31 Januari, 2009

Secukupnya saja

"Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.

Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.

Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsfat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jadi dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.

Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski 'moral' di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katanlah kesuksesan...........

Apa arti secukupnya ? Minimalis ? Siapa yang bisa mengatakan 'sudah cukup' atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk 'cukup, tahu batas'.

Bagaimana rasio bisa melakukannya ? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mamu mengatakan 'cukup'. Rasio hanya bisa mengatakan 'cukup' manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaiana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.

Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan 'cukup'. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan 'cukup'......

(Sumber: A Setyo wibowo, "Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan", dlm. Kompas, 25 Oktober 2008, hlm. 7)

43 komentar:

alberthutama mengatakan...

Minimalis... Pada kenyataannya di Jakarta yang bisa dikatakan borjuis rasanya memiliki peluang 1:1000 untuk diucapkan [bisa saja lebih kecil lagi]. Mereka selalu terpengaruh hawa nafsu seperti yang Pater Sigit tuliskan, mereka tidak akan mengatakan puas karena mereka ingin menjadi yang paling up-to date dan paling glamour. Memiliki segalanya agar bisa berkuasa.
Menurut saya, sering berbicara dengan hati kita sendiri adalah jalan yang terbaik. Kita bisa 'berdialog' dengan hati kita, apakah ini sudah cukup? Apakah ini sudah memenuhi tingkat kepuasan? Seharusnya, kita selalu menggunakan rasionalitas, agar kita bisa menjadi sosok yang bijaksana dan berguna dalam dunia pekerjaan, di mana banyak yang tidak cukup dengan gaji.

Andre mengatakan...

Pada dasarnya sifat manusia tidak pernah puas akan sesuatu yang ia miliki. Dengan sifat dasar itu, sangatlah sulit bagi logika untuk mengatakan "cukup", karena manusia selalu ingin lebih baik. Dan menurut saya, sifat ini tidaklah buruk, di samping ketamakan yang muncul olehnya. Mengapa? Karena dengan sifat ini, maka manusia akan berusaha mati-matian dan lebih baik dari sebelumnya, sehingga kehidupan manusia menjadi dinamis.
Jika logika terus mengatakan "cukup", maka kehidupan akan berlangsung statis, tidak ada tujuan. Jadi untuk apa manusia berusaha mempertahankan hidupnya tanpa tujuan yang pasti?
Tentang minimalis, atau lebih tepatnya sederhana, berawal dari kesadaran, baik akal budi dan nurani, bahwa manusia pada hakekatnya memiliki keterbatasan, baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, kita menjadi tahu akan keadaan kita sendiri dan tidak akan berbuat hal-hal yang memang tidak dapat kita lakukan. Dan, menurut saya minimalis menurut saya adalah apa adanya, tidak 'neko-neko', murni dari pribadi masing-masing.

Ten No Michi mengatakan...

Leo Nugraha / XI-B / 29

Menjadi yang ter-, seakan sudah menjadi sifat alami manusia yang paling mendasar di mana manusia selalu mau jadi yang terbaik dan terbagus bagi dirinya sendiri. Sangat bohong bila manusia itu mengatakan atau menyangkal kalau dirinya itu tidak mau mengusahakan yang baik bagi dirinya. Itu sudah menjadi kodrat alami sebagai manusia. Karena hal itu sudah menjadi kodrat dalam diri manusia, maka hal itu tidak dapat dihilangkan dalam diri manusia, namun minimal kita bisa berusaha supaya hal itu tidak menjadi sedemikian berbahaya dan merugikan bagi orang lain. Dewasa ini, uang seakan sudah menjadi pengendali hidup manusia, manusia apa pun pasti butuh uang supaya hidup. Namun jangan sampai kita dikuasai uang, karena hasrat ingin mengumpulkan uang kerap membuat kita berusaha untuk melakukan segala cara untuk memperoleh lebih hingga terjadi seperti yang diucapkan pada contoh.
Perlu diketahui bahwa minimalis bukan berarti secukupnya. Secukupnya berarti berusaha agar taraf kebutuhan kita bisa seimbang dengan kondisi sekitar kita, taruhlah contoh di mana bila sekeliling kita makan nasi, maka kita juga makan nasi jangan sampai hanya makan singkong. Lain hal minimalis. Minimalis berarti asal dapat sudah puas, tanpa ada usaha untuk sejajar dengan orang di sekitarnya. Artinya minimalis seakan pasrah dan tidak ada keinginan untuk menjadi lebih baik seperti sekitarnya. Sedangkan berlebihan berarti ingin menjadi yang terunggul dan terbaik terus. Selalu mau jadi yang teratas tanpa memberi hak sedikitpun pada orang lain untuk menjadi yang terbaik.
Dan terakhir apa yang sebaiknya dilakukan supaya kita bisa mengendalikan tabiat alami kita yang selalu mau jadi yang ter- adalah BERSYUKUR . Bersyukur artinya kita berterima kasih atas apa yang sudah diperoleh selama ini, tidak kekurangan dan tidak berlebih sampai mubazir. Ingat dalam doa Bapa Kami kita meminta supaya Tuhan menyediakan makan yang cukup dalam hari ini. Tujuan agar kita tidak kekurangan makan dan tidak kelebihan makan sampai dibuang. Intinya hidup cukup bukan berarti minimal karena cukup berarti tahu batas yang diperlukan diri kita sendiri.

Unknown mengatakan...

