02 Mei, 2009

Keadilan dan Tanggung Jawab

Kata 'keadilan' dapat diperbandingkan dengan kata Inggris 'justice'. Kata Inggris ini berasal dari kata Latin 'iustitia' yang artinya keadilan dan yang asalnya adalah kata 'ius'. 'Ius' sendiri berarti hak. Dengan demikian, 'iustitia' sendiri mempunyai dua wajah - hak saya dan hak orang lain. Dua segi ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. (Hlm. 126)

Tanggung jawab sayalah menghormati dan menjamin hak-hak orang lain. Ini terletak dalam inti keadilan. Jika saya menghargai kebebasan orang lain, saya menghormati kekuasaan yang adil, kekuasaan yang menyeimbangkan kebebasan seorang pribadi dengan kebebasan pribadi lain. Saya pun harus menghormati hak pribadi lain untuk berbeda. Saya harus menaati hukum keluarga, kota, dan negara yang dirancang untuk mengatur dan mempertahankan kebebasan bagi semua. Memberikan jaminan bahwa melindungi hak-hak orang lain merupakan tanggung jawab saya ada di inti keadilan sebagai nilai. (Hlm 127)

Kualitas keadilan di dalam suatu masyarakat dapat dinilai dari cara-cara masyarakat itu memperlakukan anggotanya yang paling lemah.... Keadilan benar-benar diterapkan di dalam suatu masyarakat secara penuh apabila hak-hak semua anggota dihargai dan dijamin. (Hlm 128)

(Christopher Glesson, SJ, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai-nilai dan Kebebasan, (terj. Willie Koen), Jakarta, Gramedia, 1997)

Kebiasaan Cara Memahami

"... Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of understanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.

Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.

Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam..."

(Gede Prama, "Kekalahan, Kemenangan, Keindahan", dalam Kompas, Sabtu, 25 April 2009, hlm. 6)

29 April, 2009

Berbohong Demi....


"Sudah pasti, berbohong untuk menyelamatkan muka atau berdusta yang dapat membuat 'orang berbuat hal-hal jahat dengan hati nurani jernih' patut disayangkan. Apabila masalah hanya menyangkut satu orang, maka pantas diharapkan oleh semua orang bahwa kebenaran akan diungkapkan, dan ada alasan untuk berharap bahwa kebenaran akan diungkapkan, dan ada alasan untuk berharap bahwa yang menceriterakan akan mendapatkan akibat-akibat dari pengungkapannya. Menahan kebenaran dapat mempunyai akibat mencelakakan sebagai pemutarbalikan yang disengaja."

(Christopher Glesson, SJ, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai-nilai dan Kebebasan, (terj. Willie Koen), Jakarta, Gramedia, 1997, hlm.120)

Kebiasaan Berbohong dan Kepercayaan


"...Seorang ahli ilmu jiwa mengklaim bahwa setiap orang rata-rata berbohong sekitar lima sampai lima belas kali tiap minggunya (hlm. 116). Saya yakin bahwa ada beribu-ribu orang biasa yang dengan setianya menghayati komitmen terhadap kebenaran-kebenaran khusus mereka setiap hari, apa pun kurbannya. Namun orang-orang ini dan kesetiaan mereka pada kebenaran tidak membuat berita (hlm. 117). Tidak ada hal lain yang memerosotkan kepercayaan seperti hal berbohong, dan tanpa kepercayaan jaringan keluarga dan masyarakat akan segera rontok. Keadaan itu pun boleh jadi menjadi tanda-tanda zaman bahwa anak-anak muda semakin jauh dari kebenaran dalam situasi disipliner daripada generasi-generasi sebelumnya (119).

(Christopher Gleeson, SJ, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebenaran, (terj. Willie Koen), Jakarta, Gramedia, 1997).

