31 Januari, 2009

Hubungan Intim dan Kesetiaan

"Hubungan intim dan kesetiaan kait-mengkait. Hubungan intim hanya dapat tumbuh dan berkembang subur jika ada komitmen. Dari sini muncullah ucapan, Memadu jiwa dan raga. Sedemikian banyak pemikiran dan omongan tentang seks hanya berpusat pada segi jasmaninya saja. Di lain sisi kita harus berpikir bahwa seksualitas merupakan komponen sedemikian dasar pada kepribadian kita. Apabila kita melupakan segi emosional dan spiritualnya, langkah ini pastilah merugikan. Untuk memenuhi perintah Yesus....'Cintailah satu sama lain, seperti halnya Aku mencintai engkau, kalianpun harus saling mencintai' (Yohanes 13: 34), sasaran kita adalah belajar cinta tanpa syarat atau tanpa ketentuan-ketentuan, tanpa tali terikat di tempat lain, bulat tanpa sudut tanpa segi. Cinta yang sedemikian tak bersyarat itu dapat dipelajari dalam hubungan setia dan abadi di mana tubuh dan jiwa lengkap-melengkapi dan dukung mendukung."

(Sumber: Christopher Gleeson, S.J, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 99)

Secukupnya saja

"Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.

Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.

Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsfat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jadi dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.

Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski 'moral' di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katanlah kesuksesan...........

Apa arti secukupnya ? Minimalis ? Siapa yang bisa mengatakan 'sudah cukup' atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk 'cukup, tahu batas'.

Bagaimana rasio bisa melakukannya ? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mamu mengatakan 'cukup'. Rasio hanya bisa mengatakan 'cukup' manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaiana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.

Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan 'cukup'. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan 'cukup'......

(Sumber: A Setyo wibowo, "Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan", dlm. Kompas, 25 Oktober 2008, hlm. 7)

Moral pun ada ukurannya

"... Dalam pusat kota Rhodos, ibu kota pulau Yunani dengan nama sama, sekarang beridiri sebuah patung untuk menghormati warga pulaunya dari zaman kuno itu. Di bawah patung itu terukir kata-kata Yunani metron ariston yang berarti 'ukuran adalah yang terbaik'. (Boleh dicatat, kata meter kita berasal dari kata Yunani metron ini.)

Peribahasa ini diwarisi kepada kita sebagai pandangan Kleobulos yang membuat dia tergolong orang bijak. Tetapi yang menarik, kata-kata ini tidak menyuarakan suatu pendapat pribadi orang Rhodos ini. Serentak juga kata mutiara ini merumuskan suatu ciri khas kebudayaan Yunani kuno pada umumnya. Dan sukses semboyan ini dalam kalangan Yunani di kemudian hari hanya dimengerti, karena mereka mengakui di sini suatu kunci identitas kebudayaan Yunani.

Berpegang pda ukuran tidak saja merupakan norma atau cita-cita yang diharapkan menandai perilaku manusia, tetapi sudah merupakan kenyataan yang berhasil diwujudkan dalam dunia jasmani...

Secara khusus kriteria ukuran itu berlaku untuk tingkah laku moral. Dalam segalanya yang kita lakukan harus kita berpegang pada ukuran. Barangkali semboyan Kleobulos tadi terutama dimengerti oleh masyarakat Yunani dalam konteks tingkah laku moral ini....

Bangsa Yunani kuno memberi kontribusi besar kepada peradaban dunia di kemudian hari. Dalam hal tahu ukuran pun kita masih dapat belajar dari mereka, khususnya dalam konteks perilaku moral. Tidak perlu kita menganut suatu radikalisme, untuk menjalani kehidupan moral yang baik. Tidak perlu kita menghindari semua perbuatan berisiko. Kita boleh saja terjun dalam lalu lintas kendaraan, asal tahu ukuran dan tidak ngebut. Kita boleh saja menikmati makanan, minuman, rekreasi asal berpegang pada ukuran. Dalam semua situasi ini dan dalam banyak hal lain lagi berlaku kearifan Kleobulos 'ukuran adalah yang terbaik'...

(K. Bertens, Sketsa-sketsa Moral, Yogyakarta, Kanisius, hlm 181-183)

Kemungkinan seorang homoseksual menikah

".... Jika homoseksualitas tidak merupakan penyakit dan tidak pula merupakan kelainan dalam artian keadaan jiwa tidak normal, maka kaum homoseks harus diberi hak yang sama seperti orang lain. Kaum homoseks hanya mempunyai orientasi seksual yang berbeda. Orientasi seksual mereka terarah kepada sesama jenisnya, sama seperti heteroseks memiliki orientasi seksual terarah kepada lawan jenisnya. Sifat yang berbeda itu tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasi mereka. Mestinya kaum homoseks diberi semua hak seperti orang lain, termasuk hak untuk menikah. Relasi hidup antara sesama jenis harus disetarafkan dengan lembaga perkawinan yang sampai sekarang dibatasi pada orang yang berbeda jenisnya. Sudah waktunya keadaan diskriminatif itu segera dihapus. Demikianlah pemikiran yang berdasarkan pendekatan hak.

