30 November, 2008

Kevorkian: Dr Death


Kevorkian adalah nama seorang dokter di Amerika. Pada tahun 1990-an ia dikenal masyarakt dunia karena kasusnya sebagai berikut:

"... dituduhkan kepadanya bahwa ia membantu pasien meninggal yang belum terminal. Pasien-pasien yang dibantunya memang mengindap penyakit fatal, tetapi penyakit mereka belulm pada stadium terakhirnya. Demikian halnya juga dengan pasien terakhir yang dibantunya, Thomas Youk. Padahal, terlepas dari penilaian boleh tidaknya, dengan 'euthanasia' selalu dimengerti mengakhiri kehidupan pasien terminal dan 'bunuh-bunuh diri berbantuan' selalu dipahami sebagai pemberian kesempatan kepada pasien terminal untuk membunuh diri. Jika saat kematian masih jauh, tidak terjadi euthanasia atau bunuh diri berbantuan... Lagi pula, ada dugaan kuat bahwa Kevorkian membantu beberapa pasien yang mengalami depresi. Kalau memang benar, perilakunya menjadi tidak etis karena alasan itu juga. Sebab, depresi adalah kondisi medis yang bisa diobati. Dan dokter tentu mempunyai kewajiban mengobati pasien, selama kemungkinan itu tersedia....

(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 126)

Bunuh Diri Berbantuan


"Euthanasia merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam zaman kita dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan. Istilah 'euthanasia' itu berasal dari bahasa Yunani: eu (=baik) dan thanatos (=kematian), sehingga dari segi asalnya berarti 'kematian yang baik' atau 'mati dengan baik'. Jika sekarang kita berbicara tentang euthanasia yang dimaksudkan adalah bahwa dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu sendiri. Sekitar dua puluh tahun yang lalu tindakan medis ini disebut 'euthanasia aktif', untuk membedakan dari 'euthanasia pasif'. Dengan istilah terakhir ini dimaksudkan keputusan medis untuk tidak memberikan pengobatan kepada pasien terminal seperti misalnya memasukkannya dalam Unit Perawatan Intensif dan memasang alat-alat canggih serupa ventilator atau respirator, atau menghentikan sama sekali pengobatan semacam itu, jika sudah dimulai.

Kini istilaha 'euthanasia pasif' tidak dipakai lagi dan memang sebaiknya begitu, karena kualitas etisnya sangat berbeda dengan tindakan mengakhiri kehidupan pasien terminal. 'Euthanasia pasif' biasanya diganti dengan sebutan 'membiarkan pasien meninggal' (letting die). Jika pasien sudah tidak ada harapan lagi, tentu dokter tidak wajib memasukkannya ke dalam Unit Perawatan Intensif dan boleh saja menghentikan alat bantu hidup, jika pemakaiannya tidak bisa membawa penyembuhan lagi.....

(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 128)

Hak atas ayah ibu biologis

".... Kembar dari satu ovum sebenarnya mempunyai identitas genetis yang sama. Hanya, kembar mempunyai identitas genetis itu berasal dari zygote (ovum dari yang dibuahi) yang sama dan karena itu seumur. Pada kembar, proses pemisahan sel berlangsung secara alami, tapi proses yang sama disebabkan juga dengan intervensi tehnologis (dan karena itu tetap seumur). Pada pengklonan dari sel dewasa, terdapat identitas genetis tapi antara dua makhluk yang berbeda umurnya. Dolly adalah 'kembar' dari induknya yang berumur lebih tua enam tahun.

Walaupun klon merupakan semacam fenomena alami juga, mengapa pengklonan individu manusia ditolak begitu tegas, bahkan emosional ? Penilaian etis tidak bisa dan tidak perlu bebas emosi, tetapi akhirnya harus didasarkan atas alasan rasional. Saya rasa, dalam pernyataan WHO kita menemukan dua alasan penting. Pengklonan manusia terutama harus ditolak karena (1) bertentangan dengan martabat, dan (2) dengan integritas manusia.

Karena manusia mempunyai martabat khusus, kehidupan manusia selalu harus dihormati dan tidak pernah boleh dipermainkan. Mengklon manusia justru berarti mempermainkan kehidupannya. Berarti pula menggunakannya demi suatu tujuan lain dan tidak menghormatinya demi dirinya sendiri. Padahal, kehidupan manusia adalah inviolable (tidak boleh diganggu gugat). Kehidupan manusia itu suci.

Integritas berarti "keutuhan". Integritas manusia harus kita hormati dan harus kita jamin, sejauh bergantung dari kita, termasuk juga integritas biologis dan genetisnya. Integritas genetis diperoleh seseorang dari orang tuanya. Manusia yang akan lahir melalui prosedur pengklonan tidak akan memiliki integritas yang semestinya. Mengapa? Karena tidak memiliki ibu dan bapak biologis.....

(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 119)

31 Oktober, 2008

Kehidupan Milik Siapa?



"... Kembar perempuan lahir di Manchester pada 8 Agustus 2008. Nama yang sebenarnya tidak diumumkan, tetapi oleh pengadilan Inggris untuk mudahnya diberi nama Mary dan Jodie. Dari segi medis, kondisi mereka sangat berat. Tulang pinggul mereka menempel dan tulang punggung beserta seluruh bagian bawah tubuh menyambung. Kaki-kaki ada pada tempatnya dalam posisi silang menyilang. Keadaan itu tampak pada gambar yang dikeluarkan oleh RS St. Mary's. Jantung dan paru-paru Mary tidak berfungsi, lagi pula otaknya tidak berkembang penuh. Jodie tampak dalam keadaan fisik yang normal, tertapi jantung dan paru-parunya mendapat beban berat, karena harus menyediakan darah beroksigen juga untuk saudaranya. Menurut para dokter keadaan ini hanya bisa berlangsung tiga sampai enam bulan. Kalau keadaan ini dibiarkan lebih lama, dua-duanya akan meninggal dunia.

Dengan demikian kasus kembar siam ini menimbulkan suatu dilema yang amat memilukan. Orang tuam, staf medis, dan semua pihak yang terlibat dalam kasus ini menghadapi suatu pilihan yang sangat sulit. Jika Mary dan Jodie tidak dipisahkan, mereka dua-duanya akan meninggal. Jika mereka dipisahkan melalui operasi, Mary pasti akan mati, karena ia tidak bisa bernafas sendiri, sedangkan Jodie mempunyai peluang baik untuk hidup dengan agak normal, walaupun dalam keadaan cacat dan harus menjalani banyak operasi lagi untuk sedikit demi sedikit membetulkan kondisi fisiknya.