04 April, 2009

Berani Menanggung Resiko Profesional

".... Secara pribadi, Theresia sudah bulat untuk mengundurkan diri dari korps yang telah dinaunginya selama 26 tahun itu. Theresia mengungkapkan terpaksa memilih penguduran diri itu karena kecewa. Ia mengaku sudah tidak kuat menghadapi tekanan yang diterimanya dari beberapa pihak. 'Ini sudah penindasan,' katanya tanpa merinci pihak yang dimaksud. 'Memang orang seperti saya harus 'dibunuh' (dibuang). Saya kan tidak bisa kotor.' tutur wanita yang akrab disapa Bunda itu.

Kepolisian Daerah Metro Jaya berencana memindahtugaskan Theresia dari kepala polsek menjadi penyidik Unit V Satuan IV / Satuan Remaja Anak dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Padalah jabatan sebagai penyidik itu biasanya dipegang oleh polisi berpangkat inspektur dua.

Wanita 49 tahun ini sudah mengetahui isi telegram rahasia mutasi dirinya pada 28 Maret lalu dari seorang tokoh masyarakat. Namun, hingga kemarin, Theresia belum menerima surat pemindahan secara resmi.

Theresia menduga pemutasian dirinya terkait dengan pengungkapan kasus aborsi dengan tersangka Juniaun alias Atun dan dr Agung Waluyo di wilayahnya pada akhir Februari lalu. Itu lantaran pada 12 Maret lalu kuasa hukum Agung mengirimkan surat keberatan berisi dugaan pelanggaran atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dilakukan Theresia terhadap kliennya.

Surat yang ditembuskan, antara lain, kepada Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat dan Kepala Pola Metro Jaya itu berisi tudingan bahwa Theresia melarang pengacara bertemu dengan kliennya. Setelah surat itu muncul, Theresia mengetahui kabar ia dimutasi.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Chryshanda menilai keputusan mutasi Theresia sebagai hal yang wajar. 'Tidak ada yang janggal.' ujarnya. Dia malah balik bertanya, 'Apakah perpindahan dari kepala polsek menjadi penyidik sebuah demosi?'

Adapun anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adnan Pandupraja, menilai janggal demosi tersebut. Menurut dia, Theresia merupakan figur yang relatif berprestasi dalam mengungkap sejumlah kasus kriminal. 'Dia cukup profesional.'

(Koran Tempo, Sabtu, 4 April 2009, hlm A3)

30 Maret, 2009

Kompetensi dan Budi yang Luhur

Perusahaan telekomunikasi Telstra Selandia Baru, menyewa seorang penjebol komputer sebagai penasehat pemberantasan kejahatan digital. Owen Thor Walker, 18 tahun, sang penjebol, sampai akhir tahun ini berdinas di perusahaan telekom TelstaClear, cabang baru dari perusahaan telkom Australia. Dua tahun lalu, Walker mengaku bahwa ia adalah otak di balik kelompok internasional penjebol komputer. Kelompok tersebut menggunakan sistem yang dikembangkan oleh mereka sendiri untuk menjebol komputer yang menghasilkan jutaan euro. Walker yang saat itu masih di bawah umur dibebaskan dari hukuman setelah mengakui kejahatannya. Menurut TelstraClear Walker kini menggunakan keahliannya untuk tujuan baik di perusahaan tersebut.

(Radio Nederland Wereldomroep, tanggal 25 Maret 2009: 'Penjebol komputer bekerja di Telstra')

28 Maret, 2009

Belajar menjadi pengurus

Banyak kaum muda gampang sekali hanyut terbawa oleh idealisme gerakan lingkungan hidup pada taraf dunia. Akan tetapi, pesan yang mengemukakan: 'berpikirlah secara dunia, bertindaklah secara lokal' haruslah terungkap dalam kehidupan sehari-hari dan segala kegiatan kepengurusannya, bahkan sederhana sekalipun. Benarlah bahwa keprihatinan akan pemotongan pohon-pohon di hutan semisal di pulau Kalimantan dan Sumatera yang tanpa batas. Namun, kita sebaiknya berpikir dan memegang prinsip yang sama untuk diterapkan secara konkrit. Ekologi terdekat yaitu: (lingkungan) sekolah, rumah terutama tempat tidur tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Berlatih menjadi pengurus / kepemimpinan bisa berawal dari bagaimana mengurus 'sarangnya' sendiri: ekologi terdekat.

