02 Mei, 2009

Kebiasaan Cara Memahami

"... Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of understanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.

Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.

Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam..."

(Gede Prama, "Kekalahan, Kemenangan, Keindahan", dalam Kompas, Sabtu, 25 April 2009, hlm. 6)

41 komentar:

alberthutama mengatakan...

Saya sependapat dengan kutipan dari Gede Prama. Semakin sempit hati seseorang, kita menjadi lebih emosional. Seperti misalnya dalam pertandingan olahraga di mana ada menang dan kalah. Pemain yang tidak bisa mengerti makna kekalahan akan hanyut ke dalam sugesti pikirannya bahwa 'Kamu sudah kalah.'. Karirnya tidak akan sukses karena dia sudah menganggap bahwa dirinya sudah kalah. Kekalahan selayaknya dimaknai sebagai indikator kalau kita harus memperbaikinya.
Apapun hasil dari usaha dan kerja kita, kita harus memaknai hasil tersebut dengan positif, bersyukur atas hasil yang telah dicapai kepada Tuhan dan tidak menuntut upah atau imbalan lebih jika kita melakukan lebih.

WaroengLordz mengatakan...

Dunia ini sungguh luas dan manggumkan. Manusia yang tinggal di dalamnya dapat menemukan hidupnya. Hidup manusia itu sungguh unik karena kita memiliki yang namanya akal budi, tidak seperti binatang atau makhluk hidup lainnya yang bergerak secara naluri mereka. Kita dapat menginterpretasikan kehidupan dalam berbagai macam bentuk. Kitalah yang menentukan apakah hidup kita bahagia atau susah.
Sebagai contoh,kadang kita dengar bahwa orang miskin yang kita pandang hidupnya sengsara dan susah bisa berpikiran bahwa hidupnya bahagia karena ia masih dapat menjalani hidup, kadang juga kita mendengar orang kaya yang menurut pandangan kita serba berkecukupan malah hidupnya tidak bahagia karena hanya bekerja individual tanpa memperhatikan lingkungan sekitarny, serta berbagai contoh lain dari kehidupan...
Maka kita harus selalu bersikap dan berpikiran positif agar hidup kita menjadi bahagia, dengan berpikiran bahagia maka segala sesuatu yang kita lakukan akan menjadi lebih berarti dan lebih memuaskan.

Gradiyanto XI-D/18

Ivn mengatakan...

Menurut saya, Memahami adalah sesuatu yang sulit karena perspektif dan sudut pandang seseorang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman, gaya hidup, dsb dari dirinya, sehingga memahami terkadang sifatnya lebih sebagai sesuatu yang relatif, namun menurut saya, akan lebih baik jika kita memahami sesuatu kejadian, dari beberapa sudut pandang, jadi misalkan kita ditabrak mobil, maka lihat dari sudut pandang bukan yang ditabrak saja melainkan juga yang menabrak, orang tua yang ditabrak, dll dll, saya yakin dengan begitu kita dapat lebih baik dalam memahami, karena dengan memahami satu sama lain, kehidupan kita akan jadi lebih baik.

Ivan- XIB/25

Unknown mengatakan...

Pendapat di atas memang benar. Kita sebagai manusia sebaiknya tidak berpikiran sempit, melainkan harus selalu berpikir secara luas dan positif. Karena pikiran yang sempit akan cenderung membuat hidup kita menderita, sedangkan pikiran yang luas dan positif akan memaknai hidup kita. Bila kita selalu berpikir secara luas dan positif, kita akan mendapatkan banyak makna dari kehidupan kita. Bahkan, setiap kesalahan dan kekalahan yang telah kita alami dapat diambil hikmahnya apabila kita selalu berpikir positif. Jadi, jangan anggap kesalahan dan kekalahan merupakan akhir dari segalanya, melainkan suatu pelajaran yang sangat berguna untuk mewujudkan kesuksesan yang sesungguhnya.

Jovian Jevon/XI-D/22

Le0nard mengatakan...

Selama kita hidup di dunia, kita tidak mungkin lepas dari berbagai persoalan ataupun masalah yang muncul. Apapun yang terjadi kita harus menghadapinya, entah diselesaikan ataupun tidak, entah disukai atau tidak. Maka dari itu, kita harus menghadapinya dengan penuh kekuatan.

Kisah sesendok garam di kolam tersebut memang mengartikan kepada kita bahwa kita harus belajar mencari dan memahami seluruh cobaan yang Tuhan berikan kepada kita.

Perlu kita ingat bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita. Untuk itu, anggaplah segala kejadian pada kehidupan adalah rahmat dari Tuhan yang wajib kita syukuri, karena semua rencana Tuhan adalah BAIK.

Dengan kemampuan mengolah batin seperti itu, masalah yang pada awalnya rumit, dapat berubah menjadi sedemikian indah; sehingga kita dapat merasakan arti hidup yang sesungguhnya.

LEONARD
XI-D/25

Unknown mengatakan...

