31 Oktober, 2008

Kehidupan Milik Siapa?



"... Kembar perempuan lahir di Manchester pada 8 Agustus 2008. Nama yang sebenarnya tidak diumumkan, tetapi oleh pengadilan Inggris untuk mudahnya diberi nama Mary dan Jodie. Dari segi medis, kondisi mereka sangat berat. Tulang pinggul mereka menempel dan tulang punggung beserta seluruh bagian bawah tubuh menyambung. Kaki-kaki ada pada tempatnya dalam posisi silang menyilang. Keadaan itu tampak pada gambar yang dikeluarkan oleh RS St. Mary's. Jantung dan paru-paru Mary tidak berfungsi, lagi pula otaknya tidak berkembang penuh. Jodie tampak dalam keadaan fisik yang normal, tertapi jantung dan paru-parunya mendapat beban berat, karena harus menyediakan darah beroksigen juga untuk saudaranya. Menurut para dokter keadaan ini hanya bisa berlangsung tiga sampai enam bulan. Kalau keadaan ini dibiarkan lebih lama, dua-duanya akan meninggal dunia.

Dengan demikian kasus kembar siam ini menimbulkan suatu dilema yang amat memilukan. Orang tuam, staf medis, dan semua pihak yang terlibat dalam kasus ini menghadapi suatu pilihan yang sangat sulit. Jika Mary dan Jodie tidak dipisahkan, mereka dua-duanya akan meninggal. Jika mereka dipisahkan melalui operasi, Mary pasti akan mati, karena ia tidak bisa bernafas sendiri, sedangkan Jodie mempunyai peluang baik untuk hidup dengan agak normal, walaupun dalam keadaan cacat dan harus menjalani banyak operasi lagi untuk sedikit demi sedikit membetulkan kondisi fisiknya.

Orang tua kedua bayi perempuan ini adalah pemeluk agama yang saleh. Mereka berpendapat, Mary dan Jodie sebaiknya tidak dipisahkan, karena cinta mereka untuk kedua anak ini sama besarnya. Mereka tidak bisa menerima jika, jika yang paling lemah harus dikorbankan kepada yang paling kuat. Karena itu mereka memilih menyerahkan seluruh masalah ini kepada kehendak Tuhan. Jika kedua bayi ini nanti meninggal merekak bersedia menerimanya sebagai rencana Tuhan. Staf medis di RS Mary's tidak setuju. Sesuai dengan naluri kedokteran yang umum, mereka beranggapan bahwa kehidupan yang mungkin tertolong, harus ditolong juga....
(K. Bertens, Sketsa-Sketsa Moral, 30 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2004, hlm. 85-86)

Membela Kehidupan


".....Agama mempunyai banyak alasan untuk membela kehidupan yang belum dilahirkan. Seksualitas dan proses reproduksi adalah cara yang dipilih Tuhan untuk meneruskan kehidupan manusia. Pasangan suami-istri yang meneruskan kehidupan bekerja sama dengan Tuhan Pencipta. Janin dalam kandungan ibunya adalah ciptaan Tuhan....Mungkin salah satu tugas pokok agama dalam abad mendatang adalah justru membela kehidupan manusiawi yang belum dilahirkan dan memperjuangkan martabat reproduksi manusia.

Agama tidak selalu mempunyai pandangan yang sama tentang saat dimulainya kehidupan insani....

Pemikiran Aristoteles melatarbelakangi pandangan Thomas Aquinas, teolog Kristen berkaliber besara dari abad ke-13. Thomas Aquinas menyetujui pendapat Aristoteles bahwa embrio selama dalam kandungan menjalani beberapa fase: fase vegetatif, fase animal, dan akhirnya fase manusiawi. Dalam fase vegetatif, embrio mempunyai jiwa (=prinsip kehidupan) seperti tumbuhan. Dalam fase animal, embiro mempunyai jiwa seperti binatang. Akhirnya dalam fase manusiawi, jiwa manusia dicurahkan oleh Tuhan dalam embrio. Thomas berpendapat bahwa jiwa manusiawi itu tidak akan mati ......

