26 Juni, 2008

PENAFSIR DASA FIRMAN

Kita mengakui bahwa 10 Perintah Allah (Dasa Firman) disampaikan kepada manusia melalui perantaan Musa. Secara prinsip nilai-nilai yang terkandung pada 10 Perintah Allah tidak dapat ditawar lagi, jika manusia ingin melangsungkan hidupnya secara luhur. Sekalipun demikian, nilai-nilai dari 10 Perintah Allah dapat diterapkan dalam situasi atau konteks tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai 10 Perintah Allah memberi makna yang berbeda dari jaman ke jaman. Misalnya saja, Yesus memberi arti baru tentang nilai tertentu daria Dasa Firman tersebut. Kelak di kemudian hari agaknya Muhammad (nabi umat beragama Islam) pun secara tidak langsung mengenal nilai-nilai Dasa Firman yang pada gilirannya memperkembangkannya. Siapakah Yesus dan Muhammad itu?

YESUS DAN MUHAMMAD

Dari analisis historis, sulit untuk mengingkari peran dan jasa Yesus dan Muhammad, sebagai aktor sejarah yang telah meletakkan fundamen moral dan visi kemanusiaan yang menjadi acuan perilaku ratusan juta penduduk bumi dari masa ke masa. Tulisan ini akan menganalisis peran sosial-historis kedua tokoh tersebut dari sudut pandang kesejarahan dan mencoba memposisikan keduanya lebih sebagai tokoh sejarah dan peradaban daripada sebagai figur orang suci. Keduanya secara gemilang berhasil melahirkan sebuah peradaban religius dengan jumlah pengikut yang melampaui etnis dan bangsa. Dan, sebagian besar di antara mereka memiliki sikap yang sangat militan. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Yesus dan Muhammad merupakan tokoh dan peletak dasar bangunan peradaban dunia yang hingga hari ini masih tetap berdiri kukuh dan - ibarat pohon - bahkan makin tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Jika mengikuti teori elitisme historis yang berpandangan bahwa alur dan warna sejarah itu sesungguhnya dibangun dan dikendalikan hanya oleh sekelompok aktor, maka Yesus dan Muhammad meskipun keduanya telah tiada, sosok dan ajarannya mampu menggerakkan dan mengendalikan perilaku ratusan juta manusia dalam berbagai aspek kehidupan, meliputi bidang politik, moral, lembaga keluarga, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Spirit, ajaran, dan institusi yang dimunculkannya menjadi acuan hidup oleh ratusan jiwa manusia dan senantiasa menyedot pengikut yang amat setia dari abad ke abad. Kesetiaan itu bahkan secara negatif cenderung melahirkan pandangan teologi dan ideologi yang amat eksklusif, yang pada urutannya mengkondisikan munculnya konflik berdarah di antara ke dua umat beragama dengan atas nama Tuhan. Karena itu, secara historis, sungguh sulit menandingi kebesaran dan keluasan pengaruh Yesus dan Muhammad.

Namun secara historis, kedua tokoh ini juga disalahfahami misinya sehingga banyak perang antar pemeluk agama yang telah menodai kebesaran kedua tokoh ini.