Sungguh ajaib bagi kita manusia untuk dapat memiliki segala emosi. Tetapi ada kalanya emosi-emosi ini dapat menggangu manusia itu sendiri.
Sekarang, apa yang harus kita lakukan dengan hadirnya emosi tersebut? Kita harus dapat mengontrolnya. Dan cara mengontrolnya adalah dengan memiliki batin yang luas.
Misalnya saja suatu kejadian buruk membuat kita sedih. Lalu kita terlarut dalam kesedihan kiat dan tidak dapat berbuat apa-apa. Atau suatu kejadian menggembirakan dan kita terlalu terbawa di dalamnya dan akhirnya, kita jatuh dan melakukan kesalahan karena terbutakan oleh kebahagiaan kita. Kasusu ini akan terjadi bagi pribadi yang berbatin sempit.
Nah, bagaimana dengan yang ber batin besar? Harus kita ingat, setetes tinta dapat mempengaruhi seember air, begitu pula dengan kasus ini. Bukan berarti karena kita berbatin luas, kita tidak akan memiliki emosi lagi. Tetapi, yang terjadi kita dapat mengendalikannya. Misalnya saat sedih, kita tentu dapat tetap sedih namun setelah beberapa saat, kita dapat bangkit adn menetralkan kesedihan itu. Sama dengan bila kita senang, kita juga dapat membuat itu dalam kadar yang tepat dan tidak berlebihan dan akhirnya dapat kembali fokus ke hal lain.
Kesimpulannya, batin yang besar tidak akan membunuh emosi mu tetapi akan membuatmu mampu mengendalikan emosimu.

Dhani P
XIC/13

erictandra mengatakan...

Memahami suatu hal takkan selalu akan dipahami secara sama oleh orang lain. Subjektifitasan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, sepeti misalkan cara berpikir, kebiasaan bepikir, pengaruh pihak lain, sudut pandang si penilai, serta pengalamannya dalam suatu kasus yang sama, dll. Logika atau rasionalitas akan dapat memberikan suatu jalan untuk memahami secara lebih baik dan benar. Dibutuhkan kemampuan untuk berpikir melalui sudut pandang orang lain di dalam suatu permasalahan untuk dapat memperoleh pemahaman secara lebih bijaksana dan adil dalam proses penentuan pengambilan keputusan dalam bertindak, sehingga ia akan dapat merasakan akan apa yang dipandang orang lain dan bagaimana mereka menilainya.
Seseorang pemimpin tentunya perlu memiliki cara pandang yang lebih luas daripada biasanya. Dikarenakan keputusannya nanti akan dapat mempengaruhi banyak orang dan keputusannya tersebut akan dinilai oleh banyak orang. Jika ia salah dalam mengambil keputusan, takkan diherankan jika tanggapan orang lain mengenai diri seorang tersebut akan sangat ekstrim. Dan dapat dikatakan semakin besar suatu resiko dalam pengambilan keputusan, akan menuntut semakin besar pula kehati-hatian dalam berpikir. Dengan begitu konsekuensi dalam hasil keputusan menjadi salah satu faktor yang menentukan seseorang untuk memahami dengan benar.
Pikiran orang terkadang terbatas dari pola pikir yang sempit dan cupat, sehingga pihak kedua terkadang perlu memberikan masukan-masukan kepada pihak pertama agar yang bersangkutan dapat memandang suatu hal secara lebih luas daripada jika ia memandangnya sendirian. Namun, adakalanya seseorang akan menghadapi satu situasi dimana ia harus mengambil keputusan besar sendiri tanpa perlu diatur atau dipengaruhi orang lain.
Semua itu pun juga berpusat pada orang itu sendiri si penilai, mengenai bagaimana ia dapat memahami secara bijaksana, tanpa secara emosional dan gegabah mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang. Dengan memandang suatu hal dengan kepala dingin dan menggunakan akal sehat serta rasionalitas akan membuat pemikiran tersebut menjadi luas dan semakin baik tentunya.
Eric Tandra Wijaya / XIB / 18

Daniel Christian mengatakan...

Pendapat Gede Prama di atas memang benar. Kita sebagai manusia sebaiknya tidak berpikiran sempit, melainkan harus selalu berpikir secara luas dan positif. Mengapa begitu? Karena pikiran positif akan membuat hati dan batin kita tenteram, sekaligus dapat meningkatkan kemampuan kita dalam berkegiatan. Hingga dapat membuat kita menjadi sukses. Sedangkan jika kita memiliki pikiran yang sempit dan cenderung negatif akan membuat kita tidak tenang, tidak konsentrasi, dan akhirnya akan merugikan diri kita sendiri. Jadi, jangan berkecil hati, melainkan lapangkanlah hati selapang-lapangnya, agar hatimu dapat menampung banyak berkat Tuhan.


Daniel Christian
XID/ 09

Christopher Albert mengatakan...

saya sependapat dengan apa yang dikatakan GEDE PRAMA. Memang dalam hidup ini kita akan mengalami pasang surut, dimana ibarat ban, ada saatnya kita di atas dan menang dan ada pula saatnya kita di bawah dan kalah. Namun jangan lah kita sampai memknai kekalahan itu terlalu dalam. Ada baiknya apabila kita dapat merenungkan, merefleksikan dan berusaha membawa perubahan dan perbaikan dan menerima kekalahan itu sebagai motivasi untuk bangkit, dan tak lupa memohon pertolongan Tuhan.

