19 Agustus, 2008

BERTUMPU PADA AKAL SEHAT

"Mengapa manusia punya sikap dan perilaku berbeda (dari binatang -ed)? Ada manusia yang berperilaku baik dan ada yang buruk. Salah satu penjelasan penting adalah karena kebutuhan untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan berbagai faktor lingkungan. Karena itu, selalu ada bagian tertentu yang irasional dari kebudayaan. Tidak mengherankan jika budaya, karena harus bertahan, membuat pilihan-pilihan irasional.

Kodrat manusia
Thomas Hobbes mengakui, kodrat manusia adalah jahat dan destruktif. Manusia adalah leviathan. Sosok iblis (buruk -ed)ada dalam diri manusia, terwujud dalam perilaku koruptif, tamak, dan jahat kepada rakyat. Namun, kodrat buruk tidak berarti tidak bisa diatasi.

Maka, solusi Hobbes adalah menyandera karakter iblis (buruk - ed) pada diri manusia dengan rasio. Rasio mampu mengendalikan karakter leviathan. Jika rasio senantiasa digunakan untuk mengevaluasi tindakan, perilaku korupsi bisa dicegah. Karena itu, budaya rasionalitas (menggunakan akal sehat) harus terus disuntikkan kepada politisi. Terus memikirkan dan mengevaluasi tindakan dengan akal sehat. Masyarakat juga harus terus mengingatkan politisi (dan siapapun juga - ed) akan pentingnya akal sehat dalam perilaku politik (bermasyarakat - ed).

Sebagaimana dikatakan Socrates, hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani. Perilaku koruptif, entah apa pun jabatan kita, adalah perbuatan amat nista sehingga tidak layak untuk dijalani."
(Eko Wijayanto, "Budaya Korupsi dan Akal Sehat", dalam KOMPAS, Selasa, 19 Agustus 2008, hlm. 6)

16 Agustus, 2008

KEJUJURAN TELAH TERHIMPIT

"Tertangkap dan terseretnya sejumlah tokoh DPR, Kejaksaan Agung, BI, dan pengusaha ke pengadilan dalam kasus korupsi menunjukkan tingginya tingkat ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu sudah merasuk ranah politik dan kehidupan masyarakat yang bertahun-tahun disembunyikan dari mata publik. Merebaknya gaya hidup kawin cerai dan kekerasan dalam rumah tangga menggambarkan ketidakjujuran telah menerobos dimensi hidup keluarga dan ranah pribadi. Sikap tega terhadap sesama, kriminalitas, dan gaya hidup berlebihan melampaui batas merupakan bentuk-bentuk lain absennya kejujuran dan ketidakmampuan membangun komitmen kejujuran.

Kejujuran merupakan salah satu kunci untuk mengurai problema hidup berbangsa dan bermasyarakat di negeri kita. Kejahatan, kriminalitas, korupsi, dan kekerasan yang sudah begitu terstruktur, kolektif, dan membudaya, sebagaimana kita saksikan dalam media massa setiap hari, tidak mungkin hanya dibasmi melalui sanksi keras, hukuman mati, dan ketegaran aparat untuk mejalankan perintah hukum. Pola pikir koruptif rupanya sudah mendarah daging dalam cara hidup penegak hukum dan masyarakat. Akibatnya, upaya-upaya untuk mengatasi korupsi dan ketidakjujuran pada akhirnya masih jatuh pada lubang kesalahan yang sama. Karena itu, reformasi pendidikan kejujuran adalah langkah yang harus dilakukan bersamaan dengan pemberantasan komitmen agar generasi masa kini dan ke depan bisa terbebas dari kecenderungan koruptif yang telah mendominasi cara pikir, gaya hidup, dan kebudayaan masyarakat...."
(Sumber: Andreas Yumarma, Korupsi dan Praktik Pendidikan Kejujuran, dalam KOMPAS, Jumat, 15 Agustus 2008, hlm. 64)

13 Agustus, 2008

TEGUR MENEGUR

"Apabila saudaramu berbuat dosa (kelalaian, kesalahan), tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engaku telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat (komunitas, angkatan, kelas)........" (Mat 18, 15-17b)

12 Agustus, 2008

HAK DAN TANGGUNG JAWAB

"Apabila kita bersembunyi di belakang hak-hak kita, kita kerap kali 'melupakan' tanggung jawab kita. ....Individualisme yang menekankan hak-hak pribadi melebihi tanggung jawab pribadi terhadap kolega atau sesama - jangankan masyarakat yang lebih luas - seperti itu, akan merusak dirinya sendiri sekaligus juga kepentingan umum. Individualisme mendefinisikan apa yang baik sebagai apa yang 'menguntungkan'....

(Christopher Gleeson, SJ, Menciptakan Keseimbangan, Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, Jakarta, Gramedia, 1997, hlm. 7.)