Agama dan Perilaku Politik
Meski singkat, sebuah analisis komparatif antara Yesus dan Muhammad dalam pemikiran politik disajikan, antara lain, oleh Hugh Goddad dalam bukunya Christians & Muslim, From Double Standarts to Mutual Understanding (1955). Berbeda dengan Muhammad yang terlahir dalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala, Yesus lahir di tengah masyarakat Yahudi yang sudah menganut faham monoteisme. Dengan demikian, formulasi ajaran dan faham ketuhanan yang dibawakan Yesus memiliki nuansa perbedaan dari Muhammad, terutama pada periode Mekkah yang bercorak hitam putih. Kecuali itu, pergulatan politik antara Yesus dan Muhammad memiliki karakter yang sangat berbeda. Yesus lahir di bawah kekuasaan Roma yang begitu perkasa, sedangkan Muhammad memulai kariernya di tengah padang pasir dalam lingkungan masyarakat nomad. Jadi, garis kehidupan politik di antara kedua tokoh tersebut sejak awal perjuangannya haingga akhir hayatnya secara significan memang berbeda. Umat Kristiani, meskipun pernah mengendalikan kekaisaran Roma, pada akhirnya secara tegas membuat pemisahan antara agama dan politik. Sementara itu, Muhammad dan para pengikutnya justru secara gemilang berhasil membangun dan mewariskan kekuasaan politik. Doktrin Gereja yang mengatakan: "serahkan urusan politik pada negara, sedangkan urusan agama pada gereja" telah turut memperkukuh munculnya faham sekularisme politik di Barat. Terlebih lagi ketika faham rasionalisme dan empirisme berhasil membuktikan bahwa pendekatan rasional-empirikal terhadap persoalan politik lebih ekseptabel dan menyelesaikan persoalan daripada tawaran agama. Karena terbebas dari bayang-bayang doktrin agama, lembaga riset keilmuan dan filsafat humanisme di Barat berkembang sangat pesat dan bahkan menyaingi posisi agama itu sendiri. Dengan demikian, bagi masyarakat Kristiani, kontroversi seputar apakah sebuah negara sebaiknya mengikuti ideologi sekular ataukah religius tidak begitu populer sebagaimana dalam Islam.

Sebaliknya, dalam sejarah pemikiran Islam, baik akibat faktor doktrin keagamaan maupun kisah sukses Muhammad dan penerusnya dalam membangun imperium yang bercorak teokratis, hubungan agama dan negara menjadi persoalan yang tak kunjung selesai. Terutama ketika umat Islam memasuki abad modern. Munculnya negara bangsa dan pluralitas etnis, agama, dan budaya yang merupakan salah satu ciri masyarakat modern telah menimbulkan persoalan teologis, sosiologis, dan politis bagi umat Islam sejak dari Maroko, Turki, Iran, Pakistan, Saudi Arabia dan Indonesia. Analisis terhadap persoalan ini makin tajam dengan munculnya sarjana-sarjana muslim yang studi pemikiran politik di Barat yang mengajukan data empiris dari kegagalan perilaku politik dunia Islam yang kemudian dikomparasikan secara kritis dengan realitas politik negara-negara sekuler yang dinilai relatif lebih demokratis dan lebih sejahtera.

Wacana Masyarakat Madani
Perbedaan visi dan collective memory antara umat Islam dan umat Kristen mengenai hubungan antara agama dan negara juga terlibat ketika kita membicarakan seputar konsep masyarakat madani. Bangunan utama ajaran Yesus lebih menitikberatkan pada kasih dan moral, hampir-hampir tidak membicarakan masalah hukum yuridis serta epistemologi keagamaan sebagaimana dalam cakupan ajaran Islam. Jika dalam wacana keislaman dikenal istilah "Islamisasi Ilmu", "Islamisasi ekonomi", dan istilah lain sejenis, dalam Kristen tidak populer tema semisal "Kristenisasi ilmu pengetahuan", yang lebih berkembang adalah teologi dan etika. Itu pun metodologi dan cakupan bahasannya berbeda dengan tradisi teologi dan etika dalam Islam. Perbedaan karakter doktrin kedua agama ini penting disadari. Dengan demikian, kita lebih mudah memahami mengapa respons umat Islam dan umat Kristiani berbeda ketika membicarakan persoalan agama dan politik.