Christopher Albert Rusli / XIF / 12

Christopher Albert mengatakan...

saya sependapat dengan apa yang dikatakan GEDE PRAMA. Memang dalam hidup ini kita akan mengalami pasang surut, dimana ibarat ban, ada saatnya kita di atas dan menang dan ada pula saatnya kita di bawah dan kalah. Namun jangan lah kita sampai memknai kekalahan itu terlalu dalam. Ada baiknya apabila kita dapat merenungkan, merefleksikan dan berusaha membawa perubahan dan perbaikan dan menerima kekalahan itu sebagai motivasi untuk bangkit, dan tak lupa memohon pertolongan Tuhan.

Christopher Albert Rusli / XIF / 12

Dawin mengatakan...

Tipe orang yang tak bisa maju adalah mereka yang berpikiran sempit. Mereka akan berkutat di tempat yang sama terus menerus. Mereka tak bisa menerima kesalahan dan kegagalan. Sedangkan mereka yang berpikiran luas akan menghargai sebuah kesalahan sebagai sebuah titik tolak yang akan memajukan hidup mereka sehingga menjadi lebih baik. Salah satu contoh pemikiran yang sempit adalah suatu adat istiadat terus dipertahankan oleh suatu masyarakat, padahal jelas sekali kalau adat itu menurut hukum manusia saat ini, misalnya saja merendahkan derajat seseorang. Hal ini masih sering ditemui di masyarakat zaman sekarang. Ada yang tak mau merubah adatnya meskipun sudah lekang dan tak sesuai zaman lagi. Manusia harus bisa memahami suatu masalah dari berbagai persepsi agar bisa membuat suatu solusi yang adil bagi semua pihak.
Memaknai kekalahan atau kegagalan , ada dua tipe manusia: pertama yang menganggap sebuah kekalahan atau kegagalan adalah akhir dari semuanya dan yang satu lagi adalah yang menganggap sebuah kekalahan atau kegagalan sebagai sesuatu yang membuat mereka dapat menjadi lebih baik. Kekalahan atau kegagalan memang sulit diterima, apalagi bila kita sudah berusaha sebaik mungkin dan sudah terbiasa mengalami sukses. Tapi, ingat satu hal, yang membuat manusia kuat adalah kekalahan dan kegagalan. Bila manusia tak menghadapi masalah hidup, ia tak akan menjadi dewasa. Bagi saya, kadang suatu kegagalan atau kesalahan adalah sebuah peringatan untuk tidak terlena dalam kesuksesan, sekaligus bahwa saya masih belum sempurna. Manusia harus belajar untuk menerima kekecewaan, menjadi biasa menghadapi hal-hal mengecewakan. Kemudian, mensyukuri sebuah kegagalan dan berpikir kalau sesudah mengalaminya saya sudah menjadi lebih kuat.
DAWIN XIE/13

G.A.B.E mengatakan...

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ada kalanya kita harus menerima sebuah kegagalan di dalam hidup kita. Apabila kita merasa depresi akibat menerima suatu kegagalan, hal itu disebabkan karena kita gagal meraih apa yang kita inginkan pada waktu itu juga. Bila kita merasa bahwa kegagalan adalah seperti itu maka kita hanya seperti melihat satu sisi dari koin. Apabila kita berpikir secara objektif, dari kegagalan itu kita menjadi tahu dimana kita melakukan kesalahan, dari kesalahan kita bisa mengetahui apa kekurangan, dari kekurangan itu kita bisa memperbaikinya dan menjadi kesuksesan. Dari sini yang kita perlukan untuk mengubah kegagalan menjadi sebuah kesuksesan adalah cara berpikir yang luas

Gabriel Alexander/XIE/21niose;

Unknown mengatakan...

Kekalahan memang sulit untuk diterima setiap insan di seluruh dunia. Contoh yang paling jelas adalah para caleg pemilu 2009 yang tidak lolos menjadi anggota DPR/DPD menjadi sakit jiwa/'gila'. Banyak dari caleg tersebut bahkan menjadi pengemis karena tidak mampu membayar hutang dan ada pula yang mengambil kembali sembako yang telah diberikan. Mereka tidak mampu membuka hati mereka untuk menerima kekalahan. Mereka tidak mampu memahami kekalahan yang mereka terima. Padahal dari suatu kekalahan kita dapat memetik banyak pengalaman dan nilai-nilai yang sangat berharga. Dengan suatu kekalahan tersebut kita seharusnya dapat memahami dan mengerti bahwa kita masih memiliki banyak kekurangan yang harus diperbaiki lagi.

James Hidayat
XI-E/24

Ten No Michi mengatakan...