(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 111)

Lain Hippokrates, lain pula "Dukun"


"........Hippokrates (kira-kira 460-377 SM) adalah dokter Yunani kuno yang memberi kerangka ilmiah kepada profesi kedokteran dan karena itu sering digelari "bapak ilmu kedokteran". Yang sangat menarik adalah Hippokrates serentak juga mewariskan kepada profesi mesis kode etik pertama yang dikenal sebagai "Sumpah Hippokrates". Sumpah Hippokrates ini memainkan peranan penting sekali dalam sejarah kedokteran dan banyak membantu untuk menegakkan profesi medis sebagai profesi luhur dalam masyarakat. Dalam sumpah Hippokrates antara lain terdapat ketentuan yang melarang abortus. Dikatakan: "aku tidak akan memberikan kepada wanita seorang sebuah alat yang abortif". Lalu langsung ditambahkan: "Dalam kemurnian dan kesucian aku akan menjaga kehidupan dan seniku" (=profesi kedokteran). Kita mendapat kesan, larangan abortus bagi Hippokrates berkaitan erat dengan ini profesi medis: memelihara kehidupan. Tidak pantas seorang dokter membunuh kehidupan insani. Praktek membunuh merupakan semacam kontradiksi bagi profesi medis. Kehidupan insani yang baru mulai berkembang, harus dipelihara juga. Terutama karena pengaruh sumpah Hippokrates ini, dalam etika kedokteran tradisional telah tumbuh suatu tendensi anti-abortus yang kuat. Sejauh abortus dipraktekkan, pelaku umumnya bukan dokter, melainkan "dukun" atau non-profesional yang bergerak di pinggiran profesi medis...
(K. Bertens, Perspektif Etika, Esai-Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 108-109)

25 Oktober, 2008

Hukuman mati dihapus?


Artikel di bawah ini merupakan bagian penutup dari makalah yang dibuat oleh Tim Imparsial:

Hukuman mati jelas tidak dapat didekati lewat cara pandang normatif. Realitas penerapan hukuman mati sepanjang sejarah hukum di Indonesia telah membuktikan kehadirannya sebagai instrume politik rezim yang absen dari demokrasi. Proses pertumbuhan berbagai ketentuan hukum yang menerapkan hukuman mati akhirnya mengantarkan kita lebih dekat untuk memahami watak rezim kekuasaan di balik produk hukum ketimbag soal hukuman mati itu sendiri. Sementara hukuman mati sebagai instrumen yang oleh sebagian kalangan dinilai mampu mengurangi tingkat kejahatan, ternyata menghasilkan sebaliknya. Hukuman mati tidak pernah terbukti mampu mengembalikan keadaan yang terganggu akibat suatu kejahatan.

Mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif semata jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Semua kerangka historis tentang penerapan hukuman mati dalam ketentuan hukum nasional sejak masa kolonial Belanda sampai pembentukan prodkuk hukum terbaru, seperti UU anti terorisme, UU peadilan HAM, UU anti korupsi, dan UU anti narkotika, hanya mengisyaratkan wakat kekuasaan negara ketimbang aspek yang bersifat hukum dalam kerangka mengatasi berbagai bentuk kejahatan. Hukuman mati muncul dalam bentuk langkah-langkah politik, baik itu dalam kerangka mengancam kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat, maupun dalam memperoleh dukungan politik.

Fakta-fakta sejarah penerapan hukuman mati mempertunjukkan pula bagaimana para sasaran penerapan hukuman mati adalah bagian dari kekayaan politik rezim berkuasa. Mereka yang telah dijatuhi hukuman mati, tidaklah otomatis akan berhadapan langsung dengan regu tembak. Tetapi mereka masih harus bertarung dengan keputusan politik grasi yang selalu ditunggu di tangan "kebaikan hati" Presiden. Perdebatan pelaksanaan eksekusi yang muncul di publik justru ada dalam momentum-momentum politik, ketimbang ketentuan normatif yang mengaturnya demikian. Maka tidak heran kalau para terpidana mati harus menunggu eksekusi itu bertahun-tahun, karena mereka adalah milik da kekayaan penguasa politik, yang kapan saja dibutuhkan dapat diakhiri hidupnya. Eksekusi sebagai keputusan politik akan disambut tepuk tangan haru rakyat yang lapar akan pembalasan, dan ini adalah kompensasi ketidakcakapan penguasa negara mengatasi berbagai betuk kejahatan.

Hukuman mati hanya mengisi satu sisi kebutuhan bahwa negara hadir dalam semua ruang pembalasan atas kerjadi kejahatan. Negara - lewat palu para hakim - berupa harid di antara amarah masyarakat atas terjadinya kejahatan dan kebutuhan si penguasa politik untuk mempertahankan legitimasi.

Hidup dan esensi sebagai manusia para terpidana mati telah berubah menjadi angka-angka dan bendera dari upacara simbolik kekuasaan. Putusan hukuman mati telah mengantarkan pencabutan identitas terpidana sebagai manusia, ia segera berubah menjadi benda-benda eksperimen mengatasi kejahatan ataupun hanya sekedar benda di etalase penguasa. Kecenderungan kehidupan dan esensi hak hidup itu dalam kerangka kepemilikikan negara, dan atas nama hukum negara dapat menariknya kembali kapan itu dibutuhkan. Di sini negara telah bertindak sebagai pemilik dari hak hidup itu sendiri.