Orang tua kedua bayi perempuan ini adalah pemeluk agama yang saleh. Mereka berpendapat, Mary dan Jodie sebaiknya tidak dipisahkan, karena cinta mereka untuk kedua anak ini sama besarnya. Mereka tidak bisa menerima jika, jika yang paling lemah harus dikorbankan kepada yang paling kuat. Karena itu mereka memilih menyerahkan seluruh masalah ini kepada kehendak Tuhan. Jika kedua bayi ini nanti meninggal merekak bersedia menerimanya sebagai rencana Tuhan. Staf medis di RS Mary's tidak setuju. Sesuai dengan naluri kedokteran yang umum, mereka beranggapan bahwa kehidupan yang mungkin tertolong, harus ditolong juga....
(K. Bertens, Sketsa-Sketsa Moral, 30 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2004, hlm. 85-86)

Membela Kehidupan


".....Agama mempunyai banyak alasan untuk membela kehidupan yang belum dilahirkan. Seksualitas dan proses reproduksi adalah cara yang dipilih Tuhan untuk meneruskan kehidupan manusia. Pasangan suami-istri yang meneruskan kehidupan bekerja sama dengan Tuhan Pencipta. Janin dalam kandungan ibunya adalah ciptaan Tuhan....Mungkin salah satu tugas pokok agama dalam abad mendatang adalah justru membela kehidupan manusiawi yang belum dilahirkan dan memperjuangkan martabat reproduksi manusia.

Agama tidak selalu mempunyai pandangan yang sama tentang saat dimulainya kehidupan insani....

Pemikiran Aristoteles melatarbelakangi pandangan Thomas Aquinas, teolog Kristen berkaliber besara dari abad ke-13. Thomas Aquinas menyetujui pendapat Aristoteles bahwa embrio selama dalam kandungan menjalani beberapa fase: fase vegetatif, fase animal, dan akhirnya fase manusiawi. Dalam fase vegetatif, embrio mempunyai jiwa (=prinsip kehidupan) seperti tumbuhan. Dalam fase animal, embiro mempunyai jiwa seperti binatang. Akhirnya dalam fase manusiawi, jiwa manusia dicurahkan oleh Tuhan dalam embrio. Thomas berpendapat bahwa jiwa manusiawi itu tidak akan mati ......

(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 111)

Lain Hippokrates, lain pula "Dukun"


"........Hippokrates (kira-kira 460-377 SM) adalah dokter Yunani kuno yang memberi kerangka ilmiah kepada profesi kedokteran dan karena itu sering digelari "bapak ilmu kedokteran". Yang sangat menarik adalah Hippokrates serentak juga mewariskan kepada profesi mesis kode etik pertama yang dikenal sebagai "Sumpah Hippokrates". Sumpah Hippokrates ini memainkan peranan penting sekali dalam sejarah kedokteran dan banyak membantu untuk menegakkan profesi medis sebagai profesi luhur dalam masyarakat. Dalam sumpah Hippokrates antara lain terdapat ketentuan yang melarang abortus. Dikatakan: "aku tidak akan memberikan kepada wanita seorang sebuah alat yang abortif". Lalu langsung ditambahkan: "Dalam kemurnian dan kesucian aku akan menjaga kehidupan dan seniku" (=profesi kedokteran). Kita mendapat kesan, larangan abortus bagi Hippokrates berkaitan erat dengan ini profesi medis: memelihara kehidupan. Tidak pantas seorang dokter membunuh kehidupan insani. Praktek membunuh merupakan semacam kontradiksi bagi profesi medis. Kehidupan insani yang baru mulai berkembang, harus dipelihara juga. Terutama karena pengaruh sumpah Hippokrates ini, dalam etika kedokteran tradisional telah tumbuh suatu tendensi anti-abortus yang kuat. Sejauh abortus dipraktekkan, pelaku umumnya bukan dokter, melainkan "dukun" atau non-profesional yang bergerak di pinggiran profesi medis...
(K. Bertens, Perspektif Etika, Esai-Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hlm. 108-109)

25 Oktober, 2008

Hukuman mati dihapus?


Artikel di bawah ini merupakan bagian penutup dari makalah yang dibuat oleh Tim Imparsial:

Hukuman mati jelas tidak dapat didekati lewat cara pandang normatif. Realitas penerapan hukuman mati sepanjang sejarah hukum di Indonesia telah membuktikan kehadirannya sebagai instrume politik rezim yang absen dari demokrasi. Proses pertumbuhan berbagai ketentuan hukum yang menerapkan hukuman mati akhirnya mengantarkan kita lebih dekat untuk memahami watak rezim kekuasaan di balik produk hukum ketimbag soal hukuman mati itu sendiri. Sementara hukuman mati sebagai instrumen yang oleh sebagian kalangan dinilai mampu mengurangi tingkat kejahatan, ternyata menghasilkan sebaliknya. Hukuman mati tidak pernah terbukti mampu mengembalikan keadaan yang terganggu akibat suatu kejahatan.

Mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif semata jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Semua kerangka historis tentang penerapan hukuman mati dalam ketentuan hukum nasional sejak masa kolonial Belanda sampai pembentukan prodkuk hukum terbaru, seperti UU anti terorisme, UU peadilan HAM, UU anti korupsi, dan UU anti narkotika, hanya mengisyaratkan wakat kekuasaan negara ketimbang aspek yang bersifat hukum dalam kerangka mengatasi berbagai bentuk kejahatan. Hukuman mati muncul dalam bentuk langkah-langkah politik, baik itu dalam kerangka mengancam kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat, maupun dalam memperoleh dukungan politik.

Fakta-fakta sejarah penerapan hukuman mati mempertunjukkan pula bagaimana para sasaran penerapan hukuman mati adalah bagian dari kekayaan politik rezim berkuasa. Mereka yang telah dijatuhi hukuman mati, tidaklah otomatis akan berhadapan langsung dengan regu tembak. Tetapi mereka masih harus bertarung dengan keputusan politik grasi yang selalu ditunggu di tangan "kebaikan hati" Presiden. Perdebatan pelaksanaan eksekusi yang muncul di publik justru ada dalam momentum-momentum politik, ketimbang ketentuan normatif yang mengaturnya demikian. Maka tidak heran kalau para terpidana mati harus menunggu eksekusi itu bertahun-tahun, karena mereka adalah milik da kekayaan penguasa politik, yang kapan saja dibutuhkan dapat diakhiri hidupnya. Eksekusi sebagai keputusan politik akan disambut tepuk tangan haru rakyat yang lapar akan pembalasan, dan ini adalah kompensasi ketidakcakapan penguasa negara mengatasi berbagai betuk kejahatan.

Hukuman mati hanya mengisi satu sisi kebutuhan bahwa negara hadir dalam semua ruang pembalasan atas kerjadi kejahatan. Negara - lewat palu para hakim - berupa harid di antara amarah masyarakat atas terjadinya kejahatan dan kebutuhan si penguasa politik untuk mempertahankan legitimasi.