Mengenai tema masyarakat madani, misalnya, collective memory dan referensi teologis-historis antara umat Islam dan Kristen tidaklah sama. Begitu juga antara mereka yang belajar ilmu sosial di Barat dan yang belajar keislaman di Timur Tengah, masing-masing menggunakan bahan bacaan dan metodologi analisis yang umumnya berbeda. Lehih dari itu, perjalanan sejarah antara umat Islam di dunia Timur dan umat Kristen di belahan barat jelas berbeda. Konsekuensinya sudah tentu tawaran konseptual-ideologis mengenai hubungan agama dan negara pasti berbeda. Dalam hal ini, kalau perbedaan itu masih dalam ranah teori keilmuan, justru sangat positif untuk menghidupkan tradisi dan dinamika intelektual di Indonesia. Tetapi, ketika paham keilmuan telah memasuki wilayah politik praktis yang bersimbiose dengan komitmen ideologi dan keyakinan keagamaan, persoalannya menjadi tidak sederhana karena akan melibatkan konsolidasi dan jurus-jurus politik kelompok-kelompok agama di Indonesia.

Ketika Cak Nur (Nurcholish Madjid) melontarkan gagasannya tentang masyarakat madani, terlihat di sana bahwa dia sangat paham dan sangat apresiatif terhadap elemen-elemen pokok dari konsep civil society yang tumbuh di Barat. Dia bisa mempertemukan khazanah Islam, Kristen, dan Barat yang secara substansial terdapat elemen-elemen yang sejalan dan saling memperkukuh. Tetapi tidak jarang para mubalig menjelaskan istilah masyarakat madani dengan pendekatan dan semangat yang lain sama sekali. Mereka memahami konsep masyarakat madani secara deduktif, dogmatis, dan ahistoris yang kemudian diberi label Islam sehingga menutup wacana kritis. Apa yang disebut masyarakat madani dilihatnya sebagai warisan yang telah jadi (inherited). Padahal, sesungguhnya ini merupakan proyek masa depan (invented). Akibatnya, istilah masyarakat madani berkonotasi eksklusif-ideologis dan menyempit. Karena itu, orang non-muslim dan para ilmuwan sosial merasa tidak at home, bahkan enggan terlibat dalam wacana tersebut. Sebagian ilmuwan sosial dan intelektual non-muslim lalu memilih istilah "masyarakat warga" ataupun civil society karena dianggap lebih netral. Padahal, kalau saja umat Islam lebih menonjolkan konsep dan substansi tentang masyarakat madani, bukannya label dan semangat ideologis, hal itu akan merupakan sumbangan yang amat besar bagi pembangunan masa depan Indonesia yang lebih beradab dan religius yang bisa diterima semua pihak. Kontribusi Islam terhadap khazanah etika politik di Indonesia sesungguhnya cukup kaya dan mendasar. Seperti halnya istilah majelis permusyawaratan rakyat, kedaulatan hukum, asas keadilan, dan lain sebagainya.

Etika Publik dan Etika Komunal.
Agama Kristen yang berkembang di Barat sudah terbiasa dengan pemisahan antara wilayah pribadi, komune gereja, dan wilayah publik yang masing-masing memiliki etika. Kehidupan politik adalah wilayah publik yang rasional dan transparan sehingga terbuka bagi kritik serta harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan pers. Karena wilayah publik, persoalan politik dan kenegaraan harus dipisahkan dari dominasi dan intervensi lembaga keagamaan yang bersifat pribadi dan komunalistik. Pandangan dan pengalaman masyarakat Kristen seperti itu sudah tentu berbeda dengan cara pandang umat Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Apakah pandangan teologis-ideologis ini merupakan doktrin keagamaan yang telah final ataukah warisan dari produk sejarah pemikiran Islam, hal itu bisa diperdebatkan. (Penulis: Komaruddin Hidayat, JATENGPOS, 31/12/1999)

6 komentar:

Unknown mengatakan...

Jovian Jevon / XI-D / 22

Sepuluh perintah Allah memang merupakan pedoman dasar tentang bagaimana manusia berperilaku. Kemutlakan dan keabadiannya membuatnya diakui oleh banyak agama seperti Yahudi, Katolik, Kristen, maupun Islam. Namun masing-masing agama menerjemahkannya secara berbeda-beda walaupun pada intinya sama.

