13 Agustus, 2008

TEGUR MENEGUR

"Apabila saudaramu berbuat dosa (kelalaian, kesalahan), tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engaku telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat (komunitas, angkatan, kelas)........" (Mat 18, 15-17b)

74 komentar:

steve edpin mengatakan...

Saya setuju atas pendapat ini karena sebuah perkaraharus dapat diselesaikan dalam waktu sependek-pendeknya agar perkara tersebut tidakterus berkembang menuju ke hal-hal yang lebih buruk lagi, atau mungkin bisa jadi akan memperluas masalah. Oleh karena itu, jika "si terdakwa" bersalah, dan sudah kita tegur secara pelan dan baik-baik, juga tidak mau mendengar apa yang kita katakan, maka bawalah saksi-saksi lain untuk memperkuat teguran atau perkataan kita kepada "terdakwa". Dan kita harus berusaha semampu kita supaya "si terdakwa" tadi kembali ke jalan yang baik dan benar. Dan tentu juga apa yang kita sampaikan tadi harus benar dan baik, dan dengan teguran yang dapat menyentuh hati orang yang bersalah. Kita juga harus mendoakan, dan menjaga perilaku kita di depan "si terdakwa" demi menjaga hubungan baik, jangan sampai kita termakan emosi dan bila masalah selesai, "si terdakwa menyimpan dendam".Dan juga jangan sampai jikalau kita menasehati atau menegur orang lain, malah kita yang terjerumus ke jurang kemunafikan (istilahnya : menelan ludah sendiri) dari apa yang kita nasehatkan ke orang itu.


Steve Edpin. XI A / 19.

Jason Iskandar mengatakan...

Sebetulnya saya sudah sering mengalami ini,baik sebagai orang yang ditegur maupun orang yang menegur,namun lebih sering sebagai orang yang ditegur. Karenanya, pengalaman saya tentang ini amat sedikit. Saya lebih senang menegur orang dengan 4 mata ketimbang harus didepan orang banyak,dan jika ia tidak mendengarkan saya atau mengacuhkan teguran saya,saya lebih senang diam dan membiarkan waktu berjalan dan waktulah sendiri yang membuktikkan siapa yang salah. Kalau saya benar,saya akan tetap senang dan menginginkan dia berubah. Kalau saya salah,ya saya akan dengan senang hati menerimanya,berpikir lagi,dan merefleksikan diri saya agar lebih baik di kemudian hari.

Jason Iskandar
XI A / 12

Unknown mengatakan...

Dari sisi si penegur, tegur-menegur biasanya memiliki dua maksud. Yang pertama, orang atau kelompok tertentu tidak ingin dirugikan. Misalnya ada si Ucup dan Urip. Karena kesalahan Ucup, Urip tidak mau dirugikan sehingga ia menegur Ucup supaya di masa mendatang Ucup tidak merugikannya lagi. Teguran dengan maksud yang pertama ini didasari atas ketidakinginan seseorang untuk dirugikan, dan ini manusiawi. Yang kedua, orang benar-benar peduli terhadap orang lain dan tidak ingin kesalahan itu merusaknya. Misalnya, karena Urip adalah sahabat baik Ucup, maka Urip ingin agar Ucup tidak melakukan kesalahan lagi di masa mendatang. Kedua maksud tersebut baik adanya.

Dari sisi orang yang ditegur, teguran terhadap dirinya merupakan suatu hal yang bermanfaat. Kesalahan yang ditegur hendaknya tidak diulangi di masa mendatang sehingga tidak berakibat pada tercemarnya nama baik orang itu.

Setuju dengan kutipan kitab suci di atas, saya pikir teguran untuk pertama kalinya hendaknya tidak dilakukan di depan umum. Hal ini dilakukan untuk menjaga kondisi psikologis orang yang ditegur sehingga ia tidak malu. Hal ini penting untuk dilakukan agar ia mengerti bahwa teguran yang disampaikan bukan dimaksudkan untuk mempermalukannya, melainkan untuk memperbaiki kesalahannya.

Namun, teguran seringkali tidak didengarkan atau diacuhkan oleh orang yang ditegur. Hal ini disebabkan karena mungkin orang yang ditegur merasa bahwa si penegur menegur secara subjektif, berdasarkan suka dan tidak suka. Agar maksud teguran tersampaikan dengan baik, maka dibutuhkan second atau bahkan third opinion sehingga teguran tersampaikan secara objektif, artinya sesuai dengan standar norma dan nilai yang dianut kelompok orang yang ditegur dan menegur.

Apabila masih tidak mendengarkan juga, berarti orang yang ditegur memerlukan pengendalian sosial dari orang-orang di sekitarnya, dimulai dengan memberitahukan kesalahannya kepada orang-orang di sekitarnya. Orang-orang pun akan menanggapi dan memberikan sikap terhadapnya. Misalnya, pengucilan. Sebagai makhluk sosial, yang ditegur tentu perlu berkomunikasi dengan orang lain. Ketika ia dikucilkan, ia akan memperbaiki sikapnya sehingga di masa mendatang agar diterima kembali oleh orang-orang di sekitarnya.

Akan tetapi, untuk beberapa kesalahan yang berat yang tidak dapat ditoleransi hendaknya tidak digunakan teguran, akan tetapi hukuman yang sesuai dengan norma yang berlaku. Misalnya, orang yang membunuh hendaknya dijatuhi hukuman menurut hukum yang berlaku.

Aditya Kristanto
XI A / 1

Kevin Dana mengatakan...

Pada halnya,dosa adalah hal yang umum dilakukuan oleh manusia.Saya kira benar bahwasannya kita harus menegur seseorang yang berbuat dosa di depan mata kita.Kita boleh saja menegurnya namun secara halus-jika nasehat kita ditolak olehnya bolehlah kita menegurnya dengan lebih keras-jika sudah tak mampu ditolerir bolehlah kita diskusikan bersama dengan orang yang berwenang.Namun kita TIDAK BOLEH sekalipun menyampaikan persoalan ini pada jemaat atau dalam jaman sekarang,umum/komunitas.

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah dunia kita sekarang ini sangat berbeda dengan dunia dalam Kitab Suci di atas- manusia telah berkembang tidak hanya secara teknologi namun juga secara psikologis -hingga untuk satu kesalahan harus diperhatikan dengan seksama apa motif dari dosa yang dilakukan orang tersebut.Bisa saja ada ribuan motif dari satu dosa -ribuan motif yang sesungguhnya harus diperhitungkan oleh kita yang menasehatinya.Dengan kata lain,kesalahan/dosa pada jaman sekarang bersifat abu-abu dan tidak sehitam putih pada zaman Yesus dahulu.

Dunia sekarang menuntut kita untuk tidak hanya membela kebenaran menurut agama kita namun juga pandai-pandai mengamankan diri sendiri.Jika kita siap menanggung resiko untuk menyampaikan persoalan ini pada umum,bolehlah terjadi demikian.Jika tidak,maka janganlah dilakukan. Misalnya,jika orang yang berbuat dosa tersebut mencuri/membunuh/memerkosa,mampukah hati kita menegurnya?Kalaupun kita melihatnya kita hanya mampu meringkuk dan bersembunyi lalu pergi dan membiarkannya terjerumus secara rohani (dalam hal ini saya merasa kita juga bertanggung jawab menjerumuskannya).Lebih buruk dari itu nasibnya Bisa-bisa nyawa kita melayang terlebih dahulu.

Akhir kata,saya bukan bermaksud menyampaikan ketidaksetujuan terhadap kitab tersebut - namun saya lebih ingin membandingkan betapa bedanya situasi pada zaman penulisan kitab ini dahulu-dibandingkan dengan sekarang.Dahulu orang berbuat salah cukup ditegur,sekarang perlu ditanya motifnya,dilihat besar dosanya,dan bahkan kalau perlu dibawa pada yang berwajib.Hal yang kontras ini menjadi pertanyaan bagi diri kita sendiri: mampukah kita menegur orang yang bersalah begitu saja?Tanpa memandang hal-hal di atas?

Kevin Dana
X1 A /15

Unknown mengatakan...

Sekadar tanggapan terhadap komentar di atas...

Dosa adalah dosa. Kesalahan yang dibuat yang tidak bermaksud jahat akibat ketidaktahuan akan nilai dan norma yang berlaku saya kira bukanlah dosa. Meskipun demikian, dalam hal ini teguran tetap diperlukan untuk memberi tahu bahwa hal ini salah, yang itu benar. Misalnya, kesalahan yang dilakukan anak kecil yang bebas nilai - polos.

Saya pikir kitab suci adalah sebuah kitab yang abadi, nilai-nilai yang ada di dalamnya akan selalu sesuai dalam keadaan zaman apapun. Hanya memang dalam mewujudkannya ke dalam praktik tentu akan berbeda dengan waktu pada zaman kitab suci ditulis dahulu.

Sekadar menyampaikan pendapat... :)
AMDG

Wain XIE mengatakan...

Seseorang yang berbuat salah memang harus ditegur. Saya kurang setuju dengan pendapat pater ini. jika kita menasihati orang tersebut secara 4 mata dan ia tidak menghiraukannya, untuk tindakan lanjut, kita harus menilai sisi permasalahannya terlebih dahulu. Jika kesalahan yang ia perbuat tidaklah besar, maka sepertinya tidak perlu kita mengadukannya pada jemaat/masyarakat. contoh masalahnya adalah Joni, salah satu siswa di sekolah X tergabung dalam kelompok 5 Biologi. Pada suatu saat dia tidak bekerja dalam kelompok dan kita menegurnya, jika dia menghiraukannya kita dapat membujuknya terlebih dahulu. Usahakanlah agar kesalahan yang ia perbuat tidak perlu di ketahui oleh publik jika itu bukanlah kesalahan yang akan merugikan publik seperti Terrorisme atau lainnya.

Jika ia kembali mengulang kesalahan tersebut dan tidak mengindahkan teguran kita secara 4 mata, baru kita mengajak teman2 kita untuk memperbaiki dirinya. Cara kekerasan tidak perlu di tempuh. setiap orang bisa berbuat salah.

Jika orang yang berbuat salah itu mengetahui kita sebagai orang yang mengadukannya pada masyarakat, maka rasa benci dan dendam akan tumbuh di hati orang yang berbuat salah itu.

Padahal teguran sendiri adalah salah satu cara untuk meluruskan jalan orang yang salah. berilah ia pengertian bahwa teguran ini adalah bentuk dari kepedulian kita kepadanya.

Seperti orang tua kita yang selalu menegur kita jika kita salah. Itu adalah salah satu bentuk kasih sayang mereka.