Mereka yang menolak dibukanya lembaga perkawinan bagi kaum gay dan lesbian mempunyai pendekatan moral yang sama sekali lain. Mereka mendasarkan diri atas pemikiran hukum kodrat. Menurut kodratnya - mereka tegaskan - seksualitas mengandaikan polaritas antara pria dan wanita. Membuka lembaga perkawinan untuk kaum sejeins mengandung kontradiksi besar, karena perbedaan jenis kelamin justru termasuk hakikat hubungan perkawinan itu sendiri. Mengakui perkawinan homoseks sama dengan menjungkirbalikkan hukum kotrad dan karena itu mengacaubalaukan tatanan moral.

Sudah dapat diperkirakan bahwa orang beragama tanpa ragu-ragu memihak pada pemikiran hukum kodrat ini. Orang beragama menandaskan bahwa polaritas seksual dimaksudkan dan diciptakan oleh Tuhan untuk menurunkan kehidupan. Dengan demikian, penyatuan suami istri dalam perkawinan merupakan lembaga ciptaan Tuhan, yang tidak bisa diubah manusia. Karena itu tanpa ragu-ragu orang beragama bergabung dengan pihak yang menolak kemungkinan perkawinan homoseks. Ini tentu tidak berarti bahwa agama tidak mau memahami situasi hidup serba sulit yang dialami orang homoseks. Agama bersedia juga mengakui terjadinya banyak perlakuan kurang adil terhadap mereka di masa lampau. Diskriminasi terhadap mereka dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan. Tetapi agama akan selalu mempertahankan (dengan pengecualian beberapa teolog dan pemuka agama yang 'dijangkiti' oleh pemikiran hak) bahwa penyatuan suami istri dalam perkawinan direncanakan Tuhan untuk menurunkan kehidupan. Manusi tidak pernah bisa meniadakan rencana Tuhan itu.

Tidak kebetulan, jika upaya untuk mengakui perkawinan homoseks terjadi berbarengan dengan berkurangnya pengaruh agama di bidang moral. Gejala sekularisasi memang merupakan suatu ciri khas yang menandai zaman kita, khususnya di dunia Barat, tapi tidak secara eksklusif di situ. Tata nilai moral semakin dilepaskan dari konteks agama....

Tidak sulit untuk diramalkan bahwa perdebatan tentang status hubungan hidup antara pasangan sejenis akan berlangsung terus dalam dekade-dekade mendatang. Dalam perjuangan ini mungkin pemikiran hak yang radikal tidak akan berhasil dalam mencapai status perkawinan bagi relasi homoseks. Rupanya hal itu tidak mungkin karena akan mengubah sama sekali arti perkawinan. Perkawinan menjadi lembaga lain, kalau dilepaskan dari kemungkinan untuk menurunkan kehidupan. Dalam hal ini pemikiran hukum kodrat mempunyai peluang besar untuk menanf. Akan tetapi, dengan itu masih tinggal kemungkinan lain. Bisa saja, bahwa relasi hidup antara pasangan sejenis mendapat suatu status legal yang resmi tersendiri, secara analog dengan lembaga perkawinan. Status legal itu bisa dikaitkan dengan banyak hak dan privilese yang dimiliki oleh lembaga perkawinan, seperti hak warisan, dan sebagainya. Tetapi segera timbul pertanyaan apakah status legal yang baru itu bisa diterima juga pada taraf internasional. Dalam lembaga perkawinan, orang yang menikah di suatu negara, diakui juga sebagai pasangan suami istri di negara lain. Hal itu tidak mungkin dengan pasangan sejenis. Pluralisme moral seperti itu masih relatif mudah ditampung dan diatur dalam masyarakat yang terbatas, tapi lebih sulit diatur pada taraf internasional.

Suatu pertanyaan penting ialah apakah kepada pasangan sejenis harus diberikan juga hak untuk mengangkat anak. Mayoritas Parlemen Belanda memang mendukung kemungkinan ini (dengan perbandingan suara 83 setuju dan 58 menolak), sebagaimana sebelumnya sudah dilakukan oleh Parlemen Eropa. Tetapi banyak orang yang masih bisa menerima status resmi bagi pasangan sesama jenis mempunyai keberatan untuk memberikan mereka hak mengadopsi anak. Yang menarik ialah bahwa keberatan mereka berasal dari pola pikiran hak. Dalam mempertimbangkan izin bagi pasangan gay atau lesbian untuk mengangkat anak, kita tidak saja harus memperhatikan pasangan tersebut, melainkan juga hak anak yang akan diangkat. Hak anak malah harus diutamakan. Setiap anak memunyai hak untuk dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung perkembangannya. Sebagaimana diketahui, anak yang diadopsi dalam kelurga 'normal' pun sering mengalami kesulitan khusus untuk berkembang secara harmonis. Ia lebih sulit mencapai identitasnya ketimbang anak-anak lain, karena ia dibesarkan terpisah dari asal-usul biologisnya. Untuk anak angkat dari pasangan homoseks, kesulitan ini akan bertampah besar. Bagaimana anak ini dapat menemukan jati dirinya? Bagaimana anak ini dapat mempertahankan diri di tengah teman-temannya di sekolah dan tempat lain? Sejauh dapat kita atur sendiri, anak harus diberikan kesempatan paling optimal untuk berkembang menjadi pribadi yang seimbang......

(Sumber: K. Bertens, Perspektif Etika, Esai-esai tentang masalah aktual, Yogyakarta, Kanisius 2001, hlm. 154-156)