Bersaing untuk menjadi yang paling hebat dalam sesuatu adalah sifat dasar manusia yang bahkan sudah ada sejak jaman Kain dan Habel. Daripadi menjadi seseorang yang minimalais, setiap orang biasanya akan cenderung menjadi "maksimalis" kalu bisa dikatakan demikian.
Dengan adanya sikap-sikap ini dalam diri manusia, "mencukupkan diri" menjadi kata-kata yang sangat sulit untuk diucapkan pada diri kita sendiri. Kita selalu ingin lebih dan lebih. Misalnya kita mendapatkan HP baru.. Seminggu kemudian, sudah ada teman kita yang memiliki HP tersebut. Karena ingin menjadi yang paling maksimal, kita, dengan sifat alami manusia kita tentu ingin segera membeli yang baru. Tetapi di sini, kunci terpenting adalah bagaimana kkita berkata "cukup" pada diri sendiri. Didasari pemikiran akal budi dan moral, kita seharusnya bisa menahan keinginan-keinginan buruk kita.
Ketamakan pada diri manusia memang tidak dapat kita berantas sepenuhnya. Tetapi dengan latihan pengendalian diri, seharusnya manusia dapat menekan ketamakan tersebut menjadi seminimal mungkin. Bilamana kita berhasil mengendalikan ketamakan, niscaya kita akan selalu "berkecukupan" tetapi bila tidak, kita akan selalu merasa "berkekurangan"
Dhani P XIC/13

candidate cxx- persevere mengatakan...

Hmm... berkecukupan...

satu hal saja
kalau bisa lebih baik mengapa harus cukup?

que sara sara
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
nb:
Yang dimaksud dengan baik,kita tahu baik adalah apa yang dipandang dan adalah apa yang dianggap semua orang sebagai baik, karena cara mengumpulkan objektivitas adalah pengumpulan subjektivitas sebanyak-banyaknya.

by the way, It is more Better to be better in every better aspects!

Febrian mengatakan...

Sifat tak pernah puas adalah sifat dasar manusia sejak lahir. Sifat tersebutlah yang menyebabkan manusia berbeda dibandingkan makhluk hidup lain. Manusia selalu ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik, ingin menjadi lebih unggul dalam segala hal dibandingkan sesamanya, ingin mengetahui segalanya, dan ingin menemukan segala sesuatu yang bisa ditemukan. Oleh karena itu terjadilah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keinginan untuk unggul inilah yang memacu negara dan manusia untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Sifat inilah yang membuat dunia berputar dan berkembang..

Bila kita membicarakan ketamakan, sifat tak pernah puas memang dapat dituding sebagai akarnya. Ketamakan mungkin dapat disebut sebagai efek samping dari sifat tak pernah puas. Ketamakan dapat membawa seseorang menutup mata terhadap keadaan sesama dan menjadi egois. Ketamakan terjadi saat kita terus melihat apa yang tidak kita punya dan bukan apa yang telah kita punya.

Cara mengurangi ketamakan adalah dengan hati nurani dan kepedulian pada sesama. Dengan memperhatikan kebaikan sesama dalam setiap tindakannya, seseorang akan lebih berorientasi kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Dengan hal tersebut, ketamakan dapat dikurangi karena fokus dari orang tersebut bukan lagi dirinya melainkan sesama.

Cara terbaik untuk menumbuhkan kepedulian pada sesama adalah dengan bersyukur. Mensyukuri apa yang kita miliki membuat kita dapat merasakan 'kewajiban' untuk menolong orang2 yang tidak seberuntung dirinya. Oleh karena itu, marilah kita semua mensyukuri semua berkat Tuhan atas kita, dari yang paling sederhana (seperti masih diberikan hari yang baru, dapat berjalan, dapat melihat, dll.) sampai paling besar.
-Febrian Sidharta XI C/18-

Yohanes Wirawan Putranto mengatakan...

Menjadi minimalis??
Untuk masyarakat jakarta, dan kota-kota metropolitan sangatlah sulit.
Seperti yang sering kita lihat, banyak OKB (Orang Kaya Baru), yang cenderung tampil borjuis dan sok-sokan. Mempunyai harta mendadak, mendapat warisan, menang undian atau didikan keluarga, inilah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi borjuis dan sok-sokan.

Seperti yang dapat kita lihat, akhir-akhir ini, masyrakat cenderung borjuis dan untuk itulah, perlu dididik sejak dini agar sikap borjuis tidak muncul terus-menerus.

Yohanes Wirawan Putranto
XI C / 40

Daniel Christian mengatakan...

Berbicara tentang hal "Secukupnya saja" memang tidak dapat dilepaskan dari sifat alami manusia yaitu sangat ingin tahu dan tidak pernah puas. Jika sudah memperoleh sejumlah uang, maka ia akan berupaya untuk memperoleh lebih. Hal-hal yang berlebihan memang identik dengan perilaku buruk untuk mengamalkan segala cara dalam mencapai satu keinginan. Namun, di sini perlu ada catatan, bahwa segala yang berlebihan, bahkan yang kekurangan itu tidak baik. Contoh mudah saja, misalnya dalam hal makan, jika kekenyangan, maka akan membuat perut sakit, namun jika kekurangan juga akan membuat perut sakit.
Oleh karena itu, biasakanlah bertindak "secukupnya saja", tanpa ada keinginan lebih (tamak). Ingat, kepuasan itu tidak akan berhenti sampai kita sendiri yang menghentikannya.

Daniel Christian
XID/09

Wain XIE mengatakan...

Ketamakan adalah sifat manusia yang paling dasar. kemauan untuk terus berkembang karena tidak pernah puas dengan apa yang ada. Krisis yang terjadi sekarang diakibatkan karena bangkrutnya lembaga ekonomi terkenal di Amerika membuat banyak orang yang kehilangan daya beli mereka. dengan kehilangan daya beli berarti para produsen akan mengalami penurunan keuntungan. Uang dapat menguasai segalanya. bahkan banyak orang yang melakukan segala hal untuk mendapatkan uang. padahal semua orang sudah memiliki harta yang paling beharga itu sendiri yaitu nyawa dan keluarga.
seorang eksekutif yang berkecukupan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan seorang tukang sayur. baginya hp merupakan kebutuhan yang sangat penting. tapi untuk tukang sayur itu tidaklah penting. jadi arti secukupnya sendiri itu bergantung pada kepribadian orang tersebut. secukupnya juga dapat di artikan tidak memboroskan sesuatu. terkadang kita sendiri sering kali memboroskan listrik di rumah kita. ketika kita keluar ruangan kita tidak mematikan lampu atau saat kita lupa mematikan AC.

orang sederhana bukan berarti miskin. Bunda Maria adalah salah satu orang yang bisa dijadikan panutan dalam hal ini. Yesus lahir di kandang domba. Bukan di rumah sakit. oleh karena itu marilah kita peka terhadap lingkungan sekitar dan tidak memboroskan hal yang kita punya :)
Kevin Aditya XIE/28

dito mengatakan...