Pengalaman saya, Sewaktu smp, saya pernah menggetok-getok meja dengan penggaris. Teman saya, NE memperingati saya. tapi terkadang saya mengindahkan dia. Tapi NE tidak pernah lupa untuk mengingatkan saya. Sampai suatu saat dia berkata, bahwa jika saya melakukan hal ini terus, maka Ulangan umum, akan ada yang menderita. Saya jadi berpikir. bagaimana mau ngebuletin jawaban kalo mejanya begini. Saya langsung berhenti dan tidak pernah melakukan itu lagi. Saya berterima kasih kepada NE yang telah menyadarkan saya. Dia tidak melapor ke pihak sekolah dan ke pihak yang lain.
thx NE

sekian
terima kasih

-Kevin Aditya-
-XIE/28-

Rafael Martino mengatakan...

Saya setuju dengan artikel ini. Namun, kita sendiri mengetahui sikap alami manusia yang tidak sempurna, terkadang kita hanya mementingkan ego kita sehingga kita tidak menyadari perbuatan yang kita lakukan baik atau tidak. Teguran adalah sesuatu tindakan dimana pihak yang dianggap bersalah diingatkan oleh orang lain agar kembali ke jalan yang benar. Dan apabila permasalahan tersebut belum berakhir, kita harus membicarakannya lagi dengan lebih banyak sumber untuk meyakinkan pihak yang bersalah itu. Saya kira teguran, khususnya teguran secara empat mata adalah bentuk yang paling tepat dan sesuai dengan etika untuk mengembalikan seseorang ke jalan yang benar. Teguran dalam bentuk empat mata bagi saya juga merupakan suatu cara yang gentle untuk menyampaikan perasaan kita terhadap seseorang. Namun, saya melihat dewasa ini adanya bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang bersalah. Misalnya kasus guru di Sumatra yang menganiyaya muridnya karena tidak mengerjakan tugas, hal ini tentu saja tidak sesuai dengan nilai etika dan nilai moral. Sehingga saya juga menyimpulkan bahwa teguran juga merupakan cara untuk menghindari kekerasan bila terjadi kesalahan.

Oleh : Rafael Martino (XI-E / 33)

Cahyo mengatakan...

Hal tsb membuktikan bahwa alkitab mangajar kita untuk membudayakan tegur menegur. Tapi hal tsb sering dikaitkan dengan hal yang masih rancu, misalnya banyak orang beralasan ”diam adalah emas”, atau hal-hal lain yang justru menganggap remeh masalah tegur menegur. Bila kita tahu bahwa seseorang bersalah, jangan berdiam diri saja. Kita perlu menegur untuk mengingatkannya. Namun, kita harus mendapatkan data dan fakta tentang pelanggaran tersebut, bukan asal percaya gosip. Memahami kedudukan kesalahan itu, kecil atau besar, sengaja atau tidak sengaja. Tegur ia terlebih dahulu secara pribadi, mungkin memang ia tidak menyadari kesalahannya itu. Kita harus memimpin orang ke jalan yang benar, artinya tidak mengkritik secara destruktif, tetapi memberi pemecahan yang membangun. Lebih bijaksana lagi bila kita mengawali dengan pertanyaan, sebab mungkin saja kita yang salah mengerti. Jangan menyerah kalau ternyata orang itu tidak mau ditegur. Mewujudkan niat baik terhadap orang lain kadang juga perlu perjuangan. Libatkan pihak kedua atau ketiga yang berkompeten untuk bersama-sama menegurnya. Jika ia memang tak mau juga dinasihati, bawalah masalahnya ke sebuah perkumpulan dimana ia biasa dengan orang-orang tsb, karena perkumpulan itu dapat dikatakan orang-orang yang dapat dipercaya orang itu dan dapat turut membantunya. Dan yang juga penting adalah, menegur sambil mawas diri. Jangan sampai kita sendiri jatuh dalam kesalahan yang sama. Ya, kita perlu memiliki kerendahan hati agar dapat menegur sebagai sahabat yang solider.
Terima kasih.

Antonius Cahyo
XI A / 04

XIE37 mengatakan...

Saya kurang setuju jika hanya ditegur 4 mata pada awalnya, karena jika kita terus-menerus memperlakukannya seperti itu kita akan memperlihatkan bahwa diri kitalah yang selalu paling benar.
Selain itu, tidak semua orang yang melakukan kelalaian dan kesalahan tersebut tidak sadar akan apa yang dilakukannya...

Bila orang tersebut tidak sadar akan apa yang diperbuatnya maka, Sebaiknya kita mencari beberapa teman yang lain yang merasakan akibat dari dosa(kelalaian, dan kesalahan tersebut), dan menegurnya bersama-sama agar ia mengerti bahwa kesalahannya merugikan banyak orang dan membuat ia akan berpikir dua kali tentang kelalaian dan kesalahannya agar ia tidak akan ditegur oleh teman-temannya..

Kita tahu bahwa sebagai manusia jika kita melakukan suatu perbuatan yang merugikan sekelompok orang. Pasti dalam hati kita akan muncul rasa bersalah(bagi orang normal) juga rasa malu. Justru, teguran sebenarnya diperuntukkan untuk orang yang tidak sadar akan dosanya agar dia menyadarinya dan berusaha memperbaiki sikapnya.

Valentino E. XIE/37

Jason Suteja (Teja) mengatakan...

Bagi saya, Saya sangat setuju dengan cara menegur secara empat mata. Menurut saya hal itu menandakan bahwa, saya tetap ingin menegur orang itu karena kelalaian yang pernah dia buat, namun dengan tetap memikirkan dan menghormati perasaan orang tersebut. Tapi, jika saya telah menasehati dia dan dia masih tidak mau mengerti, maka yang akan saya lakukan adalah mengajak orang-orang/teman-teman terdekat (2-3 orang) dia untuk ikut bedialog dengannya, Sehingga dia akan merasa bahwa dia tidak sendirian dan masih ada orang-orang yang memperhatikan dan menyayangi dia.

Untuk saya pribadi, saya kurang setuju terhadap cara menegur dengan melibatkan orang banyak (kelas, angkatan, dll) Karena hal itu dapat menimbulkan rasa kurang nyaman terhadap orang tersebut (yang berbuat salah). Maka dari itu, saya lebih cenderung dan berusaha untuk tidak menyebarluaskan masalah tersebut.

Jason Suteja
XI A / 13

Dawin mengatakan...

Hal tegur-menegur pada zaman sekarang ini sangat diwarnai oleh popularitas dan harga diri . Masyarakat zaman sekarang lebih cenderung berselisih dengan teman dekatnya dibanding mengutarakan masalahnya kepada orang lain . Tindakan terhadap orang-orang yang 'berjalan di jalan yang bengkok' pada zaman ini pun beda dari yang terjadi pada zaman dulu , dimana dulu hukum ditegakkan dengan kekerasan dan mereka yang melakukan kesalahan akan mendapat malu . Pada zaman sekarang , orang melihat terlebih dahulu kesalahan yang dibuat orang lain , lalu dari kesalahan tersebut , baru mulai dicari penyelesaiannya dan kalau bisa hal itu diselesaikan di bawah 4 mata saja . Bila suatu kesalahan sudah diutarakan oleh seseorang kepada publik , biasanya hal itu akan menimbulkan dampak samping seperti dikucilkan , kehilangan popularitas dan harga diri ,dan digosipkan . Hal ini sering terjadi , contohnya di kalangan para selebriti , di mana kesalahan mereka yang sekecil apapun selalu ditilik dan disebarkan oleh media massa . Pada suatu waktu pula , teman saya pernah melakukan suatu kesalahan yang bisa dibilang cenderung ke kelalaian , namun , teman saya yang lain menyebarkannya kepada orang-orang di lingkungan kelas dan sekolah . Hal ini membuat malu dia yang melakukan kesalahan dan berbuah pertengkaran di antara mereka berdua . Point pertama dari tegur-menegur adalah melihat terlebih dahulu kesalahan yang diperbuat dan menegur di bawah 4 mata terlebih dahulu untuk mencegah memberikan rasa malu , apalagi bila yang ditegur itu teman baik kita . Berikutnya , mereka yang keras kepala dan berpikiran sempit . Mereka yang tak mau mengakui kesalahan mereka dan bersikeras bahwa mereka itu benar . Hal ini memang model yang susah ditangani . Terkadang , kita bertemu orang-orang seperti ini , kita berusaha menegurnya agar ia tak mengulangi kesalahan , namun ia tak mau berubah dan menganggap dirinya benar . Pada saat kita tak bisa lagi menemukan cara untuk 'memperbaikinya' , menurut saya , di saat inilah publik bekerja . Dalam sosiologi , ada yang disebut dengan 'Tekanan Sosial' yang termasuk dalam tipe-tipe pengendalian sosial . Kesalahan yang tak mau dia akui itu , menurut saya , harus diberitahukan kepada orang lain , kalau bisa banyak , namun bisa dipercaya . Misalnya , pada suatu kelas , siswa-siswanya suka membolos pelajaran . Seseorang di antara mereka sudah mencapai tahap yang menyedihkan dan tak mau berhenti membolos . Namun , teman-temannya yang lain , yang dianggap bolos karena hal iseng saja , mendengar betapa temannya yang satu ini harus berubah ,berhenti membolos , mau tak mau ia yang bolos terus ini solider terhadap temannya dan berhenti membolos atau ia akan dikucilkan dan hanya bisa membolos sendiri . Hal ini juga sering terjadi pada pemimpin-pemimpin negara , saat mereka terus meneror negaranya atau negara lain dengan kebijakan yang tidak bijaksana , media massa akan meng-ekspos kesalahannya , rakyat mengecamnya , bahkan masyarakat dunia . Biasanya , saat mereka sudah ditekan berbagai pihak itulah , mereka baru mau mengakui kesalahannya dan melunakkan hati mereka . Point kedua , kesalahan yang besar tak bisa ditangani sendiri , bicarakanlah kepada orang yang terpercaya dan berpengalaman , karena di saat seperti inilah orang lain ada untuk kita . Secara keseluruhan , ayat itu betul , hanya saja situasi zaman mempengaruhi hal tegur-menegur dalam hal besar kesalahan . Kita harus memperhatikan kesalahan orang , bila kecil , cukuplah kita menegurnya 4 mata , namun bila masalah sudah besar dan kesalahan sudah sulit diperbaiki , bicarakanlah dan tegurlah si pembuat kesalahan bersama orang lain yang bisa dipercaya .
Dawin XIE/13

Unknown mengatakan...

