-historis antara umat Islam dan Kristen tidaklah sama. Begitu juga antara mereka yang belajar ilmu sosial di Barat dan yang belajar keislaman di Timur Tengah, masing-masing menggunakan bahan bacaan dan metodologi analisis yang umumnya berbeda. Lehih dari itu, perjalanan sejarah antara umat Islam di dunia Timur dan umat Kristen di belahan barat jelas berbeda. Konsekuensinya sudah tentu tawaran konseptual-ideologis mengenai hubungan agama dan negara pasti berbeda. Dalam hal ini, kalau perbedaan itu masih dalam ranah teori keilmuan, justru sangat positif untuk menghidupkan tradisi dan dinamika intelektual di Indonesia. Tetapi, ketika paham keilmuan telah memasuki wilayah politik praktis yang bersimbiose dengan komitmen ideologi dan keyakinan keagamaan, persoalannya menjadi tidak sederhana karena akan melibatkan konsolidasi dan jurus-jurus politik kelompok-kelompok agama di Indonesia.

Ketika Cak Nur (Nurcholish Madjid) melontarkan gagasannya tentang masyarakat madani, terlihat di sana bahwa dia sangat paham dan sangat apresiatif terhadap elemen-elemen pokok dari konsep civil society yang tumbuh di Barat. Dia bisa mempertemukan khazanah Islam, Kristen, dan Barat yang secara substansial terdapat elemen-elemen yang sejalan dan saling memperkukuh. Tetapi tidak jarang para mubalig menjelaskan istilah masyarakat madani dengan pendekatan dan semangat yang lain sama sekali. Mereka memahami konsep masyarakat madani secara deduktif, dogmatis, dan ahistoris yang kemudian diberi label Islam sehingga menutup wacana kritis. Apa yang disebut masyarakat madani dilihatnya sebagai warisan yang telah jadi (inherited). Padahal, sesungguhnya ini merupakan proyek masa depan (invented). Akibatnya, istilah masyarakat madani berkonotasi eksklusif-ideologis dan menyempit. Karena itu, orang non-muslim dan para ilmuwan sosial merasa tidak at home, bahkan enggan terlibat dalam wacana tersebut. Sebagian ilmuwan sosial dan intelektual non-muslim lalu memilih istilah "masyarakat warga" ataupun civil society karena dianggap lebih netral. Padahal, kalau saja umat Islam lebih menonjolkan konsep dan substansi tentang masyarakat madani, bukannya label dan semangat ideologis, hal itu akan merupakan sumbangan yang amat besar bagi pembangunan masa depan Indonesia yang lebih beradab dan religius yang bisa diterima semua pihak. Kontribusi Islam terhadap khazanah etika politik di Indonesia sesungguhnya cukup kaya dan mendasar. Seperti halnya istilah majelis permusyawaratan rakyat, kedaulatan hukum, asas keadilan, dan lain sebagainya.

Etika Publik dan Etika Komunal.
Agama Kristen yang berkembang di Barat sudah terbiasa dengan pemisahan antara wilayah pribadi, komune gereja, dan wilayah publik yang masing-masing memiliki etika. Kehidupan politik adalah wilayah publik yang rasional dan transparan sehingga terbuka bagi kritik serta harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan pers. Karena wilayah publik, persoalan politik dan kenegaraan harus dipisahkan dari dominasi dan intervensi lembaga keagamaan yang bersifat pribadi dan komunalistik. Pandangan dan pengalaman masyarakat Kristen seperti itu sudah tentu berbeda dengan cara pandang umat Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Apakah pandangan teologis-ideologis ini merupakan doktrin keagamaan yang telah final ataukah warisan dari produk sejarah pemikiran Islam, hal itu bisa diperdebatkan. (Penulis: Komaruddin Hidayat, JATENGPOS, 31/12/1999)