(Bdk. Christopher Gleeson, S.J. Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, (terj. Willie Koen), Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 109)

Jika bukan milikmu, kembalikan...

Adalah seorang terpelajar. Ia menyatakan, bahwa semua ilmu tertentu (teogi moral) dapat ditulis di balik perangko, yakni Jika bukan milikmu, kembalikan! Jika milikmu, biarkan - jangan diganggu! Kendati hal ini benar jika dikaitkan dengan curi mencuri yang diliput dalam perintah ke tujuh, namun ada satu pesan positif yang tak disebutkan dalam ringkasan itu. Memelihara planet kita dengan baik menuntut dari kita sebuah keprihatinan sejati terhadap semua harta jasmani, baik milik kita sendiri maupun milik orang lain. Oleh karena itu yang kita bicarakan di sini sebenarnya adalah soal mengurus - soal kesanggupan kita untuk bertindak sebagai pengurus sekaligus penjaga bagi barang-barang dunia yang diserahkan kepada kita.

(Christopher Gleeson, S.J, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, (terj. Willie Koen), Jakarta, Gramedia 1997, hlm 107)

31 Januari, 2009

Hubungan Intim dan Kesetiaan

"Hubungan intim dan kesetiaan kait-mengkait. Hubungan intim hanya dapat tumbuh dan berkembang subur jika ada komitmen. Dari sini muncullah ucapan, Memadu jiwa dan raga. Sedemikian banyak pemikiran dan omongan tentang seks hanya berpusat pada segi jasmaninya saja. Di lain sisi kita harus berpikir bahwa seksualitas merupakan komponen sedemikian dasar pada kepribadian kita. Apabila kita melupakan segi emosional dan spiritualnya, langkah ini pastilah merugikan. Untuk memenuhi perintah Yesus....'Cintailah satu sama lain, seperti halnya Aku mencintai engkau, kalianpun harus saling mencintai' (Yohanes 13: 34), sasaran kita adalah belajar cinta tanpa syarat atau tanpa ketentuan-ketentuan, tanpa tali terikat di tempat lain, bulat tanpa sudut tanpa segi. Cinta yang sedemikian tak bersyarat itu dapat dipelajari dalam hubungan setia dan abadi di mana tubuh dan jiwa lengkap-melengkapi dan dukung mendukung."

(Sumber: Christopher Gleeson, S.J, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 99)

Secukupnya saja

"Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.

Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.

Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsfat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jadi dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.

Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski 'moral' di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katanlah kesuksesan...........

Apa arti secukupnya ? Minimalis ? Siapa yang bisa mengatakan 'sudah cukup' atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk 'cukup, tahu batas'.

Bagaimana rasio bisa melakukannya ? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mamu mengatakan 'cukup'. Rasio hanya bisa mengatakan 'cukup' manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaiana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.

Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan 'cukup'. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan 'cukup'......

(Sumber: A Setyo wibowo, "Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan", dlm. Kompas, 25 Oktober 2008, hlm. 7)

Moral pun ada ukurannya

"... Dalam pusat kota Rhodos, ibu kota pulau Yunani dengan nama sama, sekarang beridiri sebuah patung untuk menghormati warga pulaunya dari zaman kuno itu. Di bawah patung itu terukir kata-kata Yunani metron ariston yang berarti 'ukuran adalah yang terbaik'. (Boleh dicatat, kata meter kita berasal dari kata Yunani metron ini.)

Peribahasa ini diwarisi kepada kita sebagai pandangan Kleobulos yang membuat dia tergolong orang bijak. Tetapi yang menarik, kata-kata ini tidak menyuarakan suatu pendapat pribadi orang Rhodos ini. Serentak juga kata mutiara ini merumuskan suatu ciri khas kebudayaan Yunani kuno pada umumnya. Dan sukses semboyan ini dalam kalangan Yunani di kemudian hari hanya dimengerti, karena mereka mengakui di sini suatu kunci identitas kebudayaan Yunani.