Saya bisa menjawab dengan 2 sisi:
a.Kurang setuju
b.Setuju

Saya kurang setuju jika kesalahan yang dilakukan orang itu bersifat rahasia, dengan kata lain tidak perlu menjadi perbincangan khalayak ramai. Kesalahan yang tidak disengaja bisa saja merupakan aib yang memalukan orang itu dan lebih baik diselesaikan berdua. Umumnya,setelah melakukan kesalahan,si pendosa akan merasa malu (jika memang masih punya malu). Jika ingin diselesaikan lewat banyak orang, yakinkan bahwa emosi si pendosa itu seimbang sehingga ia tidak melakukan apapun untuk menghilangkan rasa malunya seperti bunuh diri atau menyerang balik. Jika sampai itu terjadi, bukan tidak mungkin kita akan merasa ikut bersalah dan si pendosa justru kembali terjerumus dalam dosa. Saksi-saksi memang bisa membantu, namun pilihlah saksi yang memang bisa dipercaya dan jujur. Jika tidak, akan lebih banyak orang yang terjerumus dalam dosa. Saya setuju-setuju saja jika emosi orang tersebut seimbang sehingga masalah tersebut siap untuk diselesaikan orang banyak. Kita juga harus mengingatkan orang tersebut bahwa penyelesaian semacam ini bukan untuk membuatnya malu melainkan supaya ia tidak mengulangi perbuatan.

Saya sendiri pernah mengatakan kepada adik-adik saya bahwa saya paling tidak suka pada orang yang menasihati orang lain tapi dia sendiri tidak bisa mengikuti ucapannya atau tidak ingin dinasihati. Saya juga katakan kepada mereka supaya mereka tidak seperti itu.

Maka dari itu, saya tidak setuju orang yang menasihati si pendosa adalah orang yang semacam itu. Selain itu, dalam menyelesaikan masalah, kekerasan hanya digunakan jika jalan damai sudah tak bisa ditempuh. Kekerasan yang digunakan harus pada tingkat yang paling minim. Kekerasan bisa berupa fisik atau sosial. Kekerasan fisik saya pikir tidak perlu digunakan. Kekerasan sosial seperti pengucilan atau pengisolasian bisa ditempuh sampai si pendosa sadar, mau mengakui perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya.

Semoga komentar ini bisa berguna.
Terima kasih.

Alexander
XIE/2

Melvin mengatakan...

Saya sangat setuju akan hal ini. Bahkan tidak hanya saudara ataupun orang yang saya kenal saja, bahkan orang yang tidak dikenal pun. Kita semua harus berani memperbaiki kesalahan yang orang lain lakukan.

Tujuan dari hal ini sangat jelas, yaitu untuk memperingatkan dia agar tidak mengulangi masalah yang sama dan agar supaya masalah yang dihadapi tidak menjadi masalah yang serius dan besar.

Agar tujuan di atas dapat terpenuhi, maka kita harus menegurnya saat itu juga. Agar dia benar- benar sadar. Tidak perlu dan jangan memakai kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Karena seperti pepatah kuno, "kekerasan tidak akan menyelesaikan apapun."

Ada kalanya orang yang bersalah tersebut adalah orang yang keras kepala dan cuek kepada orang lain. Sehingga dia beranggapan bahwa dia tidak menimbulkan masalah apapun.

Bila terjadi hal tersebut, maka sangat baik bila kita memanggil teman atau orang lain yang dapat dijadikan saksi dari masalah tersebut.

Kita tidak pernah diajarkan untuk menyelesaikan suatu masalah sendiri. Kita butuh orang lain. Bila 1 orang tidak cukup, panggilah yang lain. Bila 2 tidak cukup,anggil juga yang lain dan seterusnya.

Harapannya, dia dapat menyadari masalahnya dan masalah itu terselesaikan. Tidak ada manusia yang pernah luput dari dosa dan kesalahan. Hendaknya kita saling membantu.

Melvin XI A / 16

Unknown mengatakan...

Apabila hanya membaca perikope Matius hingga pernyataan “.....Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat.”. Saya sangat setuju dengan cara menegur seseorang atau bahkan teman kita sendiri seperti itu karena apabila mereka berbuat salah dan kita menegurnya dengan cara yang baik, maka saya rasa ia seharusnya dapat memahami kesalahan yang telah ia perbuat. Tidak ada salahnya bagi kita untuk bisa menegur mereka yang berbuat salah agar mereka bisa mengerti kesalahannya. Kita dapat membantunya terlepas dari belenggu dosa yang mengikatnya dengan cara yang baik dan lembut hingga orang itu tersadar akan kesalahannya. Tetapi apabila membaca lanjutan perikope itu pada Mat 18:17, “Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.”, saya menjadi sangat tidak setuju dengan cara seperti itu. Menurut saya, orang yang telah berbuat salah dan sudah ditegur berkali-kali tetapi tetap saja tidak menyadari perbuatannya yang salah itu, justru dikucilkan atau direndahkan seperti itu tidak akan membuatnya sadar akan kesalahannya. Orang seperti itu seharusnya justru harus kita terus sadarkan akan baiknya apabila ia mau mengakui kesalahannya dan bertobat. Apabila kita gagal dalam cara-cara menegur yang telah disampaikan di perikope-perikope itu, kitab harus bisa mencari cara lain yang lebih efektif dibandingkan dengan cara itu. Misalnya, kita berusaha mendekatkan dirin dengannya agar bisa mengetahui apa masalahnya hingga bisa berbuat salah seperti itu.
Saya pernah mendapat pengalaman dalam hal tegur-menegur. Ketika itu saya mempunyai seseorang teman yang ketahuan mencuri barang teman saya. Dengan seketika tentu saja ia langsung dimarahi sang pemiliki barang, begitu juga dengan teman-teman lainnya. Dengan cara menegur yang salah ini, teman saya yang suka mencuri belum bisa bertobat dengan sepenuhnya. Ia pernah ketahuan mencuri lagi. Tetapi setelah ia dihadapkan dengan cara yang baik-baik secara lebih personal, akhirnya ia bisa menyadari bahwa perbuatan yang selama ini ia lakukan itu tidak benar dan hanya membuat ia menjadi di cap jelek di mata teman-temannya. Maka dari itu, terbukti bahwa dalam menegur seseorang yang berbuat salah akan lebih efektif ketika kita bisa lebih memahami perasaannya dalam menegur. Kita tidak boleh langsung menegur secara terang-terangan karena ketika itu perasaan seseorang tidak akan terbuka untuk bisa berubah menjadi lebih baik.


Oleh : Yulius Adi Jaya -> XI E/41

Brian XI A/06 mengatakan...

Saya sependapat dengan kutipan kitab suci diatas, bahwa jikalau seseorang berbuat kesalahan ataupun kelalaian hendaknya ia ditegur secara empat mata agar dapat merefleksikan diri sehingga menyadari kesalahannya dan dapat memperbaiki dirinya tanpa merasa bahwa pihak penegur ingin mempermalukan dirinya. Memang, jikalau orang yang ditegur masih tidak mau mendengar, diperlukan satu atau dua orang lain agar menjadi referensi bagi pihak yang ditegur maupun penegur agar teguran yang disampaikan lebih objektif. Namun ada kalanya juga pihak yang ditegur masih tidak mau berubah dan mendengarkan teguran yang disampaikan, maka saya berpendapat untuk mengangkat masalah tersebut ke masyarakat agar masyarakat menanggapi dan menyikapi masalah tersebut. Sebagai contoh ialah orang yang bekerja sebagai PSK maka saat masyarakat sekitar mengetahui hal tersebut, dengan sendirinya masyarakat akan menanggapi permasalahan tersebut, entah dengan mengucilkan atau dengan membawa terdakwa ke pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum.

Brian
XIA / 06

Febryanto mengatakan...

Menurut saya, cara menegur empat mata itu merupakan hal yang tepat jika orang yang kita kenal berbuat salah. Itu namanya kita berusaha memperbaiki kesalahannya, justru kitalah yang berbuat dosa apabila tidak menegurnya sama sekali. Namun teguran kita janganlah keterlaluan. Cukup dengan teguran lembut saja, tidak perlu hingga memaki-maki atau memarahi. Karena biasanya jika orang ditegur oleh orang lain secara sopan ia malu dan sadar atas apa yang diperbuatnya dan menyesalinya.
Namun biasanya ada juga orang-orang yang lebih keras daripada orang-orang pada biasanya. Jika orang biasa ditegur bisa langsung menyesali perbuatan, ada juga orang yang ditegur justru makin melawan. Ini disebabkana sikap keegoisan diri. Biasanya untuk melawan ini digunakan jumlah sebagai kekuatan. Maka kita bisa membawa saksi-saksi atau orang-orang yang maw menasehati si pelaku.
Apa yang kita nasehati mestilah bagus dan bermutu serta apa yang kita pasti lakukan. Bagaimana bisa kita mengubah orang jika kita sendiri melakukan kesalahan yang sama.
Jikalau jumlah juga masih tidak mempan, Kuasa hukum selanjutnya adalah hukum sendiri atau sanksi. Dengan sanksi atas hukum yang dilanggar, biasanya orang sadar setelah terkena hukuman. (contoh: orang yang membunuh pastilah ditindak melalui proses hukum, bukan sekedar ditegur)
Sekian...

Febryanto XIE 19

Fransiskus Raymond mengatakan...

Tegur menegur merupakan suatu nilai yang sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan konkret kita. Banyak faktor yang acap kali membuat kita tidak berani menegur seseorang yang pada nyatanya melakukan hal yang tidak benar karena rasa setia kawan (persahabatan), takut dianggap sok jago, mencari muka, dan lain sebagainya.

Metode yang digunakan dalam proses perbaikan sesama ini pun bermacam-macam, bisa secara personal (1 on 1), bantuan teman jumlah kecil (2-3 orang memberikan argumentasi layaknya saksi), bahkan di dalam suatu forum (bdk. Mat 18:15-17). Saya mengatakan bahwa beberapa cara yang dapat digunakan itu memiliki nilai kebenaran mutlak. Kemutlakan ini terjadi karena ada suatu hal yang sifatnya relatif yakni perbedaan pribadi masing-masing individu dan bagaimana pendidikan mental yang selama ini diterimanya di lingkup sosial lain seperti keluarga dan masyarakat.

Merujuk jawaban saya di atas, metode-metode yang digunakan dalam proses tegur menegur itu benar adanya sebab berbagai tipe orang memiliki respon yang berbeda terhadap aksi teman-temannya menanggapi kesalahan yang dibuatnya (faktor kepribadian individu berbeda-beda). Ada yang memiliki daya tahan yang kuat (keras kepala) sehingga tidak bisa jika hanya diberikan suatu treatment yang levelnya rendah harus menggunakan tenaga yang lebih banyak sehingga efek perbaikan di dalam individu tersebut dapat lebih terpatri di dalam hati. Kontras dengan tipe di atas, ada tipe yang memiliki sifat yang mudah diubah sebab ia mudah memahami atau terbiasa untuk dapat menerima segala kritik dan pendapat orang lain. Kedua tipe di atas akan mendapat perlakuan yang berbeda dalam proses ini. Namun, bukan hanya kedua tipe itu, ada juga orang yang memiliki kombinasi dari beberapa sifat yang bahkan bisa saling berlawanan, sebab ia memiliki penglihatan dan perasaan yang berbeda dalam menanggapi respon orang lain.