"Secuknya saja",mungkin kata-kata dan perbuatan inilah yang sering luput dalam kehidupan kita.Kita sebagai manusia memang selalu mmemiliki hasrat untuk memilik dan tak pernah puas,sehingga apapun akan kita lakukan untuk mendapatkannya.Menurut saya sikap seperti ini yang sering dilakukan oleh orang yang ambisius,tidak bisa menikmati kehidupan,dan tidak mensyukuri setiap rezeki yang diterima daru Tuhan.Ia selalu merasa bahawa ia kekurangan sesuatu,ia tidak pernah melihat kehidupan disekitar yang lebih kekurangan.Maka sebaiknya kita belajarlah untuk mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan,menurut saya hal ini dapat membuat bahwa kita selalu merasa mendapatkan secukupnya.Dengan merasa cukup kita dapat menjalani hidup lebih menyenangkan,daripada selalu merasa kekurangan.

Anindito Bayhaqie XI E/4

Dawin mengatakan...

Sifat manusia yang tak pernah merasa cukup sudah membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik . Contoh paling sederhana adalah perkembangan teknologi dari zaman ke zaman . Dilihat dari sejarah kehidupan manusia , manusia berusaha melepaskan diri dari hidup minimalis dan membangun hidup yang lebih kompleks . Pada dasarnya , sifat tak pernah merasa cukup ini tak salah dan menjadi pemicu kemajuan , namun memang tak boleh berlebih . Apapun yang berlebihan pasti akan menimbulkan dampak negatif . Misalnya saja , makanan yang sangat kita sukai . Kalau kita memakannya dalam jumlah berlebihan , pasti kita akan merasa eneg dan tak mau memakannya lagi untuk kurun waktu tertentu . Yang menghancurkan manusia pada dasarnya adalah ketamakan , yaitu menginginkan lebih tanpa menyadari kalau itu sudah berlebihan . Kehidupan yang minimalis itu sendiri menurut saya kurang memberi warna pada hidup . Segala hal yang minimalis pada umumnya sederhana dan kurang dari cukup . Memang sesuatu yang kompleks memberi kesan yang lebih kuat dari minimalis , namun sebaiknya tak berlebihan . Anggap saja kita memiliki penghasilan yang luar biasa besar , sampai bisa membiayai 7 keturunan bahkan lebih , kita sendiri malah kerepotan mengurus harta kita itu dan bahkan bisa kehilangan suatu bagian darinya karena kelalaian . Sedang , misalnya warga desa yang sederhana dan tidak memiliki banyak harta . Kehidupan mereka lepas bebas , tak perlu khawatir akan kehilangan harta , namun dalam saat bersamaan , susah dan kurang bisa menikmati kebahagiaan yang masih terdapat banyak di luar desa .Kita boleh merasa belum cukup , namun , apa kita siap menghadapi kecukupan pada nantinya , apa kita sanggup mengelola kecukupan kita . Kesiapan dalam memiliki juga harus dipertimbangkan . Pada intinya , manusia harus terus mengembangkan dirinya , namun tak boleh berlebihan dan juga sebaiknya mencari sesuatu yang lebih dari minimalis , karena pada saat manusia berusaha mencapai kesempurnaan , mereka sedang menuju kehancuran mereka sendiri .
Dawin XIE/13

Alfred mengatakan...

Memang benar segala sesuatu yang belebih tidaklah baik. Demikian halnya dengan segala sesuatu yang kekurangan tidaklah baik. Akan tetapi saya rasa tidak selamanya segala sesuatu yang berlebih tidaklah baik. Contohnya adalah keinginan manusia untuk berkembang. Walaupun keinginan atau hasrat ini sering membawa manusia pada kehancuran, perlu kita lihat bahwa dunia dapat berkembang karena hasrat ini. Jika rasa ingin tahu mereka terbatas, mereka akan menyerah saat menemukan sebuah tembok penghalang. Namun, para penemu dan para ahli berusaha memiliki hasrat ingin tahu yang berlebih hingga akhirnya mereka menyempurnakan penemuan mereka.

Namun, perlu kita garis bawahi bahwa nilai positif ini terbatas. Jika kita melihat secara garis besar memang tidaklah baik. Maka, rasio memang harus kita gunakan dalam melakukan tindakan-tindakan kita. Tanpa sebuah rasio, perbuatan kita tidak akan selamanya baik atau sesuai dengan kehendak Allah. Malah, mungkin di kemudian hari akan merugikan kita sendiri.

Maka, latihlah rasio selama kita masih dapat berpikir. Pilihlah perbuatan-perbuatan yang baik dan hindarilah perbuatan yang buruk sebab perbuatan buruk akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Alfred Susilodinata XIE/3

WaroengLordz mengatakan...

Dengan adanya akal budi kita sebenarnya dapat mengatur diri kita sendiri dari berbagai hal yang dinilai kurang baik ataupun merugikan orang lain. Akan tetapi rasio akal budi itu mulai kelihatan pudar seiring dengan perkembangan jaman. Jaman yang mulai berkembang dengan pesat dan penuh persaingan ini membuat orang-orang menjadi 'buta' dengan iming-iming gelar dan kekayaan. Orang semakin lama akan terus mengejar kekayaan dan tidak mudah puas dengan apa yang ia miliki dan terus berlomba-lomba dengan berbagai cara.

Hal ini seharusnya kita sadari sendiri bahwa hidup ini harus seimbang. Seimbang dalam arti secukupnya, apapun yang kita miliki harus sesuai dengan kebutuhan hidup. Berlebihan dapat membuat tatanan hidup tak seimbang yang akhirnya menjerumuskan orang tersebut dalam dosa dan merebut hak orang lain, misalnya dengan korupsi atau bersaing dengan tidak sehat.
hal ini tentu merugikan diri sendiri dan juga orang lain.