Berbagai argumen yang muncul mempertunjukkan efektivitas penerapan hukuman mati dalam kerangka etika dan moral. Keinginan memberikan pembalasan atau membinasakan nyawa si pelaku kejahatan, jauh-jauh hari telah mendahului proses peradilan terhadap para tersangka mati itu. Para pemberi dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati bagi tertuduh yang telah melakukan kejahatan meyakini akan terjadinya pengembalian keseimbangan yang terganggu akibat terjadinya kejahatan. Keinginan agar keseimbangan kembali tiada lain adalah keinginan melakukan pembalasan yang optimum melalui legitimasi peradilan.

Bagi para pelaku politik negara, keinginan melakukan pembalasan di kalangan masyarakat adalah realitas sentimen politik. Pelaku politik dalam upaya memperoleh dukungan politik telah membantu menemukan relasi dari hukuman mati dan kosolidasi kekuasaan. Dalam konteks ini tidak terlalu penting penilaian terhadap kehadiran hak hidup para pesakitgan hukuman mati, atau efektifitas hukuman mati itu sendiri akan melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan.

Sulit dicari relasi yang tepat dan dapat menggambarkan hubungan antara penerapan hukuman mati dengan kejahatan itu sendiri, bahkan keyakinan atas kemungkinan adanya deterrents effect (efek jera) terhadap pelaku kejahtan. Dalam konteks ini hukuman mati tidaklah dapat dilihat sebagai instrumen fungsional yang penting bagi mempertahankan keharmonissan sosial. Dalam fakta sejarah, kita dapat ditemukan secara jelas keterpusatan kekuasaan dan harmoni kekuasaan sajalah yang justru menjadi ruang hidup hukuman mati.

Pelaku politik, masyarakat yang marah akan kejahatan, hukuman mati, dan hak untuk hidup, haruslah memperolah ruang bagi penataan ulang. Hukum adalah produk politik, akan tetapi mekanisme dan perilaku politik itu sendiri musti diberikan pembatasan agar ia tidak menjadi kekuatan aksesif (excessive) yang dapat merampas hak hidup. Perlindungan masyarakat dari berbagai kejahatan, tidaklah tergantung pada beberapa banyak pelaku kejahatan mampu dihukum mati. Hak untuk hidup tidaklah dapat dikorbankan karena kekuasaan menghendakinya, ataupun masyarakat memberikan dukungan untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Legitimasi masyarakat untuk mencabut hak hidup itu juga telah menjadi alat mempertahankan kekuasaan, dan bahkan menjadi ancaman terhadap keselamatan masyarakat itu sendiri.

Perubahan hukum nasional jelas adalah pintu masuk bagi penghapusan hukuman mati. Kalau dalam konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup dapat dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan penerapan hukuman adalah kewajiban konstitusional.......

Tim Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, sebuah studi kebijakan di Indonesia, Juni 2004. Lihat selengkapnya....

22 Oktober, 2008

Mempersoalkan Hukuman Mati

Penolakan grasi enam orang terpidana mati oleh Presiden Megawati dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Pasal 28 A dan 28 I menyebutkan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. PBB juga mengeluarkan sebuah Konvenan Hak Sipil dan Politik beserta protokolnya yang sudah menghapus hukuman mati. Aturan internasional ini seharusnya diikuti oleh Komnas HAM Indonesia yang dalam fungsi dan tugasnya mengacu pada Komisi Tinggi HAM di PBB.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa hukuman mati masih menjadi hukum positif. Karena itu, hukuman matiharus ditimpakan pada terpidana mati. Sikap tersebut didasari oleh adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan dalam pasal 28 yang berbunyi "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.....Kenyataannya, hukuman mati memang masih tercantum dalam KUHP dan UU negara ini.

Hukuman mati atau capital punishment akar katanya berasal dari caput (bahasa Latin). Kata ini dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala, hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati dimengerti sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah.

DAlam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. Sanksi ini bertujuan menegakkan norma hukum dan secaraa preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Si terhukum pun menjadi contoh yang menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran.

Tujuan hukuman mati adalah pembalasan yang lebih menonjol dalam masyarakat primitif, penghapusan dosa yang dilatarbelakangi pandangan religius untuk menghapus kesalahan dengan penderitaan setimpal, membuat jera untuk pelaku kejahatan lain. Hukuman mati bertujuan pula melindungi kepentingan umum dan memperbaiki penjahat yang akan melakukan kejahatan.