Untuk lebih memperjelas uraian di atas, saya memberikan suatu contoh yang benar-benar nyata dan konkret yakni dari pribadi saya sendiri. Saya bukanlah orang yang mudah menerima pernyataan orang lain, entah karena saya merasa bahwa saya punya argumen yang logis untuk diterima secara umum, perasaan bahwa alasan yang dikemukakan orang lain tidak dapat mengubah pendirian saya, atau mungkin karena kondisi di mana saya tidak mampu berpikir secara jernih untuk dapat menerima pendapat orang lain. Namun, bukan berarti saya mutlak tidak mau menerima ungkapan orang tersebut. Misalnya, ketika akhir pekan saya sedang asyik bermain playstation, tiba-tiba saya ditegur oleh ibu saya bahwa saya harus belajar untuk keesokan harinya dengan nada yang cukup keras. Saat ditegur, ada banyak hal yang terbesit di dalam pikiran saya, mulai dari kondisi di mana saya sudah belajar di hari sebelumnya dan di pagi hari itu, sampai kekesalan bahwa ibu saya benar-benar mengganggu saya. Terlontarlah ucapan yang cukup menyakitkan dengan nada yang cukup keras, “Udah ah, aku mau main dulu. Capek belajar terus!” Yang jadi masalah bukanlah kata-kata, namun intonasi tinggi yang menyertainya. Tentu saja ibu saya menjadi marah saat itu sampai-sampai saya tidak pernah ditegur lagi selama hampir 1/12 hari itu sejak insiden tersebut. Namun, saat bermain saya mulai berpikir bahwa apa yang saya lakukan itu salah, coba saya dapat menerangkannya baik-baik, tentu ibu saya bisa memahaminya. Kemudian, adik saya mendatangi saya (melihat kondisi yang terjadi) dan mengatakan bahwa saya sebaiknya minta maaf. Saya pun semakin yakin untuk mengakui apa yang saya telah salah lakukan dan menjelaskan alasan mengapa saya melakukan hal tersebut. Poin penting di sini adalah minta maaf sehingga ibu saya tidak marah lagi kepada saya.

Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa ada 2 orang (keseluruhan) yang menegur saya, ibu dan adik saya. Ibu saya menegur cukup keras dan adik saya menekankan hal yang disampaikan ibu saya namun secara lebih halus. Penekanan ini membuahkan hasil yang positif di mana saya mampu mengubah mindset yang selama ini saya gunakan menjadi lebih terbuka. Begitu juga dengan pola tegur menegur yang dapat dilakukan.

Hal yang patut diperhatikan dalam proses ini adalah bagaimana cara kita menegur. Teguran yang sifatnya menghancurkan sudah pasti membawa hasil negatif pada pribadi yang ditegur. Teguran dapat disampaikan secara tegas ataupun halus namun yang penting adalah kita dapat memposisikan diri sebagai orang yang diberi teguran sehingga kita dapat merasakan pula teguran tersebut dan membuat teguran yang membangun.

Kondisi saat itu sangat mendominasi, baik internal maupun eksternal. Jika ia merupakan orang yang pemalu jangan kita tegur secara kasar dan dibesar-besarkan dalam suatu komunitas sehingga ia dikucilkan Ia akan merasa tertekan bahkan merasa bahwa dirinya menjadi sangat rendah dan itu tidak baik bagi perkembangan mental ke depannya (internal). Dari sisi eksternal, jika saat itu kondisi sedang memanas, jangan kita buat semakin panas dengan cara memarahi sekeras-kerasnya. Yang akan terjadi adalah perlawanan secara terus menerus dan tidak akan berakhir (di dalam hati pribadi yang ditegur). Kita dapat menegur secara halus dan memberi pemahaman mengenai hal-hal yang benar dalam perkara tersebut. Jika 1 orang tidak bisa melakukannya maka kita dapat menggunakan 2-3 orang bahkan suatu komunitas. Komunitas di sini bukan berarti komunitas yang menjatuhkan, tetapi komunitas yang membangun. Jika suatu komunitas dapat membangun temannya yang terpuruk dalam kesalahan bangkit menerobos kesalahannya itu maka baru dapat dikatakan proses tegur menegur berhasil. Perumusan teguran inilah yang penting sehingga hal yang kita harapkan dari orang lain dapat dipertanggungjawabkan. Namun, jika malahan menekan pribadi yang bersangkutan sehingga ia bingung mau berbuat apa selanjutnya, sebaiknya dihentikan dan diubah caranya, sehingga membawa dampak positif.

Selain itu, jangan lupa melihat kondisi yang sedang dialami oleh pelaku sebab dari kondisi itu kita dapat memahami bagaimana kita harus menyampaikan teguran kita. Perkara 1,2 atau kelompok orang yang memberi teguran bukanlah hal yang pokok di sini sebab kuantitas tersebut hanya ingin melambangkan bagaimana perhatian yang diberikan kepada orang yang ditegur tersebut. Dikatakan secara jelas dalam kitab suci bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Tuhan maka Tuhan ada di tengah-tengah kita (bdk. Mat 18:20) Ini ingin menjelaskan bahwa jika kita menegur dalam cara yang benar (melihat situasi dan kondisi) maka Tuhan akan memberikan pemahaman lebih lanjut kepada si pelaku bagaimana seharusnya ia bertindak melalui perantaraan kita.

Fransiskus Raymond
XIE/ 20

panda mengatakan...

Menurut saya secara pribadi, menegur orang lain atau saudara atas kesalahan/kelalaian yang telah dilakukannya memang suatu perbuatan yang sangat terpuji, namun ada pada kalanya perbuatan itu membuat pihak yang ditegur menjadi merasa "tidak enak" terutama jika kesalahan yang telah diperbuatnya terjadi secara tidak sengaja. Oleh karena itu peneguran secara 4 mata sangat saya dukung, namun jika terpaksa biarlah ada pihak ketiga yang menjadi mediator maupun sebagai seorang saksi.

Namun, mengenai peneguran dilakukan didepan umum, saya harus menentangnya, dalam beberapa kasus tertentu. Misalkan jika kesalahan seseorang hanyalah sebuah kesalahan kecil, mengumumkannya kepada khalayak dapat mengakibatkan rasa bersalah dan malu yang tidak berkesudahan, bahkan dapat berujung pada permusuhan yang tidak disengaja dan berlarut-larut
Namun ada juga kalanya peneguran didepan umum dapat dimaklumi, misalnya kiritik dan saran melalui media massa terhadap salah satu tokoh berpengaruh yang dianggap lalai dalam bertindak. Justru peneguran dapam situasi-kondisi ini sangat dibutuhkan seseorang, khususnya yang terbuka terhadap kritik orang lain dan mau memperbaiki kesalahannya.

belph mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat yang disampaikan dalam perikop tersebut. Tetapi, saya merasa kurang setuju dengan bagian dimana kita harus memberitahu jemaat ketika orang yang melakukan kesalahan tersebut tidak mau mendengarkan pendapat kita. Menurut saya, jika orang tersebut sudah tidak mau mendengarkan pendapat kita, kita sebaiknya mundur dan membiarkannya hingga dia menyadari kesalahannya sendiri, bukannya malah mengumumkan kesalahan orang tersebut dimuka umum. Saya merasa demikian karena menurut saya, kita hanya akan membuat orang tersebut menderita bila kita mempublikasikan kesalahannya.Hal itu tidak akan menyadarkannya, hanya akan membuat orang tersebut dendam kepada kita dan tidak menyelesaikan masalah. Selain itu, saya merasa kurang etis bagi kita sebagai manusia beradab untuk mengumbar kesalahan orang lain; rasanya seperti menyerang privasi orang tersebut, apapun alasannya.

Gregorius Roan
XI-A/9

Anonim mengatakan...

Seperi yang orang-orang bilang, ada 2 sisi di setiap koin, berarti bahwa ada alasan bagi saya untuk menyetujui pendapat ini, tetapi ada juga alasan bagi saya untuk tidak menyetujui pendapat ini.

Seperti yang telah dikemukakan oleh pendapat di atas, bahwa apabila seorang tidak mau mendengarkan nasihat orang lain, maka bawalah orang lain untuk sebagai saksi, dan apabila tidak berhasil, ditujukan kepada komunitas. Cara ini terbukti efektif apabila untuk menegur orang-orang yang "bermasalah". Cenderung orang tidak akan merubah sikapnya apabila dengan perkataan satu orang saja, apalagi bila orang tersebut tidak kenal baik dengannya, ia akan berpikir bahwa orang yang menegurnya itu munafik. Disitulah pihak ke-3 muncul untuk sebagai saksi dan membantu si penegur menguatkan maksudnya. Tetapi apabila dukungan pihak ke-3 tidak berhasil juga, maka sudah seharusnya bahwa orang tersebut dibawa kepada komunitas yang lebih berwenang. Komunitas yang disebutkan di sini bisa berbagai macam, salah satunya yang konkrit pada kehidupan sehari-hari dengan proses di atas adalah pengadilan atau yang lebih ringan, kumpulan teman. Apabila diadili, orang akan cenderung mengalami tekanan sosial dari sekitarnya dan hal ini akan membuat si pelaku memperbaiki sikapnya. Teguran yang diberikan ini juga tidak seharusnya hanya menjelek-jelekkan dirinya akibat kesalahan yang diperbuatnya, tetapi juga yang bersifat membangun agar si pelaku bersifat lebih baik.

Tetapi metode ini tidak selalu berhasil bagi semua orang yang ditegur, beberapa orang cenderung merasa tertekan karena sampai pihak komunitas ikut mengadilinya. Ini akan memberikan gambaran bagi dirinya bahwa dia seperti dibenci oleh semua orang di sekitarnya, sehingga ia merasa dikucilkan dari masyarakat meskipun teguran yang diberikan juga bersifat membangun, ia akan berpikir bahwa teguran adalah teguran. Sikap seperti ini cenderung ditunjukkan oleh orang-orang yang pada umumnya bersifat paranoid atau juga melankolis. Karena gejala ini, ia mungkin akan berlaku lebih buruk dari sebelumnya sebagai aksi pemberontakan, dan ikut campur komunitas dalam situasi ini hanya akan memperburuk keadaan. Dan ini merupakan alasan saya untuk tidak menyetujui pendapat di atas.

Dan juga keefektifitas cara ini juga berpengaruh dari buruk atau tidaknya perkara yang dilakukan orang yang ditegur. Cara ini lebih efektif bagi orang-orang yang melakukan perkara lebih buruk dari orang lainnya, dan cara ini lebih kurang efektif bagi orang-orang yang hanya melakukan perkara tingkat minor karena mereka cenderung tidak suka perkara mereka yang sifatnya ringan sampai melibatkan komunitas tertentu. Tetapi meskipun begitu orang-orang yang melakukan perkara minor ini cenderung akan menurut pada teguran pertama.