Gradiyanto XI-D /18

Unknown mengatakan...

Sesuatu yang berlebihan tidak selalu baik. Namun, banyak orang masih memiliki anggapan bahwa makin banyak / lebih itu makin baik. Anggapan ini banyak menjerumuskan orang-orang ke jurang keserakahan dan ketamakan. Pada kenyataannya banyak sekali hal-hal berlebihan yang justru malah merugikan.

Contoh yang paling dekat misalnya sel darah putih. Jika kekurangan sel darah putih, berarti tubuh kita menjadi rentan penyakit. Namun, kelebihan sel darah putih (leukimia) juga berbahaya.

Dari contoh kecil di atas, kita bisa belajar untuk selalu bersyukur atas segala anugerah Tuhan kepada kita. Jangan menginginkan sesuatu yang berlebihan. Hidup yang baik adalah yang secukupnya. Ratio sangat diperlukan agar kita bisa hidup secukupnya.

Jovian J. / XI-D / 22

kevinepe mengatakan...

yah, memang kita sebagai manusia tak boleh tamak. Maka, kadang-kadang filosofi orang daerah sini ada benarnya juga, yaitu "nrimo wae". Ini untuk menghindarkan kita para manusia dari sifat dasar kita yang satu ini.
Di era seperti sekarang ini, "cukup" memang tak pernah "cukup". Kita tak pernah puas.
Semoga dengan membaca artikel tadi, saya pun jadi lebis bisa "menerima" dan "secukupnya saja". Ketamakan harus dihindari, itulah asal muasal malapetaka perekonomian dunia saat ini.

Kevin Eka Putra
XI F / 28

Fransiskus Raymond mengatakan...

"Manusia bisa menjadi puas dengan mengendalikan dirinya." Itulah yang selama ini seringkali diucapkan oleh banyak orang yang menyadari makna 'kecukupan' namun tidak dapat menyangkal bahwa dirinya sendiri tidak suka 'hidup cukup'.

"Lebih baik kita membuat sesuatu berlebihan, daripada membuatnya dalam jumlah minim/cukup." Secara umum, hal ini sangat tepat karena dengannya maka seseorang selalu mempersiapkan untuk sesuatu yang lebih demi kemajuan dirinya dan orang lain.

Tapi apa jadinya kalau kita tidak mampu mengatasi 'kelebihan-kelebihan' yang kita ciptakan sendiri? Ketamakan akan muncul secara alamiah. Memang sudah sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Ketidakpuasan itu secara perkembangan membawa dampak terjadinya kemajuan-kemajuan signifikan dalam berbagai segi, namun di sisi lain, mulai terjadi ketidakpuasan yang tidak dilandasi dengan kerasionalan. Orang berusaha mencari, mencari, mendapat, lalu mencari lagi. Terus, terus, dan terus berlangsung repetisi tersebut. Filosofinya tepat di mana kita harus berusaha untuk meningkatkan diri kita, mengembangkan diri kita, sehingga kita bisa ikut serta dalam karya keselamatan Allah. Namun, hal yang lebih penting adalah adanya rasio akan nilai ketidakpuasan yang ada dalam diri tiap orang. Batasan yang jelas akan membuat kita mampu menakar seberapa besar harus kita berbuat demi tercapainya suatu tujuan. Kita akan menilai pencapaian kita sebagai suatu hal yang positif. Setelah itu, baru kita mulai bersiap-siap memulai dengan tingkat yang lebih sulit sehingga kita tetap mengembangkan diri kita, namun kita bertindak dengan ukuran yang jelas.

Jika kita terbiasa untuk menakar seberapa nilai cukup dalam diri kita, maka kita akan mendapatkan lebih dari yang kita inginkan. Sebab, nilai cukup dipadu dengan alamiahnya seseorang dalam ketidakpuasan akan membuat dirinya semakin berkembang namun secara dewasa, bukannya mengikuti kehendak nafsu, melainkan berpikir lebih ke dalam jiwa kita melalui suara hati kita.

Fransiskus Raymond
XIE/20

janitra mengatakan...

Dalam kehidupan, apalagi di negara atau kota yang sudah maju, setiap orang pasti ingin hidup secara berkecukupan, tidak kurang akan hal apapun, jika kurang, pasti sebagian orang akan mengeluh,"mengapa saya harus hidup miskin??"sebenarnya, berkecukupan atau minimalis adalah pilihan bagi setiap orang, sesuatu yang kurang tidak selalu membawa kebahagiaan, namun sesuatu yang berlebihan juga belum tentu membawa kebahagiaan

Janitra/XIB/26

Ivanzz mengatakan...

mungkin sangat sulit untuk mengatakan "secukupnya saja" dalam kehidupan sehari-hari, kita sebagai manusia selalu ingin lebih unggul dari yang lain, dan tidak mau biasa-biasa saja, buktinya? jangan jauh-jauh, di kanisius saja banyak anak yang mau nilai tinggi, mengejar prestasi, bagaimana dengan "secukupnya saja" ini? begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, jika kita makan, maka kita ingin dipuaskan, jika kita kerja dan dapat uang, kita tidak mau uang itu hanya cukup untuk makan saja, namun harus lebih, untuk dibelanjakan barang-barang yang memang sifatnya tersier tapi menjadi gaya hidup masyarakat sekarang.
Menurut saya, yang penting adalah bagaimana kita bersyukur atas yang telah diberikan pada kita, mungkin lebih, mungkin hanya cukup dan mungkin juga kurang.
Ivan/XIB-25

Unknown mengatakan...

Menurut saya sebagai manusia sebetulnya kita tak akan pernah puas karena sifat alami kita yang selalu ingin lebih dari apa yang telah kita dapatkan tetapi semestinya kita harus dapat menahan diri untuk bersyukur terhadap apa yang kita telah dapatkan.
Ingin mendapat sesuatu yang lebih baik memang dibutuhkan unntuk dapat memajukan kehidupan kita sendiri tetapi ada waktu dimana kita harus berhenti sejenak dan mensyukuri karunia yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
Geraldi W/XIF/20

A.D.K mengatakan...

hal-hal layaknya kekayaan dan keinginan tidak akan membuat seseorang puas dengan cepat jika seseorang sudah termakan sikap itu dan tidak dapat mengontrol diri akan membuatnya kehilangan dirinya atau lupa diri yang akan menghancurkan dirinya maka itu seharusnya kita menyadari dan menghargai yang kita punya ,yang kita dapt dan miliki sehingga perasaan puas akan muncul secara ajaib dan hal-hal sewajarnya dan cukup akan lebih baik daripada kekurangan.

davine XIE/12

Christopher Albert mengatakan...