Leo Nugraha / XI-B / 29

Saya menyatakan setuju akan apa yang dikatakan Gede Prama, pasalnya semakin sempit hati seseorang maka semakin picik pikirannya. Pasalnya luas sempitnya hati seseorang menyangkut masalah cara pandangnya. Ibarat bersaing dagang. Misalnya kita berdagang bahan bangunan, dan apa yang kita jual ternyata laku. Tentu bisnis kita akan ditiru orang lain yang juga ingin mencari nafkah. Apabila kita berpikiran luas, kita tak perlu bersaing dan menganggap orang lain yang berbisnis serupa sebagai lawan, melainkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kita. Contoh lainnya adalah beda pendapat saat diskusi. Orang berpikiran picik akan menganggap orang yang berbeda pendapat sebagai lawan yang menghalangi idealismenya, namun orang yang berwawasn luas akan menganggap hal ini sebagai sarana untuk mencapai kemajuan bersama. Dan saya juga sependapat apabila seseorang yang berpandangan luas dan berhati luas memiliki kemampuan mengukir makna dari setiap pekerjaan yang dilakukannya. Pasalnya orang berwawasan luas akan menilai suatu hal dari proses, sehingga ia akan memperoleh kesan akan apa yang telah ia laukan, dan tak heran nantinya ia juga puas akan output walau tak sesempurna orang lain, beda halnya dengan orang berhati picik, hanya menilai sesuatu dari output saja, sehingga cenderung tidak puas dan terus membandingkan diri dengan orang lain yang lebih tinggi sehingga tak pernah sedikit pun makna diukir dalam setiap kegiatan yang dilakukannya.

Dan ironisnya hal ini yang justru terukir dalam pemerintahan Indonesia. Mengapa banyak caleg yang gila? Itu karena mereka memandang pemilu legislatif sebatas output bukan proses yang bermakna, akibatnya mereka hanya menilai sesuatu hanya dari hasil dan melupakan proses pencapaiannya dan akan tidak puas bila hasil tidak sesuai dengan harapannya.

Karena itu, sekolah Jesuit mulai menanamkan proses mengukir makna untuk setiap kegiatan dalam wujud REFLEKSI. Dalam refleksi kita diajak untuk mengingat - ingat kembali apa yang telah kita perbuat, merenungkannya dan meresapi apa yang telah kita peroleh di luar hasil dari kegiatan tersebut. Karenanya marilah kita membiasakan diri berefleksi dan menjadikannya sebagai kegiatan yang mengasyikan.

Unknown mengatakan...

Saya sependapat dengan Gede Prama, saya ada sebuah contoh juga:
Seorang anak tunggal yang wawasannya hanya sebatas apa yang dia terima, sebatas haknya. Ia akan menganggap bahwa ia anak satu-satunya sehingga berhak meminta apa saja.
Lalu seorang anak tunggal yang wawasannya sampa kewajibannya, apa yang bisa ia berikan, akan menggangap sebagai anak tunggal ia akan menjadi orang yang sadar tanggung jawabnya besar dan akan berusaha bekerja keras. Jadi yang bisa saya simpulkan pemahaman adalah sesuatu yang dipengaruhi kehidupan dan sebaliknya memengaruhinya.

Unknown mengatakan...

pos di atas di pos kan oleh
Putera Utama XIB 33

Unknown mengatakan...

Saya percaya,bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak pernah gagal dalam hidupnya.Manusia ada bermacam-macam tipenya ; ada mereka yang berusaha untuk tidak pernah terjatuh dalam lubang kegagalan ,namun sekali mereka jatuh dalam lubang kegagalan mereka sulit untuk bangkit kembali.Ada manusia yang tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan menganggap diri mereka adalah produk gagal,suatu kegagalan besar.Mereka tidak pernah bersyukur akan apa yang terjadi pada diri mereka.Ada lagi mereka yang berusaha setengah mati,setelah gagal berkali-kali ,namun mereka diberikan 2 kemungkinan : tetap gagal dengan SEGALA USAHA yang mereka perbuat,atau berhasil.

Kegagalan sebenarnya tak dapat dipisahkan dari kehidupan kita,karena ia adalah suatu bentuk takdir yang diberikan Tuhan.Hidup kita selalu dibayang-bayangi oleh kegagalan.Saat kita harus melangkah maju,lebih memilih untuk diam di tempat pun adalah salah satu bentuk dari kegagalan.

Satu cara untuk memaknai kegagalan adalah bersyukur.Segagal-gagalnya apapun kita,bersyukurlah atas segala yang telah kita terima,apa yang kita hasilkan.Toh kegagalan itu adalah suatu langkah baru,putus semangat hanya akan semakin memperdalam rasa gagal yang kita miliki (karena itulah ada pameo : putus asa adalah kegagalan besar.)

Itulah sekiranya komentar dari saya.

KEVIN DANAPARAMITA NUGROHO
XI A /15

candidatecxx-persevere mengatakan...

Saya kurang setuju terhadap logika tentang sempit dan besarnya batin manusia membuat perilaku seseorang menjadi baik atau tidak baik.

Saya sendiri merasa bahwa saya tidak memiliki pandangan yang luas atau batin yang luas, saya memisalkan diri saya sebagai gelas itu..., yang bila dicampur sesendok garam akan menjadi asin...

Tapi, janganlah memisalkan bahwa rasa asin itu adalah tidak baik... Sebut saja kalau yang dicampur adalah gula... tentu akan jadi manis bukan?

Berbeda dengan 'kolam' yang diberi sesendok gula tidak akan menjadi manis...