Hidup dan esensi sebagai manusia para terpidana mati telah berubah menjadi angka-angka dan bendera dari upacara simbolik kekuasaan. Putusan hukuman mati telah mengantarkan pencabutan identitas terpidana sebagai manusia, ia segera berubah menjadi benda-benda eksperimen mengatasi kejahatan ataupun hanya sekedar benda di etalase penguasa. Kecenderungan kehidupan dan esensi hak hidup itu dalam kerangka kepemilikikan negara, dan atas nama hukum negara dapat menariknya kembali kapan itu dibutuhkan. Di sini negara telah bertindak sebagai pemilik dari hak hidup itu sendiri.

Berbagai argumen yang muncul mempertunjukkan efektivitas penerapan hukuman mati dalam kerangka etika dan moral. Keinginan memberikan pembalasan atau membinasakan nyawa si pelaku kejahatan, jauh-jauh hari telah mendahului proses peradilan terhadap para tersangka mati itu. Para pemberi dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati bagi tertuduh yang telah melakukan kejahatan meyakini akan terjadinya pengembalian keseimbangan yang terganggu akibat terjadinya kejahatan. Keinginan agar keseimbangan kembali tiada lain adalah keinginan melakukan pembalasan yang optimum melalui legitimasi peradilan.

Bagi para pelaku politik negara, keinginan melakukan pembalasan di kalangan masyarakat adalah realitas sentimen politik. Pelaku politik dalam upaya memperoleh dukungan politik telah membantu menemukan relasi dari hukuman mati dan kosolidasi kekuasaan. Dalam konteks ini tidak terlalu penting penilaian terhadap kehadiran hak hidup para pesakitgan hukuman mati, atau efektifitas hukuman mati itu sendiri akan melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan.

Sulit dicari relasi yang tepat dan dapat menggambarkan hubungan antara penerapan hukuman mati dengan kejahatan itu sendiri, bahkan keyakinan atas kemungkinan adanya deterrents effect (efek jera) terhadap pelaku kejahtan. Dalam konteks ini hukuman mati tidaklah dapat dilihat sebagai instrumen fungsional yang penting bagi mempertahankan keharmonissan sosial. Dalam fakta sejarah, kita dapat ditemukan secara jelas keterpusatan kekuasaan dan harmoni kekuasaan sajalah yang justru menjadi ruang hidup hukuman mati.

Pelaku politik, masyarakat yang marah akan kejahatan, hukuman mati, dan hak untuk hidup, haruslah memperolah ruang bagi penataan ulang. Hukum adalah produk politik, akan tetapi mekanisme dan perilaku politik itu sendiri musti diberikan pembatasan agar ia tidak menjadi kekuatan aksesif (excessive) yang dapat merampas hak hidup. Perlindungan masyarakat dari berbagai kejahatan, tidaklah tergantung pada beberapa banyak pelaku kejahatan mampu dihukum mati. Hak untuk hidup tidaklah dapat dikorbankan karena kekuasaan menghendakinya, ataupun masyarakat memberikan dukungan untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Legitimasi masyarakat untuk mencabut hak hidup itu juga telah menjadi alat mempertahankan kekuasaan, dan bahkan menjadi ancaman terhadap keselamatan masyarakat itu sendiri.

Perubahan hukum nasional jelas adalah pintu masuk bagi penghapusan hukuman mati. Kalau dalam konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup dapat dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan penerapan hukuman adalah kewajiban konstitusional.......

Tim Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, sebuah studi kebijakan di Indonesia, Juni 2004. Lihat selengkapnya....

22 Oktober, 2008

Mempersoalkan Hukuman Mati

Penolakan grasi enam orang terpidana mati oleh Presiden Megawati dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Pasal 28 A dan 28 I menyebutkan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. PBB juga mengeluarkan sebuah Konvenan Hak Sipil dan Politik beserta protokolnya yang sudah menghapus hukuman mati. Aturan internasional ini seharusnya diikuti oleh Komnas HAM Indonesia yang dalam fungsi dan tugasnya mengacu pada Komisi Tinggi HAM di PBB.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa hukuman mati masih menjadi hukum positif. Karena itu, hukuman matiharus ditimpakan pada terpidana mati. Sikap tersebut didasari oleh adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan dalam pasal 28 yang berbunyi "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.....Kenyataannya, hukuman mati memang masih tercantum dalam KUHP dan UU negara ini.

Hukuman mati atau capital punishment akar katanya berasal dari caput (bahasa Latin). Kata ini dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala, hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati dimengerti sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah.

DAlam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. Sanksi ini bertujuan menegakkan norma hukum dan secaraa preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Si terhukum pun menjadi contoh yang menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran.

Tujuan hukuman mati adalah pembalasan yang lebih menonjol dalam masyarakat primitif, penghapusan dosa yang dilatarbelakangi pandangan religius untuk menghapus kesalahan dengan penderitaan setimpal, membuat jera untuk pelaku kejahatan lain. Hukuman mati bertujuan pula melindungi kepentingan umum dan memperbaiki penjahat yang akan melakukan kejahatan.

Gerakan penghapusan hukuman mati telah gencar dibicarakan sejak abad ke-18. Beberapa tokohnya antara lain: Montesquieu menulis Lettres-persanes (1721), Voltaire membela Jean Callas yang terlanjur dihukum mati, Cesare Beccaria (1738-1794) menerbitkan buku An Essay on Crimes and Punishment.

Argumen penghapusan hukuman mati didasarkan pada alasan yang meragukan efektivitas hukuman mati. Putusan seseorang dihukum mati seringkali dianggap tidak berdasarkan observasi empirik, tetapi terbatas pada opini polisi dan bantahan para jaksa. Lebih buruk lagi, terhukum kerap kali dihukum berdasarkan motif-motif politik seperti mengancam status quo atau berasal dari kelas sosial dana ras tertentu. Hal ini dialami oleh para budak dan kulit hitam di Amerika pada tahun 1930-1964.

Keberatan lain didasarkan pada pendapat bahwa seseorang yang dihukum mati tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Von Henting menilai hukuman mati bernilai destruktif karena negara dianggap tidak menghargai maratabat luhur warganya. Padahal negara seharusnya wajib mempertahankan nyawa warganya dalam keadaan apapun. Leo Polak menganggap hukuman mati berisiko tinggi jiwa hakim keliru dalam menentukan keputusan sementara terhukum sudah mati.

Alasan bahwa pelaku akan takut jika diberlakukan hukuman mati, tidak sepenuhnya tepat. Di negara yang memberlakukan hukuman mati pun angka kejahatan tidak turun. contohnya para teroris siap mati untuk tugas mereka dan menghukum mereka justru menjadikajn mereka sebagai pahlawan. Pemberlakuan hukuman mati tidak menyelesaikan masalah dan seringkali tidak adil. Sulit sekali membuat putusan hukuman mati bila ada aturan membawa 10 gr heroin akan dihukum mati, lantas bagaimana dengan pelaku yang membawa 9,8 gr.