Dalam kehidupan ini, manusia tentunya sangat membutuhkan uang. oleh karena itu,mulai lah manusia menggunakan berbagai macam cara, mulai dari bekerja, saham, atau bahkan judi. Banyak sekali orang yang melakukan spekulasi dengan menginvestasikan pada sesuatu yang tak pasti. tentunya hal ini diakibatkan rasio yang tidak digunakan dengan baik. yang diinginkan hanyalah meraih uang dengan cepat dan banyak. ini harus dihindari, sebab pada akhirnya ini akan membuat masalah seperti krisis global. cukupkanlah diri anda dengan yang ada saat ini. jangan terlalu berlebihan. dan selalu mintalah petunjuk dan doa pada Tuhan dalam melakukan segala sesuatu.

Christopher Albert mengatakan...

Dalam kehidupan ini, manusia tentunya sangat membutuhkan uang. oleh karena itu,mulai lah manusia menggunakan berbagai macam cara, mulai dari bekerja, saham, atau bahkan judi. Banyak sekali orang yang melakukan spekulasi dengan menginvestasikan pada sesuatu yang tak pasti. tentunya hal ini diakibatkan rasio yang tidak digunakan dengan baik. yang diinginkan hanyalah meraih uang dengan cepat dan banyak. ini harus dihindari, sebab pada akhirnya ini akan membuat masalah seperti krisis global. cukupkanlah diri anda dengan yang ada saat ini. jangan terlalu berlebihan. dan selalu mintalah petunjuk dan doa pada Tuhan dalam melakukan segala sesuatu.

Christopher ALbert Rusli / 11-F / 12

Ricky Kristanda mengatakan...

Awal dari suatu ucapan syukur adalah suatu perasaan bahwa kita sudah merasa cukup dan puas dengan apa yang kita miliki. Seseorang yang tidak pernah merasa puas, tidak akan pernah mensyukuri apa yang ada pada dirinya. Tuhan menginginkan kita untuk mengucapkan syukur dalam segala hal, apabila kita menerima sesuatu yang besar kita harus mengucap syukur demikianlah pula bila kita menerima sesuatu yang kurang besar sekalipun kita harus tetap mengucap syukur.
Tetapi hal ini bukan berarti kita mudah puas dan mudah menyerah dengan apa yang kita miliki. Rasa puas ini janganlah membuat kita menjadi pasrah terhadap kehidupan. Rasa puas ini hendaknya menjadikan kita untuk bersemangat dan beriman akan sesuatu perkara-perkara yang lebih heran dan besar lagi. Tuhan tidak menyukai orang yang pesimistis karena berarti orang tersebut tidak berserah kepada Allah. Tuhan ingin agar kita umatNya menjadi orang yang optimis dan senantiasa mengucap syukur atas anugerah, berkat dan kasih setiaNya yang sungguh heran bagiNya. Jadilah umat yang layak bagiNya (Lukas 1 : 17)
RICKY KRISTANDA XID/33

K mengatakan...

Secukupnya saja? Hmm...

Saya malah ingat tulisan sebelumnya mengenai ukuran. Ukuran cukup-tidaknya sesuatu bagi tiap orang berbeda-beda, dan tidak bisa disamakan satu sama lain. Kalau begitu tidak ada orang tamak? Ada. Mereka yang berlebihan adalah mereka yang tidak pernah merasa cukup.

Sikap apa yang tepat untuk diambil manusia? Sikap yang tepat adalah memiliki target-target kecil dalam kehidupan ini. Target-target kecil itu tidak hanya ditujukan untuk diri kita sendiri, tetapi juga orang lain. Apabila satu target kecil terpenuhi, maka untuk memenuhi target yang sedikit lebih besar akan terasa kecil. Target ini pun membawa kebaikan bagi orang lain. Alhasil, apa yang kita lakukan semakin besar, membawa kebaikan bagi orang lain, dan tidak berlebihan.

Aditya Kristanto
XI-A / 1

icewing mengatakan...

Saya rasa keinginan manusia yang tidak pernah puas akan sesuatu yang dia miliki adalah wajar.Tetapi sebagai manusia pula kita harus sadar pula akan kemampuan yang kita miliki.Seperti kita memiliki uang yang terbatas sehingga kita tidak bisa memenuhi kebutuhan yang kita inginkan.Dalam hal ini minimalis menurut saya bisa dibilang hidup yang asal cukup.Minimalis ini menurut saya sangat baik dilakukan oleh para manusia agar dapat menjaga napsu untuk memenuhi kebutuhan yang dia inginkan secara paksa dengan tidak menyadari kemampuan ekonominya.Jikalau Kita mendapat hidup yang cukup hendaknya kita juga patut mengucapkan syukur kepada Tuhan atas yang kita dapatkan sehingga kehidupan kita dapat berjalan dengan cukup dan tidak tamak dan konsumeristis dalam memenuhi kehidupan

Jesen / XI-B / 27

kiel mengatakan...

hal ini yang sangat sulit diucapkan oleh banyak orang " CUKUP ". sebagai manusia, seringkali tidak puas dengan apa yang diraihnya, manusia selalu berusaha mendapatkan yang lebih dari biasanya. Padahal hal ini tidak dibutuhkan olehnya, hal ini disebabkan oleh sikap tamak saja. seperti contohnya seorang pekerja bekerja hingga larut malam demi mendapatkan uang lembur yang banyak, padahal ia sudah hidup dalam kelimpahan. hal ini akan merugikan dirinya sendiri, kesehatannya akan menurun. Hal ketamakan akan menyebabkan kerugian bagi dirinya sendiri.
Seharunya kita bersyukur erhadap yang telah Tuhan berikan dalam kehidupan kita, dan kita harus berani untuk mengatakan cukup. Berkekurangan itu memang tidak baik, tetapi berkelebihan juga tidak baik. Cukup adalah yang terbaik.