Permasalahan hanya pada diri kita yang menyikapi akan hal-hal tertentu, bagaimana kita berpendapat akan suatu hal...
Tidak bisa diukur sengan besar tidaknya kolam batin seseorang

Jadilah manusia yang mendahulukan pemikiran dan pemahaman sebelim bertindak...

Febrian mengatakan...

Memang benar, untuk menjadi orang yang dapat menerima kekalahan, kita harus berwawasan luas.
Untuk memiliki wawasan yang luas, alangkah baiknya bila kita tidak terus melihat kekurangan orang lain dan menuntut orang untuk memperbaiki diri terus menerus, bertingkah seperti orang paling sempurna di dunia. Tidak sedikit orang yang suka melakukan hal tersebut, karena memang orang lebih suka mencari kesalahan orang daripada kesalahan sendiri.
Namun, untuk menjadi orang yang berwawasan luas, baiklah kita sering-sering melihat kesalahan kita dan kekurangan kita, berusaha menjadi orang yang lebih baik, sebelum menuntut orang menjadi sempurna.
Febrian Sidharta
XI C/18

steve edpin mengatakan...

Steve Edpin XI-A / 19

Pertama-tama yang dapat saya cerna dari kutipan di atas ialah, bahwa kisah itu menceritakan tentang kesabaran hati untuk menghadapi apa yang terjadi di dalam diri kita.

Jika hati seseorang itu luas, maka ia akan dapat bertahan dalam kesabaran untuk menghadapi segala cobaan yang diberikan kepadanya. Ia akan melihat segala sesuatunya secara positif, meskipun sebelum ia menghadapinya. Ia akan berpikir bahwa apa yang ia hadapi merupakan hikmah dan pelajaran baginya.

Namun, jika hati seseorang itu dikatakan sempit, maka orang tersebut terlihat dari ciri perilakunya yang tidak mampu menghadapi cobaan hidup. Ia akan selalu berkecil hati dalam segala sesuatu. Ia akan selalu berpikir negatif-berpikir yang tidak-tidak-akan segala sesuatunya meskipun ia belum menghadapinya terlebih dahulu.

Maka untuk menciptakan diri yang lebih dapat positif menerima sesuatu, diperlukanlah kedekatan diri antara hubungan kita sebagai umat manusia, dengan Tuhan sebagai sang pencipta. Apapun yang kita butuhkan, jika berkenan di hadirat-Nya, pastilah Tuhan juga akan membimbing kita menuju jalan yang terbaik.

Indra Dinatha mengatakan...

(Indra Dinatha/XID/19)

Saya setuju dengan pernyataan bahwa kita harus selalu bersyukur terhadap kehidupan yang telah kita jalani. Terkadang kita semua merasa ada yang kurang dari diri kita bahkan kehidupan kita. Sering sekali kekurangan-kekurangan tersebut kita rasakan karena adanya sebuah kegagalan dan masalah hidup yang tidak dapat diselesaikan, misalnya saja gagal dalam prestasi maupun gagal menyelesaikan masalah ekonomi. Tetapi kita seharusnya tidak langsung menghakimi dan menganggap bahwa hidup ini tidak adil. Itu semua tidak benar. Menurut saya susah dan senang dalam hidup ini sudah menjadi satu paket. Tidak ada seorang manusia yang seumur hidupnya hanya merasakan bahagia ataupun hanya merasakan kesedihan. Seharusnya kita selalu bersyukur dan berpandangan luas terhadap diri kita sendiri. Apabila kita mengalami kegagalan, maka kita harus menjadikan kegagalan tersebut sebagai latihan bagi diri kita agar dapat berkembang lebih baik lagi. Apabila kita merasa ada yang kurang dalam hal ekonomi, seharusnya kita melihat kembali dan harus menyadari bahwa masih banyak orang-orang diluar sana yang lebih kesulitan ekonominya daripada kita. Oleh karena itu kita semua harus memahami arti kehidupan kita masing-masing secara dewasa dan selalu bersyukur atas hidup kita.

cafa mengatakan...

Makna Hidup berasal dari hidup yang dilakukan dengan senang hati, dan dengan penuh petualangan yang berarti.

Memahami, kata yang harus dipegang orang tua dan anak - anaknya. Orang tua yang 'memakasakan kehendaknya' sendiri kepada anaknya,malah akan membuat sang anak berontak.

Belajar untuk memahami hidup,dan manusia sangatlah menyenangkan apabila tidak dipandang dalam 1 sudut pandang saja.

Butuh banyak warna untuk memandang dan melakukan kehidupan di dunia ini.

Toleransi dan Tidak egois, salah 2 kunci untuk dapat memahami sesuatu dengan baik. Terimakasih..

Rizky 11 A- 17

Unknown mengatakan...

Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut. Untuk memahami sesuatu secara utuh kita perlu melihatnya dari perspektif yang lebih luas.

Seperti halnya bila kita hanya terfokus pada sebuah daun, kita tidak dapat melihat besarnya suatu pohon. Bila kita hanya terfokus pada sebuah pohon kita tidak akan dapat melihat besarnya hutan.