By :
Gabriel Alexander
XI-E/21

Unknown mengatakan...

Proses tegur-menegur merupakan salah satu cara yang kita dapat lakukan kepada sesama kita demi kebaikan diri dan sesama kita sendiri. Proses tegur-menegur tentu hanya terjadi apabila seseorang ataupun diri kita melakukan sebuah kesalahan atau lebih. Kita menegur ataupun ditegur tentunya ada maksudnya, yaitu agar kita menyadari dan mengetahui serta memperbaiki kesalahan yang telah kita buat.
Saya sangat setuju apabila kita ditegur apabila kita melakukan kesalahan karena menegur adalah salah satu cara yang lembut dan efektif untuk menyadarkan seseorang, apabila kita disadarkan dengan menggunakan kekerasan ,itu sama saja dengan binatang karena seperti yang kita ketahui, para pawang binatang buas selalu menggunakan pecut untuk mengatur binatang didikannya. Oleh karena kita telah menyadari bahwa diri kita ini tidak sama dengan binatang khususnya dalam hal akal budi, kita juga selayaknya mengerti dan harus segera menyadari apabila kita ditegur oleh seseorang. Berbagai macam cara menegur telah di katakan dalam perikope di atas.
Mengenai perikope di atas saya sangat setuju, karena kesabaran seseorang itu pasti selalu ada batasnya, sehingga apabila seseorang yang kita tegur itu tetap tidak mau mendengarkan ataupun biasa kita sebut “ngeyel” perlu diperlakukan dengan tindakan yang lebih berat lagi tetapi tidak perlu sampai menggunakan kekerasan tetapi cukup dengan tekanan mental.
Apabila cara yang kedua dan ketiga yaitu mengajak orang lain untuk terlibat dalam masalah tersebut dilakukan, hal itu bukan hanya semata-mata untuk membuat masalah menjadi besar ataupun membuat malu orang yang dipermasalahkan tersebut,tetapi hal tersebut juga untuk menguatkan pendapat kita terhadap orang tersebut sehingga orang yang kita tegur menjadi mengerti dan percaya. Dengan begitu diharapkan orang yang melakukan kesalahan tersebut tidak “ngeyel” lagi tetapi mau merubah kesalahannya.

Oleh: Benny H / XIE / 9

Unknown mengatakan...

Sebenarnya di dalam kehidupan ini diperlukan suatu cara dalam menjalani dan melaksanakan hidup dengan lebih baik , tetapi terkadang di dalam diri manusia terdapat berbagai macam kelemahan yang nantinya akan menghasikan kesalahan di dalam hidup ini. Namun kita sebagai manusia ,dapat memaklumi adanya tingkah laku yang menyimpang yang di hasilkan oleh manusia, tetapi untuk mengubah hal itu diperlukan suatu hal yang dapat mengubah cara hidup orang tersebut . Hal ini adalah sikap tegur –menegur.Cara inilah yang diperlukan agar kita sebagai manusia yang memiliki nilai dan etika dapat menghormati satu dengan yang lainnya.
Menurut saya , saya kurang setuju dengan hal tersebut hal ini dapat kita renungkan terlebih dahulu dengan si pelaku lalu kita dapat menegurnya secara perlahan namun hal ini tetaplah suatu hal yang bersifat rahasia dan tidak perlu di ketahui oleh orang lain.Teguran yang dapat diberikan baik berupa nasihat maupun refleksi yang diberikan kepada si pelaku …si pelaku dapat menuliskan pengalaman yang telah dilakukan lalu setelah itu dapat di sharing secara perorangan maupun secara empat mata.Tindakan ini lambat laun akan diresapi dan dipikirkan oleh si pelaku . Nantinya dia dapat berubah menjadi seorang yang lebih baik lagi dalam menjalani hidup ini dan tidak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya.
Selain itu dalam tegur-menegur sebenarnya kita telah saling menghormati satu dengan yang lain dengan kata lain kita menasehati dia dengan maksud bahwa kita ingin dia menjadi orang yang lebih baik , kita setuju dengan maksud yang dilakukan tapi dapat diperbuat dengan cara yang benar dan baik.Tindakan ini dapat kita perhatikan setiap hari di komunitas kita , tujuannya agar dapat terus melanjutkan hidup dengan cara bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kita.
Terima Kasih

Hardylen XI-E/23

Richard mengatakan...

Pada dasarnya kita harus menyadari betul, apakah makna dari tegur menegur. Tegur menegur adalah suatu tindakan yang dilakukkan oleh seseorang atau lebih individu pada individu lain dalam rangka memberi saran dan masukkan akan perbaikan terhadap suatu tindakan yang dinilai salah maupun dirasa kurang tepat melalui pandangan secara umum.

Berdasarkan pengertian di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa kegiatan tegur menergur tersebut bertujuan untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

Atas dasar hal itulah saya SETUJU terhadap tata cara tegur menegur yang adalah tertulis di kitab suci(Mat 18, 15-17b).

Yang pertama adalah baiknya jika kita menegur ataupun ditegur sesorang secara empat mata.
Hal ini dilakukkan sebagai pilihan pertama adalah karena dari sudut pandang saya pribadi, ini adalah cara tegur menegur yang mana saya tetap ingin menegur orang itu karena kelalaian maupun akan tindakannya yang dirasa kurang tepat, namun dengan tetap memikirkan dan menghormati perasaan orang tersebut.

Alternatif kedua berdasarkan kutiban kitab suci di atas adalah 'Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan'.
Saya juga setuju dengan cara yang satu ini, karena berdasarkan saya sebagai sudut pandang orang yang menerima teguran, saya merasa lebih dimanuiawikan. Dengan kata lain saya merasa lebih dihargai dengan adanya dua maupun tiga orang lagi yang mana haruslah kita pandang mereka sebagai teman sharing dan juga bertukar pendapat.

Saya juga cukup setuju dengan cara yang terakhir disebutkan pada kutiban kitab suci , yaitu diumumkan di depan massa ataupun jemaat.
Mungkin ini nampak sehagi cara yang kurang manusiawi ataupun nampak sebagai cara untuk merendahkan seseorang. Namun haruslah kita sadari bersama kembali, adalah tentang tujuan dari tegur menegur itu sendiri, yakni membuat kehidupan bersama menjadi lebih baik. Apabila ia tidak bisa diajak bicara empat mata maupun sharing dan berada di dalam forum, berarti ia sangat yakin akan pendiriannya yang dipandang baik oleh individu tersebut. Di sinilah diperlukan adanya jemaat / khalayak ramai untuk menyadarkan individu tersebut apabila perbuatannya tersebut telah melewati batas kewajaran. Bukanlah untuk menghina namun untuk menyadarkan mereka yang bersalah.

Tentu saja selain berani menegur , kita juga harus siap menerima teguran. Karena itulah , kita sangat perlu melakukkan refleksi setiap harinya agar dapat mawas diri akan kekurangan dan kesalahanku sendiri.

Sekian opini dari saya, semoga opini ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
AMDG

Antonius Richard / XIE / 5

dave1992 mengatakan...

Saya merasa kalau tegur menegur itu adalah sesuatu yang sangat penting, tetapi tentu saja apapun yang penting ada batasnya. Menurut saya, tegur menegur yang keras hanya perlu dilakukan apabila sebuah dosa yang dilakukan sudah cukup berat, sedangkan jika hanya dosa yang bisa dikatakan dapat diampuni, dinasihati saja atau mungkin tidak usah ditegur karena hanya dapat menyulut api pertemburan belaka. Apabila dosa yang dilakukan seseorang tidak terlalu fatal akibatnya, lebih baik kita diamkan saja dan biarkan dia sendiri refleksikan perbuatannya. Tidak perlu dibicarakan apalagi disebut didepannya. Sebab semua itu tidak disadari oleh pendosa tersebut, tentunya teguran akan sia sia dan tidak berguna. Menurut saya teguran perlu dilakukan ketika sebuah dosa sudah cukup fatal, dan tentunya teguran itu harus dibicarakan secara baik-baik dan juga dengan bukti yang kuat. Sebab semua juga dapat melakukan dosa, bahkan walaupun tidak dibenarkan, dosa sudah menjadi kebiasaan orang.

Semakin kita berbicara, orang lain semakin tidak mau dengar, terkadang hal ini memang terjadi, walaupun mungkin ini berat. Contohnya yang paling simpel mungkin tidak usah terlalu jauh, tentang spamming di blog atau forum. Melakukan spam dapat dikatakan sebuah 'dosa' di dunia maya, dan ada beberapa orang memang hobi melakukan hal ini. Jadi kalau kita bicarakan seperti apapun, walaupun kita bertemu langsung empat mata dengan orang yang melakukan hal tersebut, semuanya itu akan sia sia, kalau kesadaran dalam dirinya sendiri belum muncul.

Jadi dari ayat diatas, tentu saja tidak ada yang salah, tetapi menurut saya bukan jumlah orang yang menjadi penentu dalam segalanya, terkadang malah yang menentukan adalah bagaimana kita menyampaikan teguran kita itu. Sebab apabila niat kita baik, dan banyak orang yang siap berbicara dengannya, tetapi cara menegurnya salah, misalnya dengan emosi atau semacamnya, tentu saja tidak ada masalah yang dapat diselesaikan, melainkan masalah dapat bertambah keruh atau malah nantinya kita bermusuhan dengan orang yang kita ingin tegur tersebut, padahal niat awalnya kita hanya ingin agar teman kita tersebut kembali ke jalan yang benar dan tidak terus-menerus berbuat dosa yang sama.

David Frans Daritan XIE 11

eduardo r mengatakan...

Menegur seseorang yang salah bukanlah sebuah perkara mudah. Untuk menegur seseorang memerlukan keberanian tersendiri dimana kita harus memiliki kepribadian yang mampu memandang sebuah masalah secara objektif, sehingga tidak asal menegur. Dalam hal ini saya mengajak anda semua untuk melihat dari sisi lain, bukan dari sisi kita sebagai penegur tetapi kita sebagai orang yang ditegur. Apakah yang kita rasakan jika kita ditegur? Tentu sebagian dari kita akan merasa malu dan memperbaiki diri, dan bagaimana dengan sebagian orang yang lain? Jujur, kebanyakan yang terwujud di masyarakat adalah ketika ia ditegur maka ia akan marah terhadap sang penegur. Marah ini bisa secara langsung ataupun tak langsung. Bisa kita secara langsung marah terhadap sang penegur dan bersikeras bahwa tindakan kita benar dan marah secara tidak langsung, yaitu membicarakn si penegur dari belakang. Pada kenyataannya hal ini seringkali terjadi. Apalagi jika kemudian si penegur mulai mempublikasikan masalah ini kepada semua orang. Jika kita berada dalam posisi yang ditegur, pasti perasaan kita selain malu bukan main, juga akan kesal terhadap si penegur. Hal ini bukanlah membawa permasalahan ke titik terang tetapi justru memperkeruh kedaan. Awalnya kita (penegur) menginginkan yang terbaik bagi dia (pelaku), tetapi karena masalah tegur menegur ini bisa jadi hubungan persaudaraan menjadi renggang.