Searah dengan perkembangan jaman, dasa firman sendiri memberi makna yang berbeda-beda. Misalnya, Yesus memberi arti baru pada nilai-nilai tertentu pada dasa firman. Begitu juga dengan Muhammad yang merumuskan dasa firman dengan cara yang berbeda. Kedua tokoh besar ini sangat mempengaruhi banyak orang melalui ajarannya masing-masing yang di dalamnya menyertakan nilai-nilai dari dasa firman.

steve edpin mengatakan...

Menurut saya, ini semua tergantung kita dan kepercayaan kita. Allah memberikan Sepuluh Perintah Allah kepada kita. Tentunya itupun adalah sebagai pedoman dalam kehidupan kita, karena DIA menyayangi kita.

Semua agama mengajarkan agar kita saling mengasihi, menghormati, intinya mengajarkan KEBAIKAN.
Namun, seiring berubahnya arus zaman, kesucian ajaran agama semakin banyak yang melenceng. Banyak tumbuh ajaran garis keras (fanatik).

Antara Yesus dan Muhammad, kedua tokoh yang besar dan memberi sesuatu yang baru bagi umat bumi, sebetulnya tergantung dari kita sendiri. Saya sebagai Kristiani, tentu saja mempercayai Yesus sebagai Juruselamat. Dan para umat Muslim, tentunya mempercayai Muhammad sebagai nabi mereka.

Kristiani dan Muslim memang banyak berseteru, sebetulnya bukan dikarenakan ajaran mereka, tetapi karena penganutnya itu sendiri.

Steve Edpin / XI A / 19

Yohanes Wirawan Putranto mengatakan...

Katolik dan Islam berasal dari satu Tuhan, namun nabi dna penyebar agamanya memiliki pola yang berbeda sehingga terjadi perbedaan pada penangkapan oleh umatnya.

Perbedaan kesimpulan inilah yang mengakibatkan perbedaan pandangan dan cara hidup.

Leo Nugraha mengatakan...

Leo Nugraha / XI-B / 29

Pada dasarnya setiap agama yang baik selalu mengajarkan kebenaran dan moral. Akan tetapi untuk kasus agama Islam dan Katholik kerap terjadi salah persepsi dalam menafsirkan maksud dari masing - masing pesan dari kedua agama itu, yang akibatnya hanya menyebabkan kesalah pahaman. Akhirnya orang lain melihatnya sebagai suatu hal yang bertentangan. Jadi semua bergantung pada penafsiran kita.

Melvin mengatakan...

Menurut saya sendiri, memang benar bahwa mau tidak mau, 10 Perintah Allah adalah aturan yang dijalankan semua agama. Saya sendiri belum pernah lihat ada agama yang menganjurkan untuk melakukan apa yang semestinya dilarang di 10 Perintah itu. Sangat aneh dan konyol apabila ada yang menganjurkannya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ini adalah dasar yang harus dipatuhi.

!0 Perintah Allah ini, adalah suatu kunci, untuk dapat menemukan Allah, Tuhan kita. Oleh karena itu, tercipta banyak agama. Namun tidak ada yang sempurna di dunia ini. Maka tidak semua agama itu dapat mengerti dan menggunakan kunci dengan benar.

Semua agama ini hanya dapat mengerti sebagian saja. Dan kemudian, pengertian itu diperbaharui oleh saviour mereka masing- masing. Kristen punya Yesus Kristus, Islam Nabi Muhammad SAW, dan Budha Sidharta Gautama. Untuk hindu saya kurang tahu.

Sekarang ini, tergantung kepercayaan dan keteguhan para pengikutnya. Kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana perkembangannya ke depan.

Ry0_W4t4n4b3 mengatakan...

menurut saya, sebenarnya semua agama itu mengajarkan kebaikan. Hanya yang berbeda adalah penyampaiannya. Setiap agama melihat Allah dari berbagai sisi yang berbeda. Dalam hal ini, agama Islam dan Kristen melihat Allah dari sudut pandang yang sama, hanya berbeda dalam cakupannya. Tidak bisa dikatakan Islam atau Kristen yang lebih luas cakupannya karena Allah itu Mahabesar.

Marvin
XIC/26