Berpegang pda ukuran tidak saja merupakan norma atau cita-cita yang diharapkan menandai perilaku manusia, tetapi sudah merupakan kenyataan yang berhasil diwujudkan dalam dunia jasmani...

Secara khusus kriteria ukuran itu berlaku untuk tingkah laku moral. Dalam segalanya yang kita lakukan harus kita berpegang pada ukuran. Barangkali semboyan Kleobulos tadi terutama dimengerti oleh masyarakat Yunani dalam konteks tingkah laku moral ini....

Bangsa Yunani kuno memberi kontribusi besar kepada peradaban dunia di kemudian hari. Dalam hal tahu ukuran pun kita masih dapat belajar dari mereka, khususnya dalam konteks perilaku moral. Tidak perlu kita menganut suatu radikalisme, untuk menjalani kehidupan moral yang baik. Tidak perlu kita menghindari semua perbuatan berisiko. Kita boleh saja terjun dalam lalu lintas kendaraan, asal tahu ukuran dan tidak ngebut. Kita boleh saja menikmati makanan, minuman, rekreasi asal berpegang pada ukuran. Dalam semua situasi ini dan dalam banyak hal lain lagi berlaku kearifan Kleobulos 'ukuran adalah yang terbaik'...

(K. Bertens, Sketsa-sketsa Moral, Yogyakarta, Kanisius, hlm 181-183)

Kemungkinan seorang homoseksual menikah

".... Jika homoseksualitas tidak merupakan penyakit dan tidak pula merupakan kelainan dalam artian keadaan jiwa tidak normal, maka kaum homoseks harus diberi hak yang sama seperti orang lain. Kaum homoseks hanya mempunyai orientasi seksual yang berbeda. Orientasi seksual mereka terarah kepada sesama jenisnya, sama seperti heteroseks memiliki orientasi seksual terarah kepada lawan jenisnya. Sifat yang berbeda itu tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasi mereka. Mestinya kaum homoseks diberi semua hak seperti orang lain, termasuk hak untuk menikah. Relasi hidup antara sesama jenis harus disetarafkan dengan lembaga perkawinan yang sampai sekarang dibatasi pada orang yang berbeda jenisnya. Sudah waktunya keadaan diskriminatif itu segera dihapus. Demikianlah pemikiran yang berdasarkan pendekatan hak.

Mereka yang menolak dibukanya lembaga perkawinan bagi kaum gay dan lesbian mempunyai pendekatan moral yang sama sekali lain. Mereka mendasarkan diri atas pemikiran hukum kodrat. Menurut kodratnya - mereka tegaskan - seksualitas mengandaikan polaritas antara pria dan wanita. Membuka lembaga perkawinan untuk kaum sejeins mengandung kontradiksi besar, karena perbedaan jenis kelamin justru termasuk hakikat hubungan perkawinan itu sendiri. Mengakui perkawinan homoseks sama dengan menjungkirbalikkan hukum kotrad dan karena itu mengacaubalaukan tatanan moral.

Sudah dapat diperkirakan bahwa orang beragama tanpa ragu-ragu memihak pada pemikiran hukum kodrat ini. Orang beragama menandaskan bahwa polaritas seksual dimaksudkan dan diciptakan oleh Tuhan untuk menurunkan kehidupan. Dengan demikian, penyatuan suami istri dalam perkawinan merupakan lembaga ciptaan Tuhan, yang tidak bisa diubah manusia. Karena itu tanpa ragu-ragu orang beragama bergabung dengan pihak yang menolak kemungkinan perkawinan homoseks. Ini tentu tidak berarti bahwa agama tidak mau memahami situasi hidup serba sulit yang dialami orang homoseks. Agama bersedia juga mengakui terjadinya banyak perlakuan kurang adil terhadap mereka di masa lampau. Diskriminasi terhadap mereka dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan. Tetapi agama akan selalu mempertahankan (dengan pengecualian beberapa teolog dan pemuka agama yang 'dijangkiti' oleh pemikiran hak) bahwa penyatuan suami istri dalam perkawinan direncanakan Tuhan untuk menurunkan kehidupan. Manusi tidak pernah bisa meniadakan rencana Tuhan itu.