Dalam beberapa penelitian tentang hubungan antara tindak kejahatan dengan hukuman mati, tidak ada kaitan yang erat. Sejak tahun 1874 Italia tidak menerapkan hukuman mati, namun di tahun 1876-1907 angka pembunuhan menurun dari 9,86/100.000 jiwa menjadi 4,86/100.000 jiwa. Sementara di Rumania yang menghapus hukuman mati sejak tahun 1865, justru angka pembunuhan menurun dari 5,6/100.000 jiwa menjadi 2,5/100.000 jiwa pada tahun 1876 - 1907. Saat ini ada 35 negara yang menghapus total hukuman mati, 18 negara menghapusnya kecuali untuk kejahatan perang dan 27 negara mempertahankan hukumam mati tetapi tidak pernah melaksanakannya.

Meskipun angin penghapusan hukuman mati telah berhembus, masih ada negara-negara yang menerapkan hukuman mati. Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati kebanyakan adalah negara-negara totaliter komunis. Dalam ideologi komunis, pribadi manusia harus kalah dengan kepentingan negara, partai dan ideologi komunis. Negara dunia ketia yang menerapkan hukuman mati lebih karena kecenderungan kolektivisme, pemerintah yang otoriter serta adanya kaum fundamentalis. Pada tataran moral dapat dikatakan kepekaan negara-negara tersebut terhadap keluhuran martabat manusia dan hak-haknya belum sangat halus atau mereka berpendapat bahwa pribadi manusia dapat dikorbankan demi stabilitas nasional.

Dari uraian di atas tampak bahwa sebenarnya pro dan kontra terhadap kukuman mati telah berlangsung sejak lama. Ketika Litbang Kompas mengadakan jajak pendapat, sebagian besar responden (76 %) menyetujui penerapan hukuman mati sebagai tingkat hukuman paling berat kepada terpidana kasus berat. Para responden menyebutkan beberapa kasus yang pantas dijatuhi hukuman mati yaitu: pembunuhan berencana 32,4 %, narkoba 29,2 %, terorisme 11,7 %, pemerkosaan 10,4 %, dan korupsi 9,1 %. Sikap setuju terhadap hukuman mati tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor lemahnya penegakan hukum, ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, dan makin maraknya aksi kejahatan. Legitimasi negara untuk menentukan hidup mati seseorang pun semakin kuat dengan bertambahnya kasus-kasus pidana yang diganjar hukuman mati dalam enam tahun terakhir ini.

Dari pihak terhukum muncul pendapat agar putusan hukuman mati patut ditunda atau diberikan keringanan. Alasannya beraneka seperti: pada kasus Jurit terdapat beberapa kejanggalan dalam vonis, putusan terhadap Adi Kumis dinilai tak adil karena ada pelaku yang belum tertangkap, pada kasus Sumiarsih dan Sugeng diakui bahwa inisiatif pembunuhan bukan dari Sugeng sedangkan dalam kasus Ayodya telah ditemukan bukti baru yang bisa mengubah vonis hukuman mati. Selain itu mereka telah berubah setelah menjalani hukuman penjara sekian lama. Dr Arief Budiman (Kompas 17/2/2003) menilai sistem peradilan kita masih lemah dan berlumuran KKN sehingga kemungkinan besar terjadi ketidakadilan dalam putusan, apalagi mengingat ada banyak orang yang dosanya lebih besar justru dibiarkan bebas.

Persoalan pro dan kontra hukuman mati, jika dilihat dengan budi nurani jernih, memang tidak mudah dituntaskan. Di Indonesia, hal ini terkait dengan maraknya kejahatan sehagai akibat ketidakadilan ekonomi, politik, hukum dan peradilan. Seringkali setelah hukuman mati dilaksanakan, aneka akar permasalahan itu tidak diselesaikan secara tuntas.

Meskipun demikian ada beberapa pendapat dari ajaran Katolik yang ada membantu memperluas cakrawala berpikir dalam menyikapi hukuman mati. Santo Ambrosius pernah mengatakan: "Allah lebih menyukai perbaikan daripada kematian pendosa, Ia tidak menghendaki pembunuh dihukujm dengan pelaksanaan tindakan pembunuhan lainnya." Teolog moral Katolik, Karl H. Peschke mengalami kesulitan dalam menentukan pelaksanaan hukuman mati. Ia mengingatkan supaya daerah yang menetapkan hukuman mati menghindari kekhilafan dalam pengambilan keputusan pengadilan. Ia menyarankan penetapan grasi untuk meringankan hukuman mati ke dalam bentuk hukuman lain. Bernhard Haring berpendapat bahwa penghapusan hukuman mati adalah jalan terbaik. Alasannya, setiap orang harus melihat konsekuensi tindakan hukuman mati itu secara lebih menyeluruh dan merefleksikan dengan hati-hati semua pengalaman dan konsekuensi-konsekuensi tindakan hukuman mati tersebut. Haring membenarkan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama memuat teks yang membenarkan hukuman mati. Namun, ada pewahyuan yang melampauinya ialah Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.

Sementara John Dear mempertentangkan hukuman mati dengan sikap anti kekerasan Yesus. Argumentasinya ialah Yesus tidak menghukum perempuan yang berbuat zinah (Yoh 8: 4-7). Ia tak pernah memakai kkerasan untuk menolak otoritas negara. Yesus tidak melupakan Allah dan tidak meninggalkan kewajiban kepada kaisar. Ia mengatakan "berikan kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Mrk 12: 17). Lebih dari itu, Yesus mengajarkan kasih kepada manusia dengan firman-Nya yang terkenal: "Hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini" (Mrk 12: 29-31)

Akhir-akhir ini berkembang penghargaan terhadap nilai-nilai hidup manusia seiring denan berhembusnya isu penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Ketika presiden George W.l Bush menyerang Irak, aneka protes muncul dari berbagai kalangan suku, agama, ras dan golongan. Mereka bersatu padu menentang pelanggaran hak asasi manusia. Demikian pula penghargaan hak asasi manusia seharusnya dijunjung tinggi di negeri ini. Sebuah ensiklik keluaran Vatikan, Evangelium Vitae artikel 56 memberi pendapat bahwa: "makin kuatlah kecenderungan untuk meminta supaya hukuman mati itu diterapkan secara terbatas atau bahkan dihapus sama sekali....hakikat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat dan jangan sampai kepada ekstrim melaksanakan hukuman mati kecuali bila mutlak perlu". Upaya yang lebih penting ialah mempromosikan penghargaan hak asasi manusia kepada seluruh warga sehingga memiliki nurani jernih sebagai kontrol yang menghalangi mereka melakukan tindak kejahatan. Di samping upaya hukum, seiring kampanye penghargaan terhadap hak asasi manusia, saat ini perlu dilakukan pendampingan terhadap 42 orang yang sedang menunggu eksekusi pidana mati, menghibur, bersikap empati, dan meyakinkan bahwa mereka berharga. Karena mereka adalah manusia yang hak hidupnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(A. Luluk Widyawan, "Mempersoalkan Hukuman Mati", dlm. Hidup, 6 April 2003)

23 September, 2008

Kapan Musim Korupsi Berakhir ?