Bila kita hanya terfokus pada satu titik saja maka hal itu pada akhirnya akan menyusahkan diri kita sendiri. Hal ini bisa menjelaskan timbulnya para fanatik atau orang yang berpikiran sempit. Mereka hanya terbiasa terfokus pada suatu sudut pandang tertentu saja. Seperti halnya seekor katak dalam tempurung, yang hanya melihat dunia secara sempit.
Pada akhirnya kebiasaan orang dalam memahami dunia di sekitarnya akan membentuk sifat dari orang tersebut, bagaimana caranya memandang suatu masalah dan bagaimana caranya menyingkapi permasalahan tersebut.

Aditya A.S. XI-F/1

kiel mengatakan...

Saya sanagt setuju dengan kutipan dari Gede Prama. Seseorang yang memiliki hati yang sempit akan lebih cepat emosional seharusnya kita berpikiran luas karena hal itu juga akan memberi dampak positif bagi kehidupan kita. Pikiran positif akan membuat hati dan batin kita tenteram, sehingga akan mendukung kita dalam melakukan segala aktivitas. Aktifitas yang dilakukan akan berjalan dengan perasaan sukacita. Sedangkan jika kita memiliki pikiran yang sempit dan cenderung negatif akan membuat kita tidak tenang, tidak konsentrasi, dan akhirnya akan merugikan diri kita sendiri.
Pikiran yang luas ini sejalan dengan perintah Tuhan untuk bersukacita dan melaksanakan kehidupan dengan sebaik-baiknya karena kita hanya diberikan kehidupan di dunia ini satu kali saja. Hal ini bertentangan bila kita memiliki hati yang sempit, kita akan selalu cepat marah dan itu akan mengganggu aktivitas kita.
Jadi marilah kita membuka hati dan batin kita agar berpikir secara luas karena hal ini untuk kebaikan kita juga.

Yohanes Wirawan Putranto mengatakan...

Memahami sangat mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Adalah benar yang dikatakan diatas bahwa semuanya tergantung pada pribadi manusia tersebut. Terhadap suatu kasus, setiap orang pasti memiliki pandangan dan perspektif yang berbeda-beda. Oleh karena itulah, semakin dalam penguasaan diri seseorang, semakin ia akan memahami dan selalu berpikir positif.

Yohanes Wirawan Putranto
XI C / 40

steven_licin mengatakan...

keadilan dan tanggung jawab.
2 hal tersebut terpaut satu sama lain. keadilan sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap manusia. siapa yang tidak ingin akan keadilan?? saya rasa tidak satupun di dunia ini. Keadilan dapat kita capai apabila kita melakukan tanggung jawab kita dengan baik. kita tidak bisa meminta hak kita apabila kita tidak melakukan tanggung jawab kita dengan baik pula. maka dari itu,keadilan di sini berbicara. Keadilan menerima hak akan kita peroleh dengan melakukan tanggung jawab yang diberikan pada kita. akan tetapi, menurut saya keadilan pada jaman sekarang sudah berkurang,banyak orang yang bersikap tidak adil dengan orang - orang yang telah melakukan kewajibannya. Dalam hal ini setiap orang perlu bertanggung jawab atas keadilan terhadap orang lain. janganlah kita melepas tanggung jawab kita dan tidak adil terhadap orang lain, sebab hal itu sangat menyakitkan.

STEVEN SOLICHIN XI F/ 39

Unknown mengatakan...

dalam memahami sesuatu memanglah berbeda-beda tiap individu manusia melihatnya. setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dan dari sini kita akan dapat mengetahui sikap dan kebiasaannya lewat penafsirannya akan sesuatu dan bagaimana cara ia melakukan sesuatu. dalam memahami sesuatu seringkali kita terganggu oleh kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan kita sehingga seringkali kita salah dalam menanggapi sesuatu.

Yulius Adi JAya
XIE/41

steven_licin mengatakan...

memahami adalah suatu hal yang perlu kita pelajari untuk membuat perdamaian dalam hidup kita
dengan memahami orang lain kita akan tahu apa yang ia butuhkan,apa yg ia senangi dan tidak suka dari kita. dengan saling memahami satu sama lain,setiap orang akan mengerti sikap dan sifat masing2 orang sehingga kita dapat saling melengkapi satu sama lain dan membantu orang - orang merubah sikap dari yang kurang baik menjadi baik. untuk itulah mengapa memahami sangat dibutuhkan.

STEVEN SOLICHIN XI F / 39

A.D.K mengatakan...

Saya sependapan dengan Gede Prama bahw akita tidak boleh melihat atau berpikir secara sempit tetapi harus dilihat melauli sudut pandang berbeda.
kita tidak mungkin memiliki sesuatu secara sama dengan orang lain maka dengan melihat dari sudut pandang berbeda kita dapat mengetahui pemikiran kita dan juga orang lain tanpa ada perdebatan dan semua itu akan menghilangkan rasa tidak adanya kecocokan.

Davine XI-E/12

Unknown mengatakan...