Tidak kebetulan, jika upaya untuk mengakui perkawinan homoseks terjadi berbarengan dengan berkurangnya pengaruh agama di bidang moral. Gejala sekularisasi memang merupakan suatu ciri khas yang menandai zaman kita, khususnya di dunia Barat, tapi tidak secara eksklusif di situ. Tata nilai moral semakin dilepaskan dari konteks agama....

Tidak sulit untuk diramalkan bahwa perdebatan tentang status hubungan hidup antara pasangan sejenis akan berlangsung terus dalam dekade-dekade mendatang. Dalam perjuangan ini mungkin pemikiran hak yang radikal tidak akan berhasil dalam mencapai status perkawinan bagi relasi homoseks. Rupanya hal itu tidak mungkin karena akan mengubah sama sekali arti perkawinan. Perkawinan menjadi lembaga lain, kalau dilepaskan dari kemungkinan untuk menurunkan kehidupan. Dalam hal ini pemikiran hukum kodrat mempunyai peluang besar untuk menanf. Akan tetapi, dengan itu masih tinggal kemungkinan lain. Bisa saja, bahwa relasi hidup antara pasangan sejenis mendapat suatu status legal yang resmi tersendiri, secara analog dengan lembaga perkawinan. Status legal itu bisa dikaitkan dengan banyak hak dan privilese yang dimiliki oleh lembaga perkawinan, seperti hak warisan, dan sebagainya. Tetapi segera timbul pertanyaan apakah status legal yang baru itu bisa diterima juga pada taraf internasional. Dalam lembaga perkawinan, orang yang menikah di suatu negara, diakui juga sebagai pasangan suami istri di negara lain. Hal itu tidak mungkin dengan pasangan sejenis. Pluralisme moral seperti itu masih relatif mudah ditampung dan diatur dalam masyarakat yang terbatas, tapi lebih sulit diatur pada taraf internasional.

Suatu pertanyaan penting ialah apakah kepada pasangan sejenis harus diberikan juga hak untuk mengangkat anak. Mayoritas Parlemen Belanda memang mendukung kemungkinan ini (dengan perbandingan suara 83 setuju dan 58 menolak), sebagaimana sebelumnya sudah dilakukan oleh Parlemen Eropa. Tetapi banyak orang yang masih bisa menerima status resmi bagi pasangan sesama jenis mempunyai keberatan untuk memberikan mereka hak mengadopsi anak. Yang menarik ialah bahwa keberatan mereka berasal dari pola pikiran hak. Dalam mempertimbangkan izin bagi pasangan gay atau lesbian untuk mengangkat anak, kita tidak saja harus memperhatikan pasangan tersebut, melainkan juga hak anak yang akan diangkat. Hak anak malah harus diutamakan. Setiap anak memunyai hak untuk dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung perkembangannya. Sebagaimana diketahui, anak yang diadopsi dalam kelurga 'normal' pun sering mengalami kesulitan khusus untuk berkembang secara harmonis. Ia lebih sulit mencapai identitasnya ketimbang anak-anak lain, karena ia dibesarkan terpisah dari asal-usul biologisnya. Untuk anak angkat dari pasangan homoseks, kesulitan ini akan bertampah besar. Bagaimana anak ini dapat menemukan jati dirinya? Bagaimana anak ini dapat mempertahankan diri di tengah teman-temannya di sekolah dan tempat lain? Sejauh dapat kita atur sendiri, anak harus diberikan kesempatan paling optimal untuk berkembang menjadi pribadi yang seimbang......

(Sumber: K. Bertens, Perspektif Etika, Esai-esai tentang masalah aktual, Yogyakarta, Kanisius 2001, hlm. 154-156)