"Desakan beberapa anggota DPR merevisi UU KPK dan memotong kewenangan penyadapan adalah sebuah kemunduran. Sadar atau tidak, wacana itu akan dilihat sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi. DPR seolah menempatkan diri sebagai musuh, mencoba menggerogoti kewenangan KPK.

Kegerahan itu agaknya berangkat dari tindakan KPK yang menggunakan strategi "prioritas sektor". Dalam catatan Transparency International (TI) Indonesia, posisi legislatif dan partai politik sebagai sektor terkorup, selain penegak hukum, selalu bertahan sejak 2005-2007.

ICW melihat fenomena ini dari kinerja penindakan KPK jilik II. Setidaknya ada tujuh tersangka di sektor legislatif, atau sekitar 28 persen dari 25 tersangka yanga sudah diproses sejak Desember 2007 - Agustus 2008. Bahkan, satu per satu dari 52 anggota DPR, baik mantan atau masih aktif, ada pada posisi riskan karena diduga terkait kasus Rp 100 miliar aliran dana Bank Indonesia.

Upaya KPK itu mengancam kelompok koruptif DPR sehingga mudah mengargumentasikan, upaya pelemahan KPK berangkat dari kecemasan. Dalam Independent Report yang disampaikan koalisi NGO/LSM pada UN convention Against Corruption (UN-CAC) ke-2 Januari 2008 disimpulkan, pelemahan dan deligitimasi institusi merupakan faktor penting kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Deligitimasi lembaga antikorupsi, seperti KPK, merupakan pola berulang. Menurut catatan ICW, sudah tujuh institusi yang awalnya dibentuk untuk memberantas korupsi, tetapi akhirnya dibubarkan saat mencoba menyentuh kekuasasan...........

Persekongkolan elite politik untuk melawan upaya pemberantasan korupsi harus dilihat sebagai ancaman terhadap demokrasi dan kepentingan rakyat. Jika DPR benar-benar memusuhi pemberantasan korupsi, artinya mereka sedang memosisikan diri melawan rakyat Indonesia.
(Sumber: Febri Diansyah, "Musuh Pemberantasan Korupsi", dlm.: Kompas, 16 September 2008, hlm. 6)

15 September, 2008

MENATA HATI

"...Dalam psikologi, ada prinsip yang disebut Gestalt, yakni kesatuan tak terpisahkan. Kita membicarakan jari dalam hubungannya dengan tangan; kita membicarakan tangan dalam hubungannya dengan badan. Membicarakan salah satunya berarti membicarakan semua.

Prinsip yang sama bisa membantu memahami perilaku Ryan (seseorang, ed). Membicarakan penyimpangan Ryan (seseorang, ed) berarti membicarakan perlakuan masyarakat terhadap dirinya. Membicarakan perlakuan masyarakat berarti membicarakan perlakuan masing-masing kita. Karena itu, jika ingin mencegah munculnya Ryan-Ryan (penyimpangan orang, ed) yang lain, kita harus menemukan obatnya dalam diri kita sendiri.

Konfusius memberi resep Gestalt, "Untuk menyehatkan dunia, kita lebih dulu harus menyehatkan bangsa; untuk menyehatkan bangsa, kita lebih dulu harus menyehatkan keluarga; untuk menyehatkan keluarga, kita lebih dulu harus menyehatkan kehidupan pribadi, kita harus menata hati dengan benar".
(Sumber: YF La Kahija, "Ryan dan Kita", dlm. Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008).

02 September, 2008

MANUSIA ETIS

"...Bagaimanakah dapat terbangun budaya bersih, transparan, dan bertanggung jawab jika budaya korup ("cuci tangan" dari problematika) masih merajalela ? Harus diakui, celah-celah korupsi tetap menganga dalam hampir semua instansi pemerintah (RT, polisi, jaksa, hakim, hingga lembaga tertinggi ). Justru itu, proses pembongkaran kasus korupsi perlu menimbang mentalitas korup untuk menggunakan kebebasan tanpa tanggung jawab.

Dampak
Kompleksitas (penanganan) korupsi di Tanah Air terletak pada penanganan superfisial atas budaya "cuci tangan" sejumlah pejabat teras. Seakan-akan pesan dalam adagium klasik corruptio optimi pessima (pembusukan mereka yang berkedudukan tertinggi adalah terjelek) tak dikenal para penggerak roda pemerintahan RI. Keberanian dan kesediaan untuk mengakui perbuatan salah masih amat rendah. Contoh, para tokoh korupsi moral (Kain-Habel, Hitler, Karadzic), korupsi politik (P Pilatus, Nero, Ferdinand Marcos), korupsi keuangan (Soeharto, Marcos) berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak tanggung jawab. Mereka seolah tidak melakukan perbuatan koruptif.

Masalahnya, mengapa budaya "cuci tangan", yang mengingkari seluruh subsistem, interdependensi, dan interconnectedness dalam hidup sosial berkembang subur di tengah kebebasan moral? Dampak sosial setiap tindakan personal tak tersangkalkan. Bukankah korupsi seorang pejabat negara berarti merampas dan merugikan hak-hak hidup sekian banyak anak bangsa? Tindakan "cuci tangan" jelas mencemari habitat bersih dan nonkoruptif (bdk. Boff, Ethik fuer eine neue Welt, 2000,106).

Etos tanggung jawab
Budaya "cuci tangan" dalam era reformasi ini perlu segera direspons dengan etos tanggung jawab sebagai kapasitas etis yang mampu memilah tindakan yang bernilai atau tidak.

Manusia berkepribadian moral umumnya tidak berani sembarangan melakukan sesuatu tanpa tanggung jawab (Ethics, 1926: Nicolai Hartman). Watak khas manusia sebagai makhluk etis akan luntur jika manusia tidak hidup dalam kesadaran akan tanggung jawab (G Piana, Liberta e responsibilita, NDTM, 672-73).

Semestinya nilai tanggung jawab, kejujuran, dan transparansi yang sepadan dengan trustworthiness segera disosialisasikan .....
(Sumber: William Chang, "Budaya 'cuci tangan'" dlm. Kompas, 1 September 2008, hlm. 6)

19 Agustus, 2008

BERTUMPU PADA AKAL SEHAT

"Mengapa manusia punya sikap dan perilaku berbeda (dari binatang -ed)? Ada manusia yang berperilaku baik dan ada yang buruk. Salah satu penjelasan penting adalah karena kebutuhan untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan berbagai faktor lingkungan. Karena itu, selalu ada bagian tertentu yang irasional dari kebudayaan. Tidak mengherankan jika budaya, karena harus bertahan, membuat pilihan-pilihan irasional.