Maka kembali ke awal jika kita memang ingin menegur, tegurlah saudara kita dengan tegas. Lakukan dua tiga kali jika satu kali tidak cukup. Buatlah agar dia bisa menyadari kesalahannya dengan tidak menghakiminya kepada orang lain. Tetapi, jika hal ini terjadi di dalam masyarakat yang luas, sebagai contoh, seorang koruptor, maka ini diluar dalam konteks tegur menegur yang saya katakan di atas. Jika mengenai hal besar seperti ini, posisi kita sebagai penegur untuk mempublikasikan kesalahannya menurut saya pantas dan sah. Jadi, dalam hal tegur menegur kita juga harus memiliki modal besar lainnya, yaitu berpandangan objektif dalam menghadapi masalah yang ada

Eduardo Rotama XI-B/17

A.D.K mengatakan...

saya satuju karena jika kita sebagai teman atau orang yang ada di dekatnya tidak memberitahu orang tersebut jika ia melakukan hal yang tidak semestinya atau salah akan merusak dirinya tetapi kita menegurnya dengan lembut dan perlahan terlebih dahulu jika masih tidak menyadarinya maka harus di tindak lanjuti dengan teguran yang cukup keras padanya agar nantinya masa depannya orang akan menghargai dirinya.

Waktu itu ketika sd ada teman saya yang bertabiat buruk dan hanya mengandalkan uang lalu saya mencoba merubahnya debgan berbicara dan lebih dekat padanya tetapi ia tidak berubah hingga akhirnya pada waktu smp dia menjadi orang yang hanya mengandalkan uang dan kekuatan layaknya preman yang akhirnya membuat dia di tegur oleh saya dan teman-teman ekskul lainnya secara keras tanpa pandang bulu yang membuat saya merasa bersalah tetapi ini demi kebaikkannya setelah itu ia sedikit berubah tetapi tetap menjadi pembuat onar yang tidak belajar sama sekali ia pada akhirnya mencoba bertobat karena setelah kami tegur terus dan membuatnya mempunyai pacar dengan harapan merubah dirinya. tetapi semua sudah terlambat ketika di smp telah diperingatkan oleh teman-teman,saya serta guru bahwa dia harus berubah atau ia tidak akan naik kelas nantinya yang akhirnya pada sma ia tidak naik ke kelas dua.

maka itulah tegur menegur sangat penting di kehidupan kita karena dapat membantu orang lain merubah diri seseorang yang telah berbuat salah atau buruk agar ia tidak menyesal di kemudian hari.

sekian....

Davine XIE/12

Anonim mengatakan...

seorang berbuat dosa.. pasti karena ia telah salah memilih keputusan antara yang baik dan yang buruk.. pertama adalah menegor orang itu.. menegor memang lebih baik secara 4 mata.. rasanya tidak baik langsung menegor orang itu di hadapan banyak orang.. jika kita menegor nya dihadapan banyak orang, maka kemungkinan terjadi / timbul salah paham antara 2 orang tersebut menjadi lebih besar.. jika antara 4 mata dia (yang bersalah) masih tidak mengerti, walaupun sudah ditegor dan mengemukakan kesalahan kesalahan/ dosa nya secara benar, maka ada baiknya meminta bantuan orang lain.. saya kira meminta bantuan orang lain adalah cara yang efektif untuk menyadarkan orang tersebut (tetapi bukan 'cara yang paling efektif')
dan setelah menegor orang yang bersalah itu, hendaknya kita jangan melakukan kesalahan/dosa yang sama seperti yang telah ia lakukan.. jika kita melakukan, kita berarti sama saja dengan orang yang kita tegor tadi.. ada baiknya kita mendoakan dia, supaya ia sadar sendiri..

Adrian Tanoto
XIa/2

Unknown mengatakan...

Menurut pendapat saya, memang terkadang menegur seseorang secara empat mata/dengan membawa beberapa saksi/dengan melapokan tindakannya itu ke masyarakat mempunyai sisi positif, tetapi di lain sisi juga bisa menimbulkan sisi negatif.Oleh karena itu pendapat saya ini tidak bisa dibilang setuju atau tidak setuju terhadap pendapat Pater Sigit mengenai artikel tegur-menegur.

Salah satu sisi positifnya adalah bila kita menegur seseorang secara empat mata, kita bisa mengetahui alasan orang tersebut secara langsung kenapa ia melakukan tindakan yang salah.Apalagi jika orang yang kita tegur itu adalah orang yang kita kenal dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.Mungkin saja ada alasan tertentu kenapa ia melakukan kesalahan tersebut seperti misalnya saja ada seorang anak kecil yang kita kenal mencuri makanan dari supermaket.Kita pun langsung menegurnya karena kita tahu bahwa tindakannya itu salah.Mungkin saja ada sisi lain dalam dirinya yang belum kita ketahui atau ada faktor-faktor tertentu dalam dirinya yang memaksanya untuk melakukan tindakan pencurian tersebut.Sebagai orang yang menegurnya, kita harus bisa mendapatkan kepercayaan dari anak kecil tersebut supaya anak kecil tersebut mau menceritakan atau berbagi masalah hidupnya ("sharing") dengan kita sehingga kita bisa menegurnya secara baik-baik dan membantunya semaksimal mungkin jika ia memang mempunyai masalah dalam hidupnya.Selain itu, “sharing” juga bisa kita lakukan dengan membawa beberapa teman kita sebagai saksi atau dengan orang-orang di dalam masyarakat yang sudah kita kenal.”Sharing” ini bisa menjadi sangat bermanfaat bagi si “terdakwa” karena dengan begitu kita bisa mengemukakan pendapat kita masing-masing tentang apa yang harus dilakukan untuk menyadarkan si “terdakwa” dan mengembalikannya ke jalan yang benar.Hal ini bukan berarti kita menegurnya secara ramai-ramai, tetapi dengan mengemukakan pendapat dan nasihat kita masing-masing kita berharap bahwa si “terdakwa” benar-benar menyesali tindakannya dan tahu bahwa tindakan yang dilakukannya itu salah.

Dalam diri setiap orang terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi dirinya untuk melakukan suatu tindak kejahatan yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal dalam diri seseorang bisa berupa sifatnya,kepribadiannya,psikologis,juga mentalnya.Bisa saja memang sifat dan kepribadiannya yang memang sudah buruk sejak masa kecilnya sehingga ia sering melakukan tindak kejahatan di umurnya yang sekarang.Orang yang mengalami kelainan jiwa atau mentalnya lemah juga gampang dikendalikan oleh orang lain untuk melakukan suatu tindak kejahatan.Sedangkan, faktor eksternalnya bisa berupa lingkungan hidupnya yang keras, latar belakang ekonomi dan keluarganya, atau hanya ingin sekedar mencari sensasi dan perhatian dari sesamanya.

Berdasarkan pengalaman saya,dulu waktu saya SMP, saya sempat mempunyai seorang teman yang suka mencuri barang-barang milik teman sekelasnya tetapi tidak pernah ketahuan oleh teman-teman sekelasnya.Ia sudah seperti pencuri professional saja dan selalu berhasil mencuri barang-barang temannya hampir setiap jam pelajaran olahraga atau waktu pergi ke laboratorium.Pada suatu hari,waktu jam olahraga dimulai, kebetulan saya sedang pergi ke toilet, dan untuk pergi ke toilet saya harus melewati ruang kelas saya.Ketika saya melewati kelas saya,saya terkejut melihat seorang sahabat saya i mencuri uang dari dompet serta beberapa kartu mainan yang dibawa teman-teman sekelas saya.Saya langsung menegurnya pelan-pelan dan iapun juga terkejut melihat saya datang menghampirinya.Saya bertanya pelan-pelan apa alasan selama ini ia melakukan tindakan pencurian itu.Sambil menangis, ia menceritakan semua masalahnya padaku.Pada awalnya, saya hanya mengira ia seorang “kleptomania”.Saya sama sekali tidak menyangka bahwa tindakan pencuriannya itu dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi keluarganya.Saya pun ikut sedih dan menegurnya secara baik-baik.Saya mengatakan bahwa saya pasti akan membantu dia bersama teman-teman sekelas saya asalkan ia mau mengembalikan semua barang-barang yang dicurinya selama ini.Karena rasa saling percaya antara saya dengan dia yang sudah menjadi sahabat saya selama ini, maka ia mau melakukan nasehat saya itu.Jadi, saya tidak perlu memanggil 2 atau 3 teman sekelas saya lainnya untuk menegurnya atau melaporkan tindak pencurian ini ke pihak sekolah maupun masyarakat.Hal ini membuktikan sisi positif dari menegur seseorang secara empat mata seperti yang saya katakan di atas tadi.Dengan menegur seseorang secara empat mata, kita bisa lebih mudah menyadarkan orang tersebut dari perbuatannya yang salah dan mengembalikannya ke jalan yang benar jika kita mengetahui masalah apa yang menjadi motivasinya untuk melakukan tindakan salah tersebut.

Dari pengalaman saya di atas, alasan saya melakukan hal tersebut karena saya selalu berpegang pada prinsip”Membiarkan teman terus hidup di dalam dosa
bukanlah sikap sahabat yang baik”.Hal ini sesuai dengan ayat-ayat di alkitab yang mengatakan:
Matius 18:15-18
18:15 "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.
18:16 Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.
18:17 Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.
18:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.


Sedangkan sisi negatifnya bila kita menegur si “terdakwa” secara empat mata maupun menegur dengan membawa beberapa teman kita sebagai saksi adalah si “terdakwa” bukannya sadar akan perbuatannya, tetapi malah menumpuk rasa dendam dan benci kepada kita maupun teman-teman kita yang telah menegurnya dan memergoki perbuatannya tersebut.Apalagi, jika kita menegur si “terdakwa” secara langsung dengan nada suara yang tegas dan kasar.Si “terdakwa” pasti tidak akan mau mendengarkan teguran kita dan langsung membenci bahkan menyerang kita secara langsung jika tindak kejahatan yang kita lihat sudah sangat parah seperti tindak pembunuhan.