Ry0_W4t4n4b3 mengatakan...

saya setuju dengan pendapat di atas. Sebab, seharusnya manusia bersyukur apa adanya dengan yang ia miliki. Dengan ia mudah bersyukur dan tidak tamak, maka ia akan beroleh kebahagiaan. Orang yang tamak akan tidak pernah merasa bersyukur dan terus ingin lebih dan lebih sehingga ia tidak pernah merasa bahagia dan pusas.

Marvin
XIC/26

Unknown mengatakan...

Saat ini, manusia memang tidak dapat hidup tanpa uang. Manusia selalu dikaitkan dengan uang. Terkadang karena ketamakan kita, kita rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang. Jangan sampai kita sebagai manusia dibudaki oleh uang. Tetapi apabila selama perbuatan yang kita buat masih halal, perbuatan itu layak dilakukan.

Untuk mengatasi ketamakan itu, kita harus dapat puas dengan apa yang telah kita miliki. Namun, sifat dasar manusia adalah tidak pernah puas. Oleh sebab itu, ketamakan sulit lepas dari manusia dan sudah mendarah daging. Lantas, bagaimana mengatasi ketamakan itu?
Satu hal yang kita harus tahu yaitu perbuatan baik kitalah yang dilihat oleh Tuhan didunia ini, bukanlah seberapa banyak harta yang kita miliki. Apabila kita memiliki harta yang sangat melimpah namun perbuatan kita tidak sesuai dengan jalan Tuhan, untuk apa hidup di dunia ini?

James Hidayat
XI-E / 24

Unknown mengatakan...

Keinginan manusia untuk saling bersaing untuk menjadi yang paling hebat dalam sesuatu adalah sifat dasar manusia yang bahkan sudah ada sejak kisah perjanjian lama. Sifat tak pernah puas dan ingin saling bersaing yang menyebabkan manusia berbeda dibandingkan makhluk hidup lain. Manusia selalu ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik, ingin menjadi lebih unggul dalam segala hal dibandingkan sesamanya, ingin mengetahui segalanya, dan ingin menemukan segala sesuatu yang bisa ditemukan. atas dasar hal tersebut terjadilah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keinginan untuk unggul inilah yang memacu kehidupan berkembang.
maka tak sepenuhnya ketamakan dijadikan titik permasalahan.
Ketamakan dapat dikurangi dengan cara membudayakan diri sendiri dengan budaya bersyukur pada apa yang telah kita peroleh

Antonius Richard / xi-e / 5

HEHEHEHE mengatakan...

Sifat manusia yang tidak pernah puas sebenarnya sudah menjadi kodrat manusia itu sendiri. Sifat tidak pernah puas, selalu ingin yang lebih baik, sebenarnya yang menjadi faktor pendorong kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Misalnya dalam bidang teknologi. Sifat para ilmuwan yang tidak puas dengan teknologi yang ada dan selalu ingin yang lebih baik dari sebelumnya. Bila manusia hanya menginginkan yang secukupnya saja, maka kehidupan juga tidak akan maju. Seperti misalnya seorang anak hanya ingin nilai yang secukupnya, yaitu 70. Maka tentu nilai rapornya tidak akan baik. Jadi, menurut saya, sifat tidak pernah puas ini diberikan Tuhan dengan tujuan agar kehidupan manusia terus berkembang. Namun, memang kita harus mampu mengendalikan sifat ini. Kita harus menjaga kemurnian hati nurani, agar tindakan kita untuk menjadi lebih baik tidak menyimpang seperti merugikan orang lain atau melanggar perintah Allah.

Unknown mengatakan...

"Secukupnya saja!" kata ini memang sangat baik untuk diterapkan sebagai dasar untuk berperilaku dan refleksi diri setiap hari.
Pada dasarnya sesuatu yang bersifat berlebihan (kelebihan/terlalu) pastilah bukan sesuatu yang baik,sebagai contoh apabila kita menuangkan air kedalam botol secara berlebihan pastilah akan tumpah dan air tersebut terbuang percuma, seorang aktor yang berakting secara berlebihan (over acting) tidak akan disukai penonton, menyimpan/mengambil uang secara berlebih dapat mengundang kejahatan,dan contoh lainnya.
namun meskipun hal ini sudah diketahui, manusia masih cenderung untuk melakukan segala sesuatunya secara berlebihan, hal ini disebabkan karena dalam diri setiap manusia terdapat hawa nafsu yang dapat mengendalikan manusia ke perilaku yang berlebihan.

Untuk mengatasi nafsu ini ,hendaknya kita menyeringkan diri untuk bernegosiasi kepada hawa nafsu ini seperti yang sudah dituliskan diatas.
Selain itu dapat pula dengan mulai membiasakan diri berefleksi setiap harinya dan bertanya apakah yang saya lakukan tadi sudah cukup atau belum? apabila sudah bagaimana saya mempertahankannya? apabila belum bagaimana saya memperbaikinya?