Kodrat manusia
Thomas Hobbes mengakui, kodrat manusia adalah jahat dan destruktif. Manusia adalah leviathan. Sosok iblis (buruk -ed)ada dalam diri manusia, terwujud dalam perilaku koruptif, tamak, dan jahat kepada rakyat. Namun, kodrat buruk tidak berarti tidak bisa diatasi.

Maka, solusi Hobbes adalah menyandera karakter iblis (buruk - ed) pada diri manusia dengan rasio. Rasio mampu mengendalikan karakter leviathan. Jika rasio senantiasa digunakan untuk mengevaluasi tindakan, perilaku korupsi bisa dicegah. Karena itu, budaya rasionalitas (menggunakan akal sehat) harus terus disuntikkan kepada politisi. Terus memikirkan dan mengevaluasi tindakan dengan akal sehat. Masyarakat juga harus terus mengingatkan politisi (dan siapapun juga - ed) akan pentingnya akal sehat dalam perilaku politik (bermasyarakat - ed).

Sebagaimana dikatakan Socrates, hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani. Perilaku koruptif, entah apa pun jabatan kita, adalah perbuatan amat nista sehingga tidak layak untuk dijalani."
(Eko Wijayanto, "Budaya Korupsi dan Akal Sehat", dalam KOMPAS, Selasa, 19 Agustus 2008, hlm. 6)

16 Agustus, 2008

KEJUJURAN TELAH TERHIMPIT

"Tertangkap dan terseretnya sejumlah tokoh DPR, Kejaksaan Agung, BI, dan pengusaha ke pengadilan dalam kasus korupsi menunjukkan tingginya tingkat ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu sudah merasuk ranah politik dan kehidupan masyarakat yang bertahun-tahun disembunyikan dari mata publik. Merebaknya gaya hidup kawin cerai dan kekerasan dalam rumah tangga menggambarkan ketidakjujuran telah menerobos dimensi hidup keluarga dan ranah pribadi. Sikap tega terhadap sesama, kriminalitas, dan gaya hidup berlebihan melampaui batas merupakan bentuk-bentuk lain absennya kejujuran dan ketidakmampuan membangun komitmen kejujuran.

Kejujuran merupakan salah satu kunci untuk mengurai problema hidup berbangsa dan bermasyarakat di negeri kita. Kejahatan, kriminalitas, korupsi, dan kekerasan yang sudah begitu terstruktur, kolektif, dan membudaya, sebagaimana kita saksikan dalam media massa setiap hari, tidak mungkin hanya dibasmi melalui sanksi keras, hukuman mati, dan ketegaran aparat untuk mejalankan perintah hukum. Pola pikir koruptif rupanya sudah mendarah daging dalam cara hidup penegak hukum dan masyarakat. Akibatnya, upaya-upaya untuk mengatasi korupsi dan ketidakjujuran pada akhirnya masih jatuh pada lubang kesalahan yang sama. Karena itu, reformasi pendidikan kejujuran adalah langkah yang harus dilakukan bersamaan dengan pemberantasan komitmen agar generasi masa kini dan ke depan bisa terbebas dari kecenderungan koruptif yang telah mendominasi cara pikir, gaya hidup, dan kebudayaan masyarakat...."
(Sumber: Andreas Yumarma, Korupsi dan Praktik Pendidikan Kejujuran, dalam KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008, hlm. 64)

13 Agustus, 2008

TEGUR MENEGUR

"Apabila saudaramu berbuat dosa (kelalaian, kesalahan), tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engaku telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat (komunitas, angkatan, kelas)........" (Mat 18, 15-17b)

12 Agustus, 2008

HAK DAN TANGGUNG JAWAB

"Apabila kita bersembunyi di belakang hak-hak kita, kita kerap kali 'melupakan' tanggung jawab kita. ....Individualisme yang menekankan hak-hak pribadi melebihi tanggung jawab pribadi terhadap kolega atau sesama - jangankan masyarakat yang lebih luas - seperti itu, akan merusak dirinya sendiri sekaligus juga kepentingan umum. Individualisme mendefinisikan apa yang baik sebagai apa yang 'menguntungkan'....

(Christopher Gleeson, SJ, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 7.)

29 Juni, 2008

JAMAN SEKARANG?

Moralitas (etika) bagi sebagian orang hanyalah masalah cita rasa. Semua terserah pada mata orang yang memandangnya. Dalam menyamakan baik dengan merasa baik orang-orang seperti ini 'mengukur moralitas bukan dengan tolok ukur yang berlainan dari dirinya sendiri, tetapi hanya dengan perasaannya sendiri mengenai dirinya. Dalam mencoba mengambil keputusan mengenai bagaimana tindakannya dalam soal moral yang sulit, mereka bukan bertanya 'betulkah ini?', melainkan 'apakah saya merasa sreg dengan tindakan ini'

(Christopher Gleeson, S.J, Menciptakan Keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 9)

26 Juni, 2008

PENAFSIR DASA FIRMAN

Kita mengakui bahwa 10 Perintah Allah (Dasa Firman) disampaikan kepada manusia melalui perantaan Musa. Secara prinsip nilai-nilai yang terkandung pada 10 Perintah Allah tidak dapat ditawar lagi, jika manusia ingin melangsungkan hidupnya secara luhur. Sekalipun demikian, nilai-nilai dari 10 Perintah Allah dapat diterapkan dalam situasi atau konteks tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai 10 Perintah Allah memberi makna yang berbeda dari jaman ke jaman. Misalnya saja, Yesus memberi arti baru tentang nilai tertentu daria Dasa Firman tersebut. Kelak di kemudian hari agaknya Muhammad (nabi umat beragama Islam) pun secara tidak langsung mengenal nilai-nilai Dasa Firman yang pada gilirannya memperkembangkannya. Siapakah Yesus dan Muhammad itu?

YESUS DAN MUHAMMAD

Dari analisis historis, sulit untuk mengingkari peran dan jasa Yesus dan Muhammad, sebagai aktor sejarah yang telah meletakkan fundamen moral dan visi kemanusiaan yang menjadi acuan perilaku ratusan juta penduduk bumi dari masa ke masa. Tulisan ini akan menganalisis peran sosial-historis kedua tokoh tersebut dari sudut pandang kesejarahan dan mencoba memposisikan keduanya lebih sebagai tokoh sejarah dan peradaban daripada sebagai figur orang suci. Keduanya secara gemilang berhasil melahirkan sebuah peradaban religius dengan jumlah pengikut yang melampaui etnis dan bangsa. Dan, sebagian besar di antara mereka memiliki sikap yang sangat militan. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Yesus dan Muhammad merupakan tokoh dan peletak dasar bangunan peradaban dunia yang hingga hari ini masih tetap berdiri kukuh dan - ibarat pohon - bahkan makin tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Jika mengikuti teori elitisme historis yang berpandangan bahwa alur dan warna sejarah itu sesungguhnya dibangun dan dikendalikan hanya oleh sekelompok aktor, maka Yesus dan Muhammad meskipun keduanya telah tiada, sosok dan ajarannya mampu menggerakkan dan mengendalikan perilaku ratusan juta manusia dalam berbagai aspek kehidupan, meliputi bidang politik, moral, lembaga keluarga, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Spirit, ajaran, dan institusi yang dimunculkannya menjadi acuan hidup oleh ratusan jiwa manusia dan senantiasa menyedot pengikut yang amat setia dari abad ke abad. Kesetiaan itu bahkan secara negatif cenderung melahirkan pandangan teologi dan ideologi yang amat eksklusif, yang pada urutannya mengkondisikan munculnya konflik berdarah di antara ke dua umat beragama dengan atas nama Tuhan. Karena itu, secara historis, sungguh sulit menandingi kebesaran dan keluasan pengaruh Yesus dan Muhammad.