Kita semua tahu sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yaitu manusia, kita tidaklah sempurna.Setiap manusia di dunia ini pasti pernah melakukan suatu kesalahan atau dosa sekecil apapun juga.Oleh karena itu, bila kita menegur seseorang baik secara empat mata maupun secara bersama-sama dengan teman kita,kita harus menegurnya dengan sopan dan menasihatinya baik-baik. Jika orang itu tidak mau kita tegur secara baik-baik, barulah kita boleh melaporkan tindakannya tersebut ke pihak yang berwajib di masyarakat seperti polisi apalagi jika tindakan kejahatannya sudah sangat parah dan di luar rasa kemanusiaan.Jika hal itu, kita lakukan mungkin orang tersebut lama kelamaan akan sadar akan tindakannya tersebut secara bertahap dan kembali ke jalan yang benar seperti misalnya orang yang kita laporkan tersebut adalah narapidana pembunuhan dan setelah beberapa tahun ia mendapatkan sanksinya di penjara, ia mulai menyesali perbuatannya dan sedikit demi sedikit mulai kembali ke jalan yang benar sebagai seorang manusia.
Serringkali kita segan menegur orang lain yang melakukan kesalahan, dengan banyak alasan: “diam adalah emas”, “nanti akan segera dilupakan”, “takut membuat orang tersinggung dan menjadi marah”, “saya sendiri belum sempurna”. Namun, Alkitab justru mengajar kita untuk membudayakan tegur-menegur dalam hidup bergereja.
Bila kita tahu bahwa seseorang bersalah, jangan berdiam diri saja. Kita perlu menegur untuk mengingatkannya. Namun, kita harus mendapatkan data dan fakta tentang pelanggaran tersebut, bukan asal percaya gosip. Tegur ia terlebih dahulu secara pribadi, mungkin memang ia tidak menyadari kesalahannya itu (bdk.Matius 18:15). Kedua, kita harus memimpin orang ke jalan yang benar, artinya tidak mengkritik secara destruktif, tetapi memberi pemecahan yang membangun. Lebih bijaksana lagi bila kita mengawali dengan pertanyaan; sebab mungkin saja kita yang salah mengerti. Ketiga, jangan menyerah kalau ternyata orang itu tidak mau ditegur. Mewujudkan niat baik terhadap orang lain kadang juga perlu perjuangan. Libatkan pihak kedua atau ketiga yang berkompeten untuk bersama-sama menegurnya (bdk.Matius 18:16). Keempat, jika ia memang tak mau juga dinasihati, bawalah masalahnya ke jemaat (bdk.Matius 18: 17). Supaya jemaat sebagai persekutuan orang percaya bisa turut membantunya. Dan kelima, yang juga penting adalah, menegur sambil mawas diri. Jangan sampai kita sendiri jatuh dalam kesalahan yang sama. Ya, kita perlu memiliki kerendahan hati agar dapat menegur sebagai seorang manusia yang solider (bdk Galatia 6:1).
Seperti yang dikatakan di dalam alkitab, Paulus pernah menegur jemaat Korintus dengan surat yang begitu keras (bdk.2 Kor 2:12-17). Bukan karena Paulus membenci mereka tetapi justru karena Paulus sangat mengasihi mereka. Tidak gampang untuk bisa menggabungkan antara teguran dengan kasih. Dalam hidup kita –terutama kepada anak-anak kita- sulit sekali kita bisa menggabungkan kedua hal itu. Karena yang sering kita lihat teguran adalah tanda benci, dan tidak pernah melihat teguran sebagai tanda kasih. Itulah sebab di sini Paulus mencetuskan perasaannya dengan kalimat ini, “Saya cemas,saya mencucurkan air mata, saya marah, saya menegurmu…”
Bukan Paulus ingin menyedihkan hati mereka. Bukan tandanya Paulus membenci mereka. Tetapi Paulus mengasihi mereka dengan kasih yang luar biasa besar. Kita sayang kepada Gereja, itu sebab kita perlu memberikan teguran, sekalipun teguran itu keras. saudara boleh menegur saudara seiman yang lain, bahkan memberi teguran itu kepada saya sebagai hamba Tuhan, bukan karena kita membenci orang tetapi karena kita sayang dan supaya Gereja Tuhan itu bertumbuh.

Saya juga mempunyai pengalaman yang mungkin bisa dijadikan salah satu bukti bagi argumen saya mengenai sisi negatif dari teguran ini.Kejadian ini juga berlangsung waktu saya SMP.Ada seorang teman saya yang berinisial MC.Si MC ini orangnya sangat jahil dan ia suka menjahili seorang anak yang berinisial YD.Hampir setiap hari si MC ini membuat YD menangis dengan menjahilinya dan mengejeknya.Lama kelamaan, mulai timbul rasa belas kasihan di hati saya karena suara hati saya mengatakan bahwa tindakan si MC ini sudah benar-benar parah.Pada suatu hari, saya sempat menegur si MC secara baik-baik dan menanyakan alasannya kenapa si MC selalu menjahili si YD ini karena mungkin saja sebelumnya ada konflik di antara mereka berdua yang belum saya ketahui selama ini.Saya terkejut ternyata alasan si MC selalu menjahili si YD hanyalah karena si YD ini mentalnya lemah dan anaknya tidak suka bergaul.Tentu saja, saya menasihati si MC bahwa tindakannya itu salah, tetapi si MC ini tidak menghiraukan nasihat saya.Walaupun begitu, saya tidak menyerah,hampir setiap hari saya menasihatinya dan terkadang saya membawa beberapa orang teman saya untuk membantu saya menasihati si MC.Tetapi, si MC tetap tidak menggubrisnya sampai suatu hari si MC memukul saya dan menghina saya karena si MC benci kalau setiap hari saya menasihatinya dan ikut campur dalam masalahnya.Oleh karena itu, saya merasa bahwa hal ini patut dilaporkan pada pihak sekolah karena tindakan si MC sudah di luar batas kemampuan saya dan tanggung jawab saya sebagai seorang teman.Setelah pihak sekolah memanggil kedua orangtua si MC dan menegur si MC, barulah si MC menyadari perbuatannya dan tidak menjahili si YD lagi.Tetapi,hal ini tidak selesai begitu saja.Sebagai gantinya, si MC menaruh rasa dendam dan benci kepada saya dan samapai sekarang selalu mengejek saya sebagai “pengadu dan tukang ikut campur urusan orang lain”.

Dalam kasus ini, saya memang merasa bahwa saya perlu ikut campur karena si YD adalah teman sekelas saya. Saya berpikir jika bukan saya ataupun teman saya yang membantunya, siapa lagi yang akan membantu si YD.Terkadang, di dalam kehidupan ini, sebagai manusia kita memang harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu.Seringkali jika kita menegur seseorang, orang tersebut malah akan menaruh rasa dendam dan benci kepada kita karena mencampuri urusannya dan menganggap bahwa tindakannya itu benar.Tetapi, kita harus tetap sabar dan harus mengorbankan suatu hal untuk menghadapi hal itu karena mungkin saja hal itu adalah cobaan dari Tuhan untuk diri kita.



Akhir kata pesan saya adalah janganlah takut dan selalu pantang menyerah untuk menegur seseorang baik secara empat mata maupun dengan cara bersama-sama dengan teman kita jika menurut suara hati kita, kita menganggap bahwa tindakan si “terdakwa” itu salah karena Tuhan akan selalu membimbing dan melindungi kita sebagai para umat yang percaya kepada-Nya dan berpegang di jalan-Nya yang benar.


Kevin Dilian Suganda
XIE/29

YWH mengatakan...

Saya setuju, seseorang yang berbuat salah harus ditegakkan dan dibawa ke jalan yang benar. Saya lebih setuju lagi apabila kebenaran ditegakkan tanpa kekerasan. Dengan menegur seseorang yang berbuat dosa bisa mendapatkan pukulan yang lebih hebat dibandingkan pukulan fisik, apalagi teguran itu dilakukan oleh sekumpulan orang yang mengenalnya. Semakin banyak orang yang menegur semakin besar tekanan yabg dia terima sehingga pada akhirnya ia mengaku bersalah. Tetapi bila hanya kesalahan yang kecil tidak pantaslah seseorang yang berbuat salah itu ditekan habis-habisan. Tidak pantas juga apabila kita hanya menegur hanya agar membuatnya tersiksa apalagi karena kita membencinya. Apabila saya yang berbuat salah dan ada yang menegur, saya akan mendengarkannya dan merefleksikan apa yang sudah kuperbuat. Setelah itu saya akan mengingatnya dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Saya juga tidak perlu untuk bersedih hati apabila ada yang menegurku. Tetapi saya akan sangat malu apabila seluruh kelas, atau lingkungan menegurku, kesalahanku pasti sangat berat.

Yohanes William Harmani XIE/40

Mr. Mix mengatakan...

Saya setuju dengan artikel tersebut, karena belum tentu seseorang bersalah karena disengaja. Seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri, Dia selalu mau mengampuni orang-orang yang bersalah padanya. Seperti pada kasus perempuan berzinah. Dia mau mengampuni perempuan tersebut, padahal telah jelas-jelas perempuan itu berbuat yang melanggar perintah Allah. Tetapi, Yesus mau mengampuni perempuan tersebut dan tidak menghakiminya.

Seringkali kita melihat ada pencuri yang mencoba melakukan aksinya di tempat umum, setelah dia tertangkap basah, dia dihakimi sendiri sampai babak belur. Kita sendiri saja belum tahu mengapa dia mencuri, apa motifnya dibalik perilaku dia itu. Banyak sekali orang-orang yang mencuri, karena sulitnya perekonomian dan sebagainya dan sebagainya.

Saya juga tidak setuju pada artikel tersebut, seperti saat-saat seperti ini dimana marak dengan kasus pencarian uang dengan cara gelap, seperti korupsi. Korupsi sendiri merupakan hal yang paling sering dilakukan oleh para pejabat tinggi. Entah mengapa, para koruptor kebanyakan merupakan para pejabat tinggi yang sudah berkelimpahan uang. Tetapi, masih saja korupsi. Sebenarnya korupsi dipengaruhi oleh nafsu duniawi. Para koruptor tersebut tentu tidak peduli dengan akibat dari korupsi, mereka hanya memikirkan kekayaan mereka di dunia. Para koruptor ini sebaiknya tidak lagi diberikan tenggang rasa atas perbuatan yang dilakukan. Jika diberikan tenggang rasa, maka perbuatannya bisa semakin parah.

Dengan demikian, dalam beberapa perkara masih ada yang bisa diberikan tenggang rasa. Namun, untuk hal-hal kriminal seperti korupsi, sudah tidak bisa diberikan tenggang rasa lagi. Karena hal itu sudah merupakan tindakan curang dalam mencari kekayaan. Banyak orang bekerja mati-matian banting tulang demi mendapatkan uang yang bisa dihitung dengan jari. Seperti saat ini, terjadi krisis ekonomi di mana-mana. Banyak orang kesulitan ekonomi, tetapi para koruptor tersebut mencari uang dengan sangat mudahnya.

Sekian, terima kasih.

-Adrianus Steffan-
-XI E/1-

Leonsius Hendra mengatakan...