Gerakan penghapusan hukuman mati telah gencar dibicarakan sejak abad ke-18. Beberapa tokohnya antara lain: Montesquieu menulis Lettres-persanes (1721), Voltaire membela Jean Callas yang terlanjur dihukum mati, Cesare Beccaria (1738-1794) menerbitkan buku An Essay on Crimes and Punishment.

Argumen penghapusan hukuman mati didasarkan pada alasan yang meragukan efektivitas hukuman mati. Putusan seseorang dihukum mati seringkali dianggap tidak berdasarkan observasi empirik, tetapi terbatas pada opini polisi dan bantahan para jaksa. Lebih buruk lagi, terhukum kerap kali dihukum berdasarkan motif-motif politik seperti mengancam status quo atau berasal dari kelas sosial dana ras tertentu. Hal ini dialami oleh para budak dan kulit hitam di Amerika pada tahun 1930-1964.

Keberatan lain didasarkan pada pendapat bahwa seseorang yang dihukum mati tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Von Henting menilai hukuman mati bernilai destruktif karena negara dianggap tidak menghargai maratabat luhur warganya. Padahal negara seharusnya wajib mempertahankan nyawa warganya dalam keadaan apapun. Leo Polak menganggap hukuman mati berisiko tinggi jiwa hakim keliru dalam menentukan keputusan sementara terhukum sudah mati.

Alasan bahwa pelaku akan takut jika diberlakukan hukuman mati, tidak sepenuhnya tepat. Di negara yang memberlakukan hukuman mati pun angka kejahatan tidak turun. contohnya para teroris siap mati untuk tugas mereka dan menghukum mereka justru menjadikajn mereka sebagai pahlawan. Pemberlakuan hukuman mati tidak menyelesaikan masalah dan seringkali tidak adil. Sulit sekali membuat putusan hukuman mati bila ada aturan membawa 10 gr heroin akan dihukum mati, lantas bagaimana dengan pelaku yang membawa 9,8 gr.

Dalam beberapa penelitian tentang hubungan antara tindak kejahatan dengan hukuman mati, tidak ada kaitan yang erat. Sejak tahun 1874 Italia tidak menerapkan hukuman mati, namun di tahun 1876-1907 angka pembunuhan menurun dari 9,86/100.000 jiwa menjadi 4,86/100.000 jiwa. Sementara di Rumania yang menghapus hukuman mati sejak tahun 1865, justru angka pembunuhan menurun dari 5,6/100.000 jiwa menjadi 2,5/100.000 jiwa pada tahun 1876 - 1907. Saat ini ada 35 negara yang menghapus total hukuman mati, 18 negara menghapusnya kecuali untuk kejahatan perang dan 27 negara mempertahankan hukumam mati tetapi tidak pernah melaksanakannya.

Meskipun angin penghapusan hukuman mati telah berhembus, masih ada negara-negara yang menerapkan hukuman mati. Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati kebanyakan adalah negara-negara totaliter komunis. Dalam ideologi komunis, pribadi manusia harus kalah dengan kepentingan negara, partai dan ideologi komunis. Negara dunia ketia yang menerapkan hukuman mati lebih karena kecenderungan kolektivisme, pemerintah yang otoriter serta adanya kaum fundamentalis. Pada tataran moral dapat dikatakan kepekaan negara-negara tersebut terhadap keluhuran martabat manusia dan hak-haknya belum sangat halus atau mereka berpendapat bahwa pribadi manusia dapat dikorbankan demi stabilitas nasional.

Dari uraian di atas tampak bahwa sebenarnya pro dan kontra terhadap kukuman mati telah berlangsung sejak lama. Ketika Litbang Kompas mengadakan jajak pendapat, sebagian besar responden (76 %) menyetujui penerapan hukuman mati sebagai tingkat hukuman paling berat kepada terpidana kasus berat. Para responden menyebutkan beberapa kasus yang pantas dijatuhi hukuman mati yaitu: pembunuhan berencana 32,4 %, narkoba 29,2 %, terorisme 11,7 %, pemerkosaan 10,4 %, dan korupsi 9,1 %. Sikap setuju terhadap hukuman mati tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor lemahnya penegakan hukum, ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, dan makin maraknya aksi kejahatan. Legitimasi negara untuk menentukan hidup mati seseorang pun semakin kuat dengan bertambahnya kasus-kasus pidana yang diganjar hukuman mati dalam enam tahun terakhir ini.