19 Juni, 2008

MATERI PEMBELAJARAN

Pembahasan Dasa Firman pada bagian awal akan mengetengahkan Dasa Firman ke 5, 6 dan 7. Ketiganya secara prinsip ingin melindungi nilai-nilai yang paling pokok dalam hidup. Selain itu, semua kebudayaan menerimanya. Dasa firman ke 5: "Jangan membunuh" akan dibahas terlebih dahulu mengingat betapa pentingnya menghargai hidup manusia. Beberapa peristiwa / kejadian menunjukkan bahwa penghargaan dan perawatan hidup manusia di kalangan remaja masih memprihatinkan. Beberapa peristiwa yang sempat menjadi berita di koran, seperti:
1. "Geng di SMA 34 Siksa Yunior". Mau lihat blognya?
2. "Lima siswa diberhentikan, Gazper bubar"
3. Teror di lingkungan sekolah
Reaksi terhadap sikap yang tidak menghargai kehidupan dalam kasus bullying bermunculan. Misalnya saja:
1. "Bullying" ancam pembangunan manusia.
2. Apa untungnya menggencet adik kelas?
3. Stop kekerasan di sekolah
Opini terhadap bullying muncul di media cetak, antara lain:
1. Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan
2. Masih mau kekerasan?
3. Jaringan untuk cegah kekerasan
4. Membaca dan agresivitas

18 Juni, 2008

Dasa Firman dari Teks Kitab Suci

Rumusan Dasa Firman atau Sepuluh Perintah Allah yang biasa kita kenal dapat kita ketemukan di Kitab Keluaran 20, 1-17 dan Kitab Ulangan 5, 6-21. Apakah anda berminat memeriksanya ?

17 Juni, 2008

Musa Tokoh Antara

Musa menjadi perantara bagi umat manusia ketia menerima Dasa Firman yang berguna dalam kehidupan. Ingin tahu informasi tentang Musa dalam bahasa Indonesia ? Atau dalam bahasa Inggris ?

Buku Sumber Inspirasi

Buku-buku:
1. Anne D. Mather & Louise B. Weldon, Character Building Day by Day, (ed. Eric Braun), Minneapolis, 2006
2. David Isaacs, Character Building, A Guide for Parents and Teachers, Navarra, Four Courts Press, 2001
3. Don Trent Jacobs & Jessica Jacobs-Spencer (with contribution from Richard M. Jones and Edwin J. Dawson), Teaching Virtues, Building Character Across the Curriculum, London, The Scarecrow Press, Inc., 2001
4. Edward F. DeRoche & Mary M. Williams, Educating Hearts and Minds, A Comprehensive Character Education Framework, California, Corwin Press, 2001
5. Gordon S. Wood, Revolutionary Chracters, What Made The Founders Different, New York, 2006
6. John McCain with Mark Salter, Character Is Destiny, Inspiring Stories Every Young Person Should Know and Every Adult Should Remember, New York, Random House, 2005
7. Karen Miles, The Power of Loving Discipline, London, Penguin Books Ltd. 2006
8. Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools, Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life, San Fransisco, Jossey-Bass, 1999
9. Marge Rizzo and Joy Brown, Building Character Through Community Service, Strategies to Implement the Missing Element in Education, Oxford, Rowman & Littlefield Education, 2006
10. Mark Timmons, Conduct and Character, Reading in Moral Theory (5th edition), London, Thomson, 2006
11. Pamela Jaye Smith, Inner Drives, How to Write & Create Characters Using the Eight Classic Centers of Motivation, Studio City, CA, Michael Wiese Production, 2005
12. Robert Brooks, Ph.D & Sam Goldstein, Ph.D, Raising A Self - Disciplined Child, Help Your Child Become More Responsible, Confident, and Resilient, New York, McGraw Hill, 2008
13. Roxane Henkin, Confronting Bullying, Literacy as A Tool for Character Education, Portsmouth, Heinemann, 2005
14. Sharron L. McElmeel, Character Education, A Book Guide for Teachers, Librarians, and Parents, Colorado, Teacher Ideas Press, 2002

16 Juni, 2008

Dasar Etika


DASA FIRMAN (10 PERINTAH ALLAH) SEBAGAI DASAR ETIKA
1. Berasal dari tradisi kitab suci yaitu: Kitab keluaran 20, 1-17 dan Kitab Ulangan 5, 6-21
2. Diakui oleh agama-agama seperti: Yahudi, Kristen, Katolik
3. Merupakan rangkuman moral yang bersifat mutlak dan abadi
4. Sebagai bahan pelajaran bagi calon orang beriman (kristiani)
5. Menjadi pedoman agar kehidupan manusia berlangsung terus
6. Sebagai bekal agar kelak di kemudian hari orang muda memiliki karakter kokoh