Anonim mengatakan...

kalo membicarakan tentang sifat dasar manusia, perasaan puas tidak akan pernah didapatkan oleh manusia karena manusia selalu ingin lebih dan lebih. sayangnya sikap inilah yang menjadi suatu kelemahan ataupun suatu pengganggu dalam hidup manusia, karena ia tidak akan pernah habisnya mencoba untuk memenuhi hasratnya itu.
apalagi saat ini ketika krisis terjadi hampir di seluruh dunia, orang-orang menjadi semakin sulit untuk memenuhi kebutuhannya itu.
dan hal ini menjadi bumerang bagi mereka, karena mereka justru menghalalkan segala cara, macam kredit, yang justru menambah beban hutang mereka.
untuk menyikapi hal tersebut, kita haruslah kembali ke diri kita masing-masing. ada orang yang tidak bisa mengerem keinginannya untuk punya semuanya. hendaknya kita menjadi pribadi yang bisa tahu di mana batas kemampuan saya. di mana saya mampu memenuhi hal-hal yang saya inginkan tersebut. jangan sampai terjadi "besar pasak daripada tiang", yang ujung-ujungnya justru membawa suatu pengaruh buruk. dalam diri kita hendaklah kita menanamkan suatu sikap yang mampu mengerem diri atau kemauan kita. jangan sampai kita lepas kendali, karena akibat yang ada justru akan merugikan diri sendiri

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan bisa mengendalikan diri kita tidak akan menjadi tamak. Dan dengan menahan diri dari ketamakan, maka kita akan semakin terhindar dari hal-hal yang dinamakan dosa. Karena jika ketamakan sudah menguasai diri kita, kita akan mengahlalkan segala cara untuk suatu tujuan yang kita capai.
Walaupun terkadang “obsesi” diperlukan untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi dalam usaha untuk mecapainnya “obsesi” hanya sebagai semangat untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara yang benar.

Yohanes Rico / XI-C / 38

steve edpin mengatakan...

Steve Edpin XI-A / 19

Sebagaimana kita tahu, manusia sangat sulit untuk mengucapkan kata puas. Dan walaupun ada, itu hanya sebagian kecil.
Manusia akan selalu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada selesainya. Setelah kita memenuhi kebutuhan kita di saat ini, pasti ada lagi berjuta alasan untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
Bisa dikatakan bahwa kebutuhan manusia tidak ada habisnya, sehingga mungkin di suatu saat apa yang dibutuhkan manusia lah yang akan habis secara tak terduga.

Hal ini didasarkan oleh nafsu manusia yang berlebihan akan selalu muncul, tanpa didasari hati nurani yang benar. Merasa sulit memikirkan orang lain, makhluk lain, dan lingkungannya sendiri yang saat ini ia tinggali, itulah ciri khas manusia sebagian besar.
Manusia tidak memikirkan akibatnya suatu saat yang dialami oleh penerus atau generasi nanti. Mereka justru memanfaatkan hidupnya bukan untuk memperbaiki malah justru akan merusak dan mungkin menghancurkannya.

Manusia sangat senang melakukan jalan-jalan pintas. Hal yang lebih mudah dan tidak merepotkan, itulah yang akan mereka pilih - bahkan meskipun hal itu salah, manusia akan senantiasa melakukannya (namun tidak semua manusia bersikap seperti ini).
Apalagi jika hal-hal tersebut berhubungan dengan uang, pastilah sebagian besar manusia -bahkan mungkin di antara kita- akan mudah sekali tergiur. Ini dikarenakan, manusia menganggap bahwa uang ialah segala-galanya. Uang adalah hidup utama mereka.
Namun, seperti telah kita ketahui juga, sesuatu yang berlebihan -dalam hal apapun juga- tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Marilah kita mengevaluasi diri kita. Kita refleksikan diri kita. Apakah yang kita lakukan itu telah benar? Jika ya, apakah hal itu benar-benar sempurna?
Tiada gading yang tak retak. Demikianlah manusia, pastilah manusia tidak dapat melakukan sesuatu secara benar-benar sempurna. Oleh karena itu , mari kita melakukan segala sesuatu dengan dilandaskan kesadaran hati nurani kita yang benar, sehingga apa yang terjadi akan membuahkan sesuatu yang benar pula.

Selain itu, lebih baik sesuatu dilakukan dalam jumlah yang seminimal mungkin, namun dapat menghasilkan sesuatu yang optimal.

Unknown mengatakan...

Memanglah sangat sulit mengindarkan diri dari kata 'uang' dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hari dari dimulai bangun pagi kita memikirkan uang, bagaimana saya mendapatkan uang?, hingga hendak tidur, apakah saya akan mendapatkan uang yang banyak?
Tiada hari tanpa uang. Memang uang merupakan kebutuhan yang penting dalam hidup ini, tetapi kita tidak perlu menjadi tamak hanya karena uang. Kita harus bisa menentukan mana yang terpenting dan yang sebenarnya kita butuhkan dengan uang. Kita sebenarnya bisa menggunakan uang dengan secukupnya, tetapi itu semua tetap kembali kepada tiap individu yang menyikapinya. Kita harus melatih diri kita untuk terbiasa hidup hemat dan secukupnya,..

Yulius AJ
XIE/41

Gunawan mengatakan...

UANG....uang adalah hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia saat ini. apapun bisa d lakukan oleh uang, sampai hukum pun bisa di beli oleh uang. menjadi rang yang lebih disegala hal bukanlah hal yang mudah. tetapi hal tersebut lah yang selalu dialami oleh manusia dan diinginkan dalam kehidupan sehari-hari.
harus diketahui bahwa minimalis bukanlah secukupnya. secukupnya adalah keinginan dimana kita akan sejajar dengan kehidupan disekeliling kita. berbeda halnya dengan minimalis. minimalis adalah pasrah terhadap sesuatu tanpa ada usaha untuk menjadi lebih baik.
seseorang dikatakan sudah puas, cukup atau minimalis hanyalah diketahui oleh orang tersebut sendiri karena hal tersebut dialami oleh orang itu sendiri.ada baiknya kita merenung dan merefleksikan kegiatan-nya sendiri dan berfikir apakah ia sudah puas atau belum. ada baiknya seseorang merasa pikirannya puas atau tidak jangan hanya memikirkan dari luar. karena apabila seseorang berpikir ia sudah puas atau belum hanya dari luar tetapi tidak dari dalam hati, ia akan mendapatkan jawaban dari dirinya bahwa ia blum puas,karena sifat mendasar dari manusia adalah tidak cepat puas. tetapi apabila seseorang berpikir dari dalam hati, maka ia akan merasa puas akan apa yang telah ia miliki, karena orang tersebut merasa BERSYUKUR akan apa yang telah dimilikinya sebagai pemberian dari tuhan.
Gunawan Handoko
XIB/24

Wete mengatakan...

lebih itu tidak buruk, bahkan baik. bila kita bisa lebih mengapa tidak berusaha menjadi lebih baik?
dalam hal apa saja, tidak ada salahnya bila kita bisa lebih daripada orang lain. bahkan semangat untuk mendapat lebih itu dapat menjadi cambuk semangat untuk lebih maju dalam beberapa bidang, anggaplah ekonomi atau yang lainnya.

bila orang yang tidak pernah merasa cukup dibilang tamak, menurut saya hal ini salah. karena orang yang merasa cukup adalah orang yang lebih cepat menyerah, sedangkan orang yang tidak pernah merasa cukup adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk maju, dalam hal apapun itu termasuk uang, materi, ilmu ataupun yang lainnya.