Namun secara historis, kedua tokoh ini juga disalahfahami misinya sehingga banyak perang antar pemeluk agama yang telah menodai kebesaran kedua tokoh ini.

Agama dan Perilaku Politik
Meski singkat, sebuah analisis komparatif antara Yesus dan Muhammad dalam pemikiran politik disajikan, antara lain, oleh Hugh Goddad dalam bukunya Christians & Muslim, From Double Standarts to Mutual Understanding (1955). Berbeda dengan Muhammad yang terlahir dalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala, Yesus lahir di tengah masyarakat Yahudi yang sudah menganut faham monoteisme. Dengan demikian, formulasi ajaran dan faham ketuhanan yang dibawakan Yesus memiliki nuansa perbedaan dari Muhammad, terutama pada periode Mekkah yang bercorak hitam putih. Kecuali itu, pergulatan politik antara Yesus dan Muhammad memiliki karakter yang sangat berbeda. Yesus lahir di bawah kekuasaan Roma yang begitu perkasa, sedangkan Muhammad memulai kariernya di tengah padang pasir dalam lingkungan masyarakat nomad. Jadi, garis kehidupan politik di antara kedua tokoh tersebut sejak awal perjuangannya haingga akhir hayatnya secara significan memang berbeda. Umat Kristiani, meskipun pernah mengendalikan kekaisaran Roma, pada akhirnya secara tegas membuat pemisahan antara agama dan politik. Sementara itu, Muhammad dan para pengikutnya justru secara gemilang berhasil membangun dan mewariskan kekuasaan politik. Doktrin Gereja yang mengatakan: "serahkan urusan politik pada negara, sedangkan urusan agama pada gereja" telah turut memperkukuh munculnya faham sekularisme politik di Barat. Terlebih lagi ketika faham rasionalisme dan empirisme berhasil membuktikan bahwa pendekatan rasional-empirikal terhadap persoalan politik lebih ekseptabel dan menyelesaikan persoalan daripada tawaran agama. Karena terbebas dari bayang-bayang doktrin agama, lembaga riset keilmuan dan filsafat humanisme di Barat berkembang sangat pesat dan bahkan menyaingi posisi agama itu sendiri. Dengan demikian, bagi masyarakat Kristiani, kontroversi seputar apakah sebuah negara sebaiknya mengikuti ideologi sekular ataukah religius tidak begitu populer sebagaimana dalam Islam.

Sebaliknya, dalam sejarah pemikiran Islam, baik akibat faktor doktrin keagamaan maupun kisah sukses Muhammad dan penerusnya dalam membangun imperium yang bercorak teokratis, hubungan agama dan negara menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Terutama ketika umat Islam memasuki abad modern. Munculnya negara bangsa dan pluralitas etnis, agama, dan budaya yang merupakan salah satu ciri masyarakat modern telah menimbulkan persoalan teologis, sosiologis, dan politis bagi umat Islam sejak dari Maroko, Turki, Iran, Pakistan, Saudi Arabia dan Indonesia. Analisis terhadap persoalan ini makin tajam dengan munculnya sarjana-sarjana muslim yang studi pemikiran politik di Barat yang mengajukan data empiris dari kegagalan perilaku politik dunia Islam yang kemudian dikomparasikan secara kritis dengan realitas politik negara-negara sekuler yang dinilai relatif lebih demokratis dan lebih sejahtera.

Wacana Masyarakat Madani
Perbedaan visi dan collective memory antara umat Islam dan umat Kristen mengenai hubungan antara agama dan negara juga terlibat ketika kita membicarakan seputar konsep masyarakat madani. Bangunan utama ajaran Yesus lebih menitikberatkan pada kasih dan moral, hampir-hampir tidak membicarakan masalah hukum yuridis serta epistemologi keagamaan sebagaimana dalam cakupan ajaran Islam. Jika dalam wacana keislaman dikenal istilah "Islamisasi Ilmu", "Islamisasi ekonomi", dan istilah lain sejenis, dalam Kristen tidak populer tema semisal "Kristenisasi ilmu pengetahuan", yang lebih berkembang adalah teologi dan etika. Itu pun metodologi dan cakupan bahasannya berbeda dengan tradisi teologi dan etika dalam Islam. Perbedaan karakter doktrin kedua agama ini penting disadari. Dengan demikian, kita lebih mudah memahami mengapa respons umat Islam dan umat Kristiani berbeda ketika membicarakan persoalan agama dan politik.

Mengenai tema masyarakat madani, misalnya, collective memory dan referensi teologis-historis antara umat Islam dan Kristen tidaklah sama. Begitu juga antara mereka yang belajar ilmu sosial di Barat dan yang belajar keislaman di Timur Tengah, masing-masing menggunakan bahan bacaan dan metodologi analisis yang umumnya berbeda. Lehih dari itu, perjalanan sejarah antara umat Islam di dunia Timur dan umat Kristen di belahan barat jelas berbeda. Konsekuensinya sudah tentu tawaran konseptual-ideologis mengenai hubungan agama dan negara pasti berbeda. Dalam hal ini, kalau perbedaan itu masih dalam ranah teori keilmuan, justru sangat positif untuk menghidupkan tradisi dan dinamika intelektual di Indonesia. Tetapi, ketika paham keilmuan telah memasuki wilayah politik praktis yang bersimbiose dengan komitmen ideologi dan keyakinan keagamaan, persoalannya menjadi tidak sederhana karena akan melibatkan konsolidasi dan jurus-jurus politik kelompok-kelompok agama di Indonesia.