Kutipan I Gede Prama itu benar apa adanya. Seseorang yang berpikiran sempit dan pendek akan lebih mudah marah dan melakukan hal-hal yang buruk,sedangkan orang yang berpikiran luas biasanya lebih dapat mengerti keadaan dan bersikap lebih dewasa. Di masyarakat saat ini memang banyak sekali orang-orang yang berpikiran sempit yang mengakibatkan orang itu menjadi fanatik. Seseorang yang berpandangan sempit akan memaknai kegagalan adalah gagal,namun seseorang yang berpikiran luas memaknai kegagalan sebagai awal sebuah keberhasilan karena kita dapat memetik pelajaran dari kegagalan itu. Sikap berpandangan luas itulah yang kita butuhkan dalam hidup sehari-hari oleh karena itu marilah kita mengubah cara memahami dan memperluas pandangan kita terhadap hidup ini.

Benny h/XIE/9

aditz mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat tersebut bahwa melalui memahami, kita dapat lebih mudah menerima segala sesuatu yang telah dilakukan. Kita menjadi orang yang lebih menikmati hidup bukan seseorang yang selalu mengeluh terhadap sesuatu. Memang sulit sekali bagi kita untuk memahami segala sesuatu yang kita alami karena sikap ini sangat membutuhkan kontrol emosi yang baik dalam diri kita. Orang yang sabar pun pernah marah bukan??? Dan oleh karena itu, kita perlu belajar untuk mengontrol emosi kita sedikit demi sedikit. Salah satu caranya adalah dengan berpikiran positif atau optimis dalam melakukan sesuatu. Dengan berpikiran positif, kita berarti lebih mendekatkan diri pada Tuhan melalui syukur kepadaNya. Dengan demikian, kita dapat lebih menerima kegagalan.

Aditya P. / XI-F / 2

K mengatakan...

Bermakna tidaknya kehidupan ditentukan manusia itu sendiri. Kalau hidup sebagai manusia, jadilah manusia yang bisa melihat sesuatu secara luas dan mampu mengambil makna yang akan menambah indahnya dinamika kehidupan. Pengalaman pahit pun jika dikenang bisa menjadi suatu kebanggaan apabila kita berhasil melewatinya dan mengalahkan kepedihan dengan semangat hidup dan kebijaksanaan hati.

Aditya Kristanto
XI-A / 1

Fransiskus Raymond mengatakan...

Mudah bagi kita untuk memahami, tetapi sulit bagi kita untuk menyadari. Jika kita membaca buku komik, maka kita akan berusaha untuk memahami jalan ceritanya karena ceritanya menarik. Bagaimana ketika kita membaca buku pelajaran? Saat ada ulangan kita baru gedar-gedor sana-sini, copy sana, copy sini. Apa yang sebenarnya kita lakukan sehingga bisa terjadi hal demikian?

Kita kurang sadar tentang pemahaman kita. Pemahaman baru sebatas aspek intelegensia, otak kiri. Tetapi, untuk menyadari, kita harus memasukkannya ke dalam otak kanan kita, menjadi sebuah cerita yang menarik.
Sebagai contoh, ketika kita melihat seorang pengemis di pinggir jalan, apa yang kita lakukan? Kita tentu sudah paham bahwa kita harus membantunya, tetapi acap kali kita tidak melakukannya. Mengapa demikian? Kita baru sebatas memahami, kita belum sadar.
Ketika kita bangun pagi, tentu terasa ingin tidur lagi bukan? Bagaimana jika kita melihat bahwa rumah kita kebakaran sehingga asap mengebul mengelilingi seluruh sudut rumah? Tentu kita akan dengan segera bangun, membangunkan orang lain, lalu membereskan apinya. Di sinilah kita sadar.

Seorang yang sadar memahami bukan lagi dengan pikiran, tapi dengan hati. Ia sadar bahwa dirinya seharusnya bertindak yang baik, makanya ia melakukannya. Jika kita banyak berpikir, maka rasionalitas akan membuat kita menunda perbuatan baik.

"Manusia terlalu pandai untuk berdalih."

Kita selalu punya alasan untuk menyangkal diri kita sendiri. Itu yang terjadi jika kita banyak berpikir. Ketika kita melihat pengemis itu, kita bisa saja mengatakan bahwa tindakan kita sudah benar karena tidak baik membuat dia tergantung pada kita, atau mungkin membayangkan diri pengemis yang berpura-pura, pengemis itu nanti akan menodong kita, bahkan berapa keuntungan yang kita peroleh dari memberi.
Hal berbeda ketika sadar. Kita melihat pengemis itu sebagai sosok yang butuh pertolongan, dan dengan simpati bahkan empati, kita akan memberi uang padanya semampu kita. Kita tidak berpikir panjang-panjang, tidak menggunakan daya imajinasi kita yang sangat fantastis. Tapi itulah yang harus kita lakukan.

LIHAT(INDERA)->PAHAMI->SADARI->LAKUKAN

Stephan Sonny mengatakan...

Untuk hidup bahagia maka berbagai masalah dan pekerjaan di hidup ini harus selalu disyukuri dan ditanggapi positif sebagai rahmat Allah yang ingin membuat kita lebih tegar dan kuat di hidup ini. Kehidupan manusia tidak bisa hanya hanyut dalam berbagai masalah kehidupan, manusia harus bisa berdiri dan memahami secara mendalam apa arti hidupnya di dunia. Pikiran dan hati yang sempit hanya akan membawa kita ke dalam kehidupan yang tidak berujung pada kebahagiaan

Jason Suteja (Teja) mengatakan...