Dari pihak terhukum muncul pendapat agar putusan hukuman mati patut ditunda atau diberikan keringanan. Alasannya beraneka seperti: pada kasus Jurit terdapat beberapa kejanggalan dalam vonis, putusan terhadap Adi Kumis dinilai tak adil karena ada pelaku yang belum tertangkap, pada kasus Sumiarsih dan Sugeng diakui bahwa inisiatif pembunuhan bukan dari Sugeng sedangkan dalam kasus Ayodya telah ditemukan bukti baru yang bisa mengubah vonis hukuman mati. Selain itu mereka telah berubah setelah menjalani hukuman penjara sekian lama. Dr Arief Budiman (Kompas 17/2/2003) menilai sistem peradilan kita masih lemah dan berlumuran KKN sehingga kemungkinan besar terjadi ketidakadilan dalam putusan, apalagi mengingat ada banyak orang yang dosanya lebih besar justru dibiarkan bebas.

Persoalan pro dan kontra hukuman mati, jika dilihat dengan budi nurani jernih, memang tidak mudah dituntaskan. Di Indonesia, hal ini terkait dengan maraknya kejahatan sehagai akibat ketidakadilan ekonomi, politik, hukum dan peradilan. Seringkali setelah hukuman mati dilaksanakan, aneka akar permasalahan itu tidak diselesaikan secara tuntas.

Meskipun demikian ada beberapa pendapat dari ajaran Katolik yang ada membantu memperluas cakrawala berpikir dalam menyikapi hukuman mati. Santo Ambrosius pernah mengatakan: "Allah lebih menyukai perbaikan daripada kematian pendosa, Ia tidak menghendaki pembunuh dihukujm dengan pelaksanaan tindakan pembunuhan lainnya." Teolog moral Katolik, Karl H. Peschke mengalami kesulitan dalam menentukan pelaksanaan hukuman mati. Ia mengingatkan supaya daerah yang menetapkan hukuman mati menghindari kekhilafan dalam pengambilan keputusan pengadilan. Ia menyarankan penetapan grasi untuk meringankan hukuman mati ke dalam bentuk hukuman lain. Bernhard Haring berpendapat bahwa penghapusan hukuman mati adalah jalan terbaik. Alasannya, setiap orang harus melihat konsekuensi tindakan hukuman mati itu secara lebih menyeluruh dan merefleksikan dengan hati-hati semua pengalaman dan konsekuensi-konsekuensi tindakan hukuman mati tersebut. Haring membenarkan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama memuat teks yang membenarkan hukuman mati. Namun, ada pewahyuan yang melampauinya ialah Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.

Sementara John Dear mempertentangkan hukuman mati dengan sikap anti kekerasan Yesus. Argumentasinya ialah Yesus tidak menghukum perempuan yang berbuat zinah (Yoh 8: 4-7). Ia tak pernah memakai kkerasan untuk menolak otoritas negara. Yesus tidak melupakan Allah dan tidak meninggalkan kewajiban kepada kaisar. Ia mengatakan "berikan kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Mrk 12: 17). Lebih dari itu, Yesus mengajarkan kasih kepada manusia dengan firman-Nya yang terkenal: "Hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini" (Mrk 12: 29-31)

Akhir-akhir ini berkembang penghargaan terhadap nilai-nilai hidup manusia seiring denan berhembusnya isu penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Ketika presiden George W.l Bush menyerang Irak, aneka protes muncul dari berbagai kalangan suku, agama, ras dan golongan. Mereka bersatu padu menentang pelanggaran hak asasi manusia. Demikian pula penghargaan hak asasi manusia seharusnya dijunjung tinggi di negeri ini. Sebuah ensiklik keluaran Vatikan, Evangelium Vitae artikel 56 memberi pendapat bahwa: "makin kuatlah kecenderungan untuk meminta supaya hukuman mati itu diterapkan secara terbatas atau bahkan dihapus sama sekali....hakikat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat dan jangan sampai kepada ekstrim melaksanakan hukuman mati kecuali bila mutlak perlu". Upaya yang lebih penting ialah mempromosikan penghargaan hak asasi manusia kepada seluruh warga sehingga memiliki nurani jernih sebagai kontrol yang menghalangi mereka melakukan tindak kejahatan. Di samping upaya hukum, seiring kampanye penghargaan terhadap hak asasi manusia, saat ini perlu dilakukan pendampingan terhadap 42 orang yang sedang menunggu eksekusi pidana mati, menghibur, bersikap empati, dan meyakinkan bahwa mereka berharga. Karena mereka adalah manusia yang hak hidupnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(A. Luluk Widyawan, "Mempersoalkan Hukuman Mati", dlm. Hidup, 6 April 2003)