30 November, 2008
Kevorkian: Dr Death
Kevorkian adalah nama seorang dokter di Amerika. Pada tahun 1990-an ia dikenal masyarakt dunia karena kasusnya sebagai berikut:
"... dituduhkan kepadanya bahwa ia membantu pasien meninggal yang belum terminal. Pasien-pasien yang dibantunya memang mengindap penyakit fatal, tetapi penyakit mereka belulm pada stadium terakhirnya. Demikian halnya juga dengan pasien terakhir yang dibantunya, Thomas Youk. Padahal, terlepas dari penilaian boleh tidaknya, dengan 'euthanasia' selalu dimengerti mengakhiri kehidupan pasien terminal dan 'bunuh-bunuh diri berbantuan' selalu dipahami sebagai pemberian kesempatan kepada pasien terminal untuk membunuh diri. Jika saat kematian masih jauh, tidak terjadi euthanasia atau bunuh diri berbantuan... Lagi pula, ada dugaan kuat bahwa Kevorkian membantu beberapa pasien yang mengalami depresi. Kalau memang benar, perilakunya menjadi tidak etis karena alasan itu juga. Sebab, depresi adalah kondisi medis yang bisa diobati. Dan dokter tentu mempunyai kewajiban mengobati pasien, selama kemungkinan itu tersedia....
(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 126)
Bunuh Diri Berbantuan
"Euthanasia merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam zaman kita dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan. Istilah 'euthanasia' itu berasal dari bahasa Yunani: eu (=baik) dan thanatos (=kematian), sehingga dari segi asalnya berarti 'kematian yang baik' atau 'mati dengan baik'. Jika sekarang kita berbicara tentang euthanasia yang dimaksudkan adalah bahwa dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu sendiri. Sekitar dua puluh tahun yang lalu tindakan medis ini disebut 'euthanasia aktif', untuk membedakan dari 'euthanasia pasif'. Dengan istilah terakhir ini dimaksudkan keputusan medis untuk tidak memberikan pengobatan kepada pasien terminal seperti misalnya memasukkannya dalam Unit Perawatan Intensif dan memasang alat-alat canggih serupa ventilator atau respirator, atau menghentikan sama sekali pengobatan semacam itu, jika sudah dimulai.
Kini istilaha 'euthanasia pasif' tidak dipakai lagi dan memang sebaiknya begitu, karena kualitas etisnya sangat berbeda dengan tindakan mengakhiri kehidupan pasien terminal. 'Euthanasia pasif' biasanya diganti dengan sebutan 'membiarkan pasien meninggal' (letting die). Jika pasien sudah tidak ada harapan lagi, tentu dokter tidak wajib memasukkannya ke dalam Unit Perawatan Intensif dan boleh saja menghentikan alat bantu hidup, jika pemakaiannya tidak bisa membawa penyembuhan lagi.....
(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 128)
Hak atas ayah ibu biologis
".... Kembar dari satu ovum sebenarnya mempunyai identitas genetis yang sama. Hanya, kembar mempunyai identitas genetis itu berasal dari zygote (ovum dari yang dibuahi) yang sama dan karena itu seumur. Pada kembar, proses pemisahan sel berlangsung secara alami, tapi proses yang sama disebabkan juga dengan intervensi tehnologis (dan karena itu tetap seumur). Pada pengklonan dari sel dewasa, terdapat identitas genetis tapi antara dua makhluk yang berbeda umurnya. Dolly adalah 'kembar' dari induknya yang berumur lebih tua enam tahun.
Walaupun klon merupakan semacam fenomena alami juga, mengapa pengklonan individu manusia ditolak begitu tegas, bahkan emosional ? Penilaian etis tidak bisa dan tidak perlu bebas emosi, tetapi akhirnya harus didasarkan atas alasan rasional. Saya rasa, dalam pernyataan WHO kita menemukan dua alasan penting. Pengklonan manusia terutama harus ditolak karena (1) bertentangan dengan martabat, dan (2) dengan integritas manusia.
Karena manusia mempunyai martabat khusus, kehidupan manusia selalu harus dihormati dan tidak pernah boleh dipermainkan. Mengklon manusia justru berarti mempermainkan kehidupannya. Berarti pula menggunakannya demi suatu tujuan lain dan tidak menghormatinya demi dirinya sendiri. Padahal, kehidupan manusia adalah inviolable (tidak boleh diganggu gugat). Kehidupan manusia itu suci.
Integritas berarti "keutuhan". Integritas manusia harus kita hormati dan harus kita jamin, sejauh bergantung dari kita, termasuk juga integritas biologis dan genetisnya. Integritas genetis diperoleh seseorang dari orang tuanya. Manusia yang akan lahir melalui prosedur pengklonan tidak akan memiliki integritas yang semestinya. Mengapa? Karena tidak memiliki ibu dan bapak biologis.....
(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 119)
Walaupun klon merupakan semacam fenomena alami juga, mengapa pengklonan individu manusia ditolak begitu tegas, bahkan emosional ? Penilaian etis tidak bisa dan tidak perlu bebas emosi, tetapi akhirnya harus didasarkan atas alasan rasional. Saya rasa, dalam pernyataan WHO kita menemukan dua alasan penting. Pengklonan manusia terutama harus ditolak karena (1) bertentangan dengan martabat, dan (2) dengan integritas manusia.
Karena manusia mempunyai martabat khusus, kehidupan manusia selalu harus dihormati dan tidak pernah boleh dipermainkan. Mengklon manusia justru berarti mempermainkan kehidupannya. Berarti pula menggunakannya demi suatu tujuan lain dan tidak menghormatinya demi dirinya sendiri. Padahal, kehidupan manusia adalah inviolable (tidak boleh diganggu gugat). Kehidupan manusia itu suci.
Integritas berarti "keutuhan". Integritas manusia harus kita hormati dan harus kita jamin, sejauh bergantung dari kita, termasuk juga integritas biologis dan genetisnya. Integritas genetis diperoleh seseorang dari orang tuanya. Manusia yang akan lahir melalui prosedur pengklonan tidak akan memiliki integritas yang semestinya. Mengapa? Karena tidak memiliki ibu dan bapak biologis.....
(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 119)
Langganan:
Postingan (Atom)