Saya sangat setuju dengan isi dari artikel ini. Dikatakan bahwa seseorang yang memiliki pikirn sempit, tentu memiliki sikap toleran yang sempit pula. Sebaliknya jika kita merupakan manusia yang memiliki pikiran yang luas, tentu kita mampu melihat segala hal dari berbagai sisi.
Namun, kebanyakan yang kini manusia miliki adalah pemikiran sempit. Pemikiran - pemikiran tersebut membuat kita menjadi manusia yang tidak kritis, menjadi manusia yang pesimis, menjadi manusia yang hanya bisa melihat segala hal dari sudut mati.
Maka dari itu kita sebagai manusia seharusnya mampu membuang dan meninggalkan pola pikir yang telah mendarah daging di kehidupan masyarakat kita. Hal itu bisa kita lakukan dengan cara yang cukup sederhana. Yaitu "Mencoba untuk mendengarkan"

Jason Suteja XI/A - 13

kevinepe mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
kevinepe mengatakan...

saya setuju. Kutipan tadi memang benar2 bagus dan mengena. Kita tak boleh memandang dan menjalani hidup secara sempit. Seperti kata pepatah, kita tak boleh seperti "katak dalam tempurung".
Kalau kita luas dan luwes dalam menjalani hidup, niscaya kita semakin bahagia dan merasa hidup kita ini baik adanya walaupun masalah dalam kehidupan tak pernah habis.

Kevin Eka Putra
XI F / 28

Unknown mengatakan...

Kalo blh jujur dinamika kehidupan manusia adalah"Perdebatan!!! Maka Tuhan menciptakan agama, sbg konsep cara buat manusia utk beristirahat dari Perdebatan, plis koreksi my komen trims ...

Rangga Cindraputra mengatakan...

Artikel ini membawa pesan yang menurut saya cukup penting untuk kehidupan kita, yaitu mencari makna dalam kekalahan. Hidup akan penuh kemenangan dan kekalahan, namun kekalahan bisa membuahkan hasil positif. Lewat kekalahan, kita bisa menemukan hal-hal yang kurang dalam diri kita dan memperbaikinya di masa depan. Tidak ada manusia yang "sempurna", setiap dari kita memiliki kekurangan dan lewat kekalahan kita bisa menyadari dan memperbaikinya.

Tentu untuk melakukan hal ini, kita harus sanggup menerima kekalahan dan pantang menyerah. Dalam artikel dikatakan harus memperluas batin kita dan lebih terbuka terhadap saran dan kritik. Jangan karna kalah sekali, langsung menyerah dan terus mengeluh. Namun dari kekalahan harus melakukan refleksi pribadi untuk menemukan apa kesalahan yang kita buat. Dari situ berusaha untukmemperbaikinya agar tidak terulang lagi.

Muhammad Rangga Cindraputra
XI-1/24 CC'25

Nathanael Sintong mengatakan...

Saya sangat setuju dengan pesan yang disampaikan artikel ini. Kita sering menjalankan kehidupan kita dengan sudut pandang yang tidak optimal, sehingga sering terlihat seperti kehidupan jauh lebih buruk dari apa yang sebenarnya terjadi. Jika kita bisa melihat kehidupan dengan sudut pandang yang lebih luas dan berfariatif, kita bisa melanjutkan kehidupan kita, bersyukur bahwa kita bisa sama sekali bertahan dalam keadaan yang sekarang kita alami.

Pandangan luas akan kehidupan kita bisa lumayan membantu kehidupan kita. Kesadaran bahwa kita hidup dalam kehidupan yang sama-sama sangat luas dan sangat sempit bisa membantu kita membaiki cara pikir kita sesuai situasi.

Nathanael Sintong Baskoro
XI-1/25 CC'25

Moses mengatakan...

Artikel ini memiliki makna yang dalam bagi kehidupan sehari-hari, terutama saya sebagai seoarang murid. Di artikel dijelaskan sebuah perumpamaan dimana sesendok garam yang dituang dan diaduk ke dalam sebuah gelas berisi air akan berasa asin, sedangkan jika dituang dan diaduk di dalam sebuah kolam, rasanya tidak akan asin. Hal tersebut menyadarkan saya untuk tidak berpikiran sempit dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, pola pikir ini akan membawa perubahan yang besar bagi kehidupan seseorang, sehingga ia tidak lagi terpaku pada 1 atau 2 hal saja namun juga segala aspek dari seluruh kehidupan seseorang tersebut.

Sebuah pola pikir yang tidak hanya terpaku pada 1 hal dan memiliki pandangan yang luas dapat membantu seseorang untuk tidak lagi diam di tempat selama kehidupannya dan membuat hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih bermakna, sehingga segala permasalahan dapat terselesaikan dengan baik jika dilihat dari berbagai pandangan dan aspek.

Moses Juan Law
XI-8/28 CC'25