William XID.37

Unknown mengatakan...

Pada dasarnya,manusia adalah homo economicus,dimana manusia memiliki hasrat dasar yang membuat ia merasa terus-menerus merasa perlu untuk memenuhi segala macam kebutuhan-kebutuhannya.

Hasrat dasar itu,dalam konteks ini adalah uang dan barang.Kedua hal tersebut juga merupakan penyebaba begitu banyak manusia terjerumus dalam lingkaran setan untuk tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya.

Bagaimana cara agar kita mampu,setidaknya menahan keinginan-keinginan tersebut?
Rasionalisasi dan rasa syukur adalah jawaban paling masuk akal dalam menghadapi masalah ini,Di saat kita sudah menerima begitu banyak uang kita harus sadar bahwa di luar sana begitu banyak orang yang tidak seberuntung kita.Logikanya,kita seharusnya berpikir pantaskah aku menerima uang sebanyak sekian ini? DAri situ akan timbul rasa syukur,dan mengarah ke perasaan bahwa kita sebenarnya sudah sangat "cukup" dengan apa yang kita miliki.

Kevin Dana XI A/15

steven_licin mengatakan...

pada kenyataannya kebutuhan manusia adalah tak terbatas. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah ia dapatkan. Uang adalah sesuatu yang memang menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam duniawi,hal itu tidak dapat kita pungkiri. Akan tetapi justru uanglah yang menjadi jurang bagi setiap manusia untuk masuk ke dalam sikap 'TAMAK'. Ketamakan muncul karena adanya siakp manusia yang tak pernah puas. Hal ini memang menyulitkan manusia untuk menyatakan 'cukup' pada apa yang telah didapatkan. Akan tetapi menurut saya,apabila manusia mau melatih sikapnya untuk mengatakan 'cukup',maka saya yakin bahwa ia dapat mengendalikan dirinya agar tidak masuk ke jurang ketamakan.

STEVEN SOLICHIN XI F / 39

Kevin mengatakan...

'Secukupnya saja' jarang ada di daerah metropolitan seperti Jakarta sekarang ini. Semua orang berlomba - lomba untuk memamerkan kekayaan yang dimiliki dan membangga - banggakannya di depan teman - teman mereka. Sangat sulit orang yang berusaha untuk hidup secukupnya. Bahkan di tengah krisis yang melanda dunia saat ini pun orang - orang tetap berperilaku konsumtif karena ingin terlihat up to date. Padahal setelah dipikirkan kembali, uang bukanlah segalanya. Maka kita harus terus mengingat kata - kata 'segalanya membutuhkan uang tapi uang bukan segalanya'.
Kevin XI.C/25

G.A.B.E mengatakan...

Pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas dengan barang yang dimilikinya. Apabila ia telah mendapatkan sesuatu yang baik, maka ia akan mengharapkan sesuatu yang lbih baik ini. Sifat ini mungkin bisa juga disamakan dengan sifta untuk bersaing. Sifat ini bisa diartikan sebagai sifat yang baik tetapi juga bisa diartikan sebagai sifat yang tidak baik.

"Ketamakan" berarti menginginkan untuk lebih dari yang lain. Hal ini mempunyai unsur "baik" karena merupakan hal yang mendorong perkembangan manusia dari zaman batu sampai zaman teknologi informasi sekarang ini. Apabila manusia tidak mempunyai sifat tersebut, mungkin hal-hal yang enak di dunia ini seperti komputer, HP, tidak akan tercipta. Mungkin manusia hanya berpegang ke kebutuhan pangan, sandang, dan papan saja.

Tetapi karena ketamakan itu sendiri manusia cenderung tidak mengenal batas dan berusaha untuk memiliki semua hal di dunis ini, uang, kekuatan, status, dsb. Maka perlulah moral (dalam hal ini "rasio") yang mengatakan kepada diri kita bahwa "cukup sudah". Kalau tidak mungkin manusia akan menjadi makhluk gila yang menginginkan semua hal di dunia ini.

By :
Gabriel Alexander
XIE 21

Mr. Mix mengatakan...

Pada era kapitalisme sekarang ini, tentu saja tidak ada kata cukup terhadap sesuatu. Semua orang berlomba untuk menjadi yang ter-. Seperti yang terbaik, terhebat, dan terpandang. Sehingga, pada zaman sekarang ini manusia mempunyai sifat serakah dan tidak memperhatikan sesama. Yang penting adalah "gue..gue...dan gue". Tidak peduli keadaan orang lain seperti apa, yang penting kita senang dan bahagia. Itulah ciri khas dari zaman kapitalisme yang terjadi, sebagai akibat dari globalisasi.

ADRIANUS STEFFAN (XI-E/1)

Stephan Sonny mengatakan...

Menurut saya, keadaan krisis ekonomi ini terjadi memang karena kaum borjuis, yang sebenarnya terdapat di antara penduduk negara di setiap negara. Perlu dilihat dari teori Marxisme milik Karl Marx bahwa kaum borjuis digambarkan sebagai kaum yang membuat dunia khayalan yang membuat para kaum proletar menggelepar mengais rejeki. Hal tersebut rupanya terjadi pada masa kini, dimana para kaum kapitalis juga membuat jurang mendalam antara si kaya dan si miskin. Untuk menghentikannya, perlu ada keinginan dari diri sendiri untuk hidup yang cukup saja dan bersyukur atas pemberian Tuhan.