23 September, 2008

Kapan Musim Korupsi Berakhir ?

"Desakan beberapa anggota DPR merevisi UU KPK dan memotong kewenangan penyadapan adalah sebuah kemunduran. Sadar atau tidak, wacana itu akan dilihat sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi. DPR seolah menempatkan diri sebagai musuh, mencoba menggerogoti kewenangan KPK.

Kegerahan itu agaknya berangkat dari tindakan KPK yang menggunakan strategi "prioritas sektor". Dalam catatan Transparency International (TI) Indonesia, posisi legislatif dan partai politik sebagai sektor terkorup, selain penegak hukum, selalu bertahan sejak 2005-2007.

ICW melihat fenomena ini dari kinerja penindakan KPK jilik II. Setidaknya ada tujuh tersangka di sektor legislatif, atau sekitar 28 persen dari 25 tersangka yanga sudah diproses sejak Desember 2007 - Agustus 2008. Bahkan, satu per satu dari 52 anggota DPR, baik mantan atau masih aktif, ada pada posisi riskan karena diduga terkait kasus Rp 100 miliar aliran dana Bank Indonesia.

Upaya KPK itu mengancam kelompok koruptif DPR sehingga mudah mengargumentasikan, upaya pelemahan KPK berangkat dari kecemasan. Dalam Independent Report yang disampaikan koalisi NGO/LSM pada UN convention Against Corruption (UN-CAC) ke-2 Januari 2008 disimpulkan, pelemahan dan deligitimasi institusi merupakan faktor penting kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Deligitimasi lembaga antikorupsi, seperti KPK, merupakan pola berulang. Menurut catatan ICW, sudah tujuh institusi yang awalnya dibentuk untuk memberantas korupsi, tetapi akhirnya dibubarkan saat mencoba menyentuh kekuasasan...........

Persekongkolan elite politik untuk melawan upaya pemberantasan korupsi harus dilihat sebagai ancaman terhadap demokrasi dan kepentingan rakyat. Jika DPR benar-benar memusuhi pemberantasan korupsi, artinya mereka sedang memosisikan diri melawan rakyat Indonesia.
(Sumber: Febri Diansyah, "Musuh Pemberantasan Korupsi", dlm.: Kompas, 16 September 2008, hlm. 6)

15 September, 2008

MENATA HATI

"...Dalam psikologi, ada prinsip yang disebut Gestalt, yakni kesatuan tak terpisahkan. Kita membicarakan jari dalam hubungannya dengan tangan; kita membicarakan tangan dalam hubungannya dengan badan. Membicarakan salah satunya berarti membicarakan semua.

Prinsip yang sama bisa membantu memahami perilaku Ryan (seseorang, ed). Membicarakan penyimpangan Ryan (seseorang, ed) berarti membicarakan perlakuan masyarakat terhadap dirinya. Membicarakan perlakuan masyarakat berarti membicarakan perlakuan masing-masing kita. Karena itu, jika ingin mencegah munculnya Ryan-Ryan (penyimpangan orang, ed) yang lain, kita harus menemukan obatnya dalam diri kita sendiri.

Konfusius memberi resep Gestalt, "Untuk menyehatkan dunia, kita lebih dulu harus menyehatkan bangsa; untuk menyehatkan bangsa, kita lebih dulu harus menyehatkan keluarga; untuk menyehatkan keluarga, kita lebih dulu harus menyehatkan kehidupan pribadi, kita harus menata hati dengan benar".
(Sumber: YF La Kahija, "Ryan dan Kita", dlm. Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008).

02 September, 2008

MANUSIA ETIS

"...Bagaimanakah dapat terbangun budaya bersih, transparan, dan bertanggung jawab jika budaya korup ("cuci tangan" dari problematika) masih merajalela ? Harus diakui, celah-celah korupsi tetap menganga dalam hampir semua instansi pemerintah (RT, polisi, jaksa, hakim, hingga lembaga tertinggi ). Justru itu, proses pembongkaran kasus korupsi perlu menimbang mentalitas korup untuk menggunakan kebebasan tanpa tanggung jawab.

Dampak
Kompleksitas (penanganan) korupsi di Tanah Air terletak pada penanganan superfisial atas budaya "cuci tangan" sejumlah pejabat teras. Seakan-akan pesan dalam adagium klasik corruptio optimi pessima (pembusukan mereka yang berkedudukan tertinggi adalah terjelek) tak dikenal para penggerak roda pemerintahan RI. Keberanian dan kesediaan untuk mengakui perbuatan salah masih amat rendah. Contoh, para tokoh korupsi moral (Kain-Habel, Hitler, Karadzic), korupsi politik (P Pilatus, Nero, Ferdinand Marcos), korupsi keuangan (Soeharto, Marcos) berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak tanggung jawab. Mereka seolah tidak melakukan perbuatan koruptif.

Masalahnya, mengapa budaya "cuci tangan", yang mengingkari seluruh subsistem, interdependensi, dan interconnectedness dalam hidup sosial berkembang subur di tengah kebebasan moral? Dampak sosial setiap tindakan personal tak tersangkalkan. Bukankah korupsi seorang pejabat negara berarti merampas dan merugikan hak-hak hidup sekian banyak anak bangsa? Tindakan "cuci tangan" jelas mencemari habitat bersih dan nonkoruptif (bdk. Boff, Ethik fuer eine neue Welt, 2000,106).

Etos tanggung jawab
Budaya "cuci tangan" dalam era reformasi ini perlu segera direspons dengan etos tanggung jawab sebagai kapasitas etis yang mampu memilah tindakan yang bernilai atau tidak.

Manusia berkepribadian moral umumnya tidak berani sembarangan melakukan sesuatu tanpa tanggung jawab (Ethics, 1926: Nicolai Hartman). Watak khas manusia sebagai makhluk etis akan luntur jika manusia tidak hidup dalam kesadaran akan tanggung jawab (G Piana, Liberta e responsibilita, NDTM, 672-73).

Semestinya nilai tanggung jawab, kejujuran, dan transparansi yang sepadan dengan trustworthiness segera disosialisasikan .....
(Sumber: William Chang, "Budaya 'cuci tangan'" dlm. Kompas, 1 September 2008, hlm. 6)