Ketika Cak Nur (Nurcholish Madjid) melontarkan gagasannya tentang masyarakat madani, terlihat di sana bahwa dia sangat paham dan sangat apresiatif terhadap elemen-elemen pokok dari konsep civil society yang tumbuh di Barat. Dia bisa mempertemukan khazanah Islam, Kristen, dan Barat yang secara substansial terdapat elemen-elemen yang sejalan dan saling memperkukuh. Tetapi tidak jarang para mubalig menjelaskan istilah masyarakat madani dengan pendekatan dan semangat yang lain sama sekali. Mereka memahami konsep masyarakat madani secara deduktif, dogmatis, dan ahistoris yang kemudian diberi label Islam sehingga menutup wacana kritis. Apa yang disebut masyarakat madani dilihatnya sebagai warisan yang telah jadi (inherited). Padahal, sesungguhnya ini merupakan proyek masa depan (invented). Akibatnya, istilah masyarakat madani berkonotasi eksklusif-ideologis dan menyempit. Karena itu, orang non-muslim dan para ilmuwan sosial merasa tidak at home, bahkan enggan terlibat dalam wacana tersebut. Sebagian ilmuwan sosial dan intelektual non-muslim lalu memilih istilah "masyarakat warga" ataupun civil society karena dianggap lebih netral. Padahal, kalau saja umat Islam lebih menonjolkan konsep dan substansi tentang masyarakat madani, bukannya label dan semangat ideologis, hal itu akan merupakan sumbangan yang amat besar bagi pembangunan masa depan Indonesia yang lebih beradab dan religius yang bisa diterima semua pihak. Kontribusi Islam terhadap khazanah etika politik di Indonesia sesungguhnya cukup kaya dan mendasar. Seperti halnya istilah majelis permusyawaratan rakyat, kedaulatan hukum, asas keadilan, dan lain sebagainya.

Etika Publik dan Etika Komunal.
Agama Kristen yang berkembang di Barat sudah terbiasa dengan pemisahan antara wilayah pribadi, komune gereja, dan wilayah publik yang masing-masing memiliki etika. Kehidupan politik adalah wilayah publik yang rasional dan transparan sehingga terbuka bagi kritik serta harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan pers. Karena wilayah publik, persoalan politik dan kenegaraan harus dipisahkan dari dominasi dan intervensi lembaga keagamaan yang bersifat pribadi dan komunalistik. Pandangan dan pengalaman masyarakat Kristen seperti itu sudah tentu berbeda dengan cara pandang umat Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Apakah pandangan teologis-ideologis ini merupakan doktrin keagamaan yang telah final ataukah warisan dari produk sejarah pemikiran Islam, hal itu bisa diperdebatkan. (Penulis: Komaruddin Hidayat, JATENGPOS, 31/12/1999)

19 Juni, 2008

MATERI PEMBELAJARAN

Pembahasan Dasa Firman pada bagian awal akan mengetengahkan Dasa Firman ke 5, 6 dan 7. Ketiganya secara prinsip ingin melindungi nilai-nilai yang paling pokok dalam hidup. Selain itu, semua kebudayaan menerimanya. Dasa firman ke 5: "Jangan membunuh" akan dibahas terlebih dahulu mengingat betapa pentingnya menghargai hidup manusia. Beberapa peristiwa / kejadian menunjukkan bahwa penghargaan dan perawatan hidup manusia di kalangan remaja masih memprihatinkan. Beberapa peristiwa yang sempat menjadi berita di koran, seperti:
1. "Geng di SMA 34 Siksa Yunior". Mau lihat blognya?
2. "Lima siswa diberhentikan, Gazper bubar"
3. Teror di lingkungan sekolah
Reaksi terhadap sikap yang tidak menghargai kehidupan dalam kasus bullying bermunculan. Misalnya saja:
1. "Bullying" ancam pembangunan manusia.
2. Apa untungnya menggencet adik kelas?
3. Stop kekerasan di sekolah
Opini terhadap bullying muncul di media cetak, antara lain:
1. Budaya Kekerasan di Lembaga Pendidikan
2. Masih mau kekerasan?
3. Jaringan untuk cegah kekerasan
4. Membaca dan agresivitas

18 Juni, 2008

Dasa Firman dari Teks Kitab Suci

Rumusan Dasa Firman atau Sepuluh Perintah Allah yang biasa kita kenal dapat kita ketemukan di Kitab Keluaran 20, 1-17 dan Kitab Ulangan 5, 6-21. Apakah anda berminat memeriksanya ?

17 Juni, 2008

Musa Tokoh Antara

Musa menjadi perantara bagi umat manusia ketia menerima Dasa Firman yang berguna dalam kehidupan. Ingin tahu informasi tentang Musa dalam bahasa Indonesia ? Atau dalam bahasa Inggris ?

Buku Sumber Inspirasi

Buku-buku:
1. Anne D. Mather & Louise B. Weldon, Character Building Day by Day, (ed. Eric Braun), Minneapolis, 2006
2. David Isaacs, Character Building, A Guide for Parents and Teachers, Navarra, Four Courts Press, 2001
3. Don Trent Jacobs & Jessica Jacobs-Spencer (with contribution from Richard M. Jones and Edwin J. Dawson), Teaching Virtues, Building Character Across the Curriculum, London, The Scarecrow Press, Inc., 2001
4. Edward F. DeRoche & Mary M. Williams, Educating Hearts and Minds, A Comprehensive Character Education Framework, California, Corwin Press, 2001
5. Gordon S. Wood, Revolutionary Chracters, What Made The Founders Different, New York, 2006
6. John McCain with Mark Salter, Character Is Destiny, Inspiring Stories Every Young Person Should Know and Every Adult Should Remember, New York, Random House, 2005
7. Karen Miles, The Power of Loving Discipline, London, Penguin Books Ltd. 2006
8. Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools, Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life, San Fransisco, Jossey-Bass, 1999
9. Marge Rizzo and Joy Brown, Building Character Through Community Service, Strategies to Implement the Missing Element in Education, Oxford, Rowman & Littlefield Education, 2006
10. Mark Timmons, Conduct and Character, Reading in Moral Theory (5th edition), London, Thomson, 2006
11. Pamela Jaye Smith, Inner Drives, How to Write & Create Characters Using the Eight Classic Centers of Motivation, Studio City, CA, Michael Wiese Production, 2005
12. Robert Brooks, Ph.D & Sam Goldstein, Ph.D, Raising A Self - Disciplined Child, Help Your Child Become More Responsible, Confident, and Resilient, New York, McGraw Hill, 2008
13. Roxane Henkin, Confronting Bullying, Literacy as A Tool for Character Education, Portsmouth, Heinemann, 2005
14. Sharron L. McElmeel, Character Education, A Book Guide for Teachers, Librarians, and Parents, Colorado, Teacher Ideas Press, 2002

16 Juni, 2008

Dasar Etika


DASA FIRMAN (10 PERINTAH ALLAH) SEBAGAI DASAR ETIKA
1. Berasal dari tradisi kitab suci yaitu: Kitab keluaran 20, 1-17 dan Kitab Ulangan 5, 6-21
2. Diakui oleh agama-agama seperti: Yahudi, Kristen, Katolik
3. Merupakan rangkuman moral yang bersifat mutlak dan abadi
4. Sebagai bahan pelajaran bagi calon orang beriman (kristiani)
5. Menjadi pedoman agar kehidupan manusia berlangsung terus
6. Sebagai bekal agar kelak di kemudian hari orang muda memiliki karakter kokoh