Saya setuju dengan pernyataan di atas. Yang saya dapat ambil dari kutipan di atas adalah sebagai teman yang baik, kita harus berani menegur teman kita yang telah berbuat salah. Memang, kita kadang-kadang kita pasti pernah tidak berani menegur teman kita, karena mungkin kita telah merasa dekat dengan dia. Tetapi kita perlu ingat juga bahwa dia adalah teman kita, dan kita harus menjaganya agar dia selalu menuju ke arah yang benar. Apakah kita tega melihat teman kita sendiri menjadi rusak karena dia tidak pernah ditegur dan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu salah. Tidak toh.

Memang kadang-kadang teman kita itu juga bandel karena setelah dinasihati pun dia masih tetap melakukan perbuatan salah tersebut. Tetapi apakah kita harus menyerah begitu saja dan melihat dia dimakan oleh kesalahan yang telah ia perbuat? Apakah kita langsung menjauhinya begitu saja? Tentu tidak kan. Makanya, kalau bisa ajaklah teman-teman yang banyak untuk menasihati dia, tetapi harus secara baik-baik, tidak secara kasar agar dia sadar dan tidak merasa terhina. Kalau bisa, segera laporkan ke orang yang lebih berwajib untuk menasihati seperti guru, orang tua, dsb.

Meskipun kita dapat dibenci oleh teman kita tersebut, tetapi ini kan demi kebaikan dia dan masa depan dia juga. Saya lebih baik dibenci daripada melihat seorang teman melakukan hal yang salah. Do whatever it takes, even though it needs sacrificing

Maka dari itu, kita tidak boleh melupakan teman kita dan harus selalu berani menegur dia jika ia salah. Dan untuk kita yang dinasihati, kita juga tidak boleh marah terhadap teman yang menegur kita. Teman kita itu pasti mempunyai maksud yang baik terhadap kita. Maka dari itu kita justru harus berterima kasih kepada teman yang telah menegur kita, bukannya malah marah dan merasa terganggu.


Leonsius Hendra
XIE / 30

Yohanes David Saputra mengatakan...

Pada dasarnya, saya setuju dengan perikop ini, sebab kita harus menegur dan menyampaikan kesalahan seseorang kepada pihak yang bersangkutan, dengan maksud untuk memperbaiki sikap orang tersebut, serta agar ia tidak mengulangi lagi tindakannya tersebut di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh psikologi manusia, yang cenderung tidak dapat mengakui kesalahannya sendiri, melainkan perlu diberi tahu oleh orang lain. Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan cara yang tepat, yakni hanya berupa teguran, jangan sampai menjurus pada tindakan kekerasan atau menyakiti hati orang lain. Selain itu, saya rasa akan lebih baik bila teguran diberikan hanya antara kedua belah pihak. Menurut saya, menyampaikan teguran di depan orang-orang lain atau bahkan di hadapan jemaat kurang efektif untuk dilakukan, sebab hal ini bisa saja membuat si pelaku menjadi salah kaprah mengenai teguran ini, yakni bukan lagi untuk memperbaiki diri, melainkan melecehkan dirinya. Walaupun demikian, ada pula sebagian peristiwa yang merupakan kebalikan dari pendapat saya tersebut. Tidak jarang ada orang yang lebih bisa mengakui kesalahannya jika disampaikan oleh sejumlah orang.

Sebagai contoh, saya menegur si A atas kesalahannya. Lalu saya mengajak beberapa teman untuk membantu saya menegurnya. Bisa saja, si A akan merasa dipermalukan dan malahan tidak mengindahkan teguran tersebut. Tipe orang seperti ini harus diberi teguran yang lebih personal, misalnya hanya diantara pelaku dan korban.mungkin saja, cara ini akan lebih berhasil bila dibandingkan dengan cara beramai-ramai.
Contoh lain yang cukup kontras, misalnya mengenai si B. Saya telah mencoba menegurnya sendiri, namun tidak membuahkan hasil. Saya pun mengumpulkan beberapa orang, termasuk si B tersebut, untuk ikut mendiskusikan mengenai hal ini. Ada kemunginan, cara ini akan lebih berhasil diterapkan pada si B, karena bukan hanya 1 orang yang berpendapat bahwa caranya itu salah dan menegurnya.

Kesimpulannya, terlepas dari apakah teguran dilakukan hanya “di bawah empat mata” ataupun lewat jemaat, teguran tetaplah suatu hal yang saya rasa sangat baik untuk dilakukan, karena hal tersebut akan turut mengajak pelaku untuk bisa mengintrospeksi diri dan lebih memahami dirinya beserta kesalahan yang telah ia perbuat. Selain itu, tindakan ini juga didasarkan oleh satu tujuan: mengubah seseorang menjadi lebih baik. Akan tetapi, sekali lagi, jangan sampai dilakukan lewat tindak kekerasan, hanya sebatas teguran.

Oleh :
Yohanes David Saputra
XIE / 39

Made mengatakan...

saya sangat setuju dengan apa yang telah dikatakan dalam artikel tersebut. karena apabia kita tidak menegur "saudara" kita itu, justru kitalah yang bersalah sebab kita telah membiarkannya untuk mengulangi kesalahn yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya. Dan apabila "saudara" kita ini tidak mau mendengar perkataan dari kita hendaklah kita meminta bantuan pada orang lain yang mungkin bisa membantu kita untuk menyadarkan "saudara" kita ini untuk kembali ke jalan yang benar. Sebab memang tidak mudah untuk menyadarkan seseorang yang sudah terjerumus ke dalam dosa untuk kembali ke jalan yang benar. Bukan berarti kita tidak dapat menyadarkannya untuk kembali ke jalan yang benar. Namun kemungkinan besar apabila sudah lebih dari 2/3 orang yang menegurnya maka besar kemungkinannya "saudara" kita ini bisa bertobat. Selain itu apabila kita bisa menyadarkannya maka secara tidak langsung kita telah menyelamatkan dirinya dari dosa dan kita pun akan mendapat pahala yang besar.

Nama : Made/XIA/11

Made mengatakan...

saya sangat setuju dengan apa yang telah dikatakan dalam artikel tersebut. karena apabia kita tidak menegur "saudara" kita itu, justru kitalah yang bersalah sebab kita telah membiarkannya untuk mengulangi kesalahn yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya. Dan apabila "saudara" kita ini tidak mau mendengar perkataan dari kita hendaklah kita meminta bantuan pada orang lain yang mungkin bisa membantu kita untuk menyadarkan "saudara" kita ini untuk kembali ke jalan yang benar. Sebab memang tidak mudah untuk menyadarkan seseorang yang sudah terjerumus ke dalam dosa untuk kembali ke jalan yang benar. Bukan berarti kita tidak dapat menyadarkannya untuk kembali ke jalan yang benar. Namun kemungkinan besar apabila sudah lebih dari 2/3 orang yang menegurnya maka besar kemungkinannya "saudara" kita ini bisa bertobat. Selain itu apabila kita bisa menyadarkannya maka secara tidak langsung kita telah menyelamatkan dirinya dari dosa dan kita pun akan mendapat pahala yang besar.

Nama : Made/XIA/11

Made mengatakan...

saya sangat setuju dengan apa yang telah dikatakan dalam artikel tersebut. karena apabia kita tidak menegur "saudara" kita itu, justru kitalah yang bersalah sebab kita telah membiarkannya untuk mengulangi kesalahn yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya. Dan apabila "saudara" kita ini tidak mau mendengar perkataan dari kita hendaklah kita meminta bantuan pada orang lain yang mungkin bisa membantu kita untuk menyadarkan "saudara" kita ini untuk kembali ke jalan yang benar. Sebab memang tidak mudah untuk menyadarkan seseorang yang sudah terjerumus ke dalam dosa untuk kembali ke jalan yang benar. Bukan berarti kita tidak dapat menyadarkannya untuk kembali ke jalan yang benar. Namun kemungkinan besar apabila sudah lebih dari 2/3 orang yang menegurnya maka besar kemungkinannya "saudara" kita ini bisa bertobat. Selain itu apabila kita bisa menyadarkannya maka secara tidak langsung kita telah menyelamatkan dirinya dari dosa dan kita pun akan mendapat pahala yang besar.

Nama : Made/XIA/11

Steven mengatakan...

saya setuju dengan ini. hal ini karena jika orang itu tidak lagi berbuat hal - hal yang seharusnya tidak ia lakukan. jika dia tidak bisa di beri nasehat oleh 2 atau 3 orang memang sebaiknya orang itu di publikasikan masalahnya.hal ini berguna untuk membuat ia sadar apakah reaksi orang - orang akan tindakannya.selain itu ia juga dapat jera dan malu atas reaksi orang - orang kepadanya.sehingga ia tidak lagi berbuat salah seperti sebelumnya.

Steven C
XIE/36

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan ayat ini, karena memang sudah seharusnya jika seorang teman melakukan sebuah kesalahan,yang terkadang ia tidak sadari, kita harus menyadarkannya dengan berbicara langsung teman kita ini, terutama jika kita yang pertama kali mengetahui kesalahan yang diperbuat teman kita ini. Dengan begitu, permasalahan akan lebih jelas dan diharapkan lebih mudah diselesaikan dengan damai.

Tetapi memang terkadang orang yang kita ajak untuk menyelesaikan masalah ini justru bersikap seperti "tidak mau masalah ini selesai". Mungkin juga hal ini terjadi karena ia tidak mempercayai perkataan kita. Maka, kita seringkali harus mengajak dua atau tiga orang lain untuk menjelaskan bahwa perbuatannya itu salah.

Tentu saja kita tidak boleh menegurnya dengan perkataan yang menyakiti hati atau seperti menceramahi, karena seringkali cara menegur seperti itu malah membuat orang itu tidak mau mendengarkan kita. Atau terkadang kita menegurnya dengan cara mempermalukannya. Sudah pasti itu malah membuat teman kita ini menyimpan dendam terhadap kita. Intinya, dalam menyampaikan teguran, kita harus menetapkan dalam hati bahwa kita ingin mengembalikannya ke jalan yang benar.

Terkadang, dua atau tiga orang mungkin tidak cukup untuk menyadarkan teman kita ini. Maka kita harus membahas masalah ini dengan komunitas kita, untuk memikirkan bersama-sama cara terbaik untuk menegur teman kita ini. Masalah tegur menegur ini memang seringkali menjadi masalah yang rumit karena biar bagaimanapun kita juga bukan orang yang sempurna yang tidak pernah melakukan kesalahan. Kita tidak mau dianggap munafik atau menggurui dengan menegur teman yang melakukan kesalahan.

Selain menegurnya secara langsung, kita juga bisa mendoakan teman kita ini bersama-sama dalam komunitas kita, karena bisa saja teman kita ini sangat keras kepala dan hanya Tuhan yang bisa menyadarkannya melalui pengalaman hidupnya sendiri.

Balthasar Sebastian
XI E / 8

Unknown mengatakan...

Saya sangat setuju dengan pendapat di atas karena dapat kita lihat selalu dalam kehidupan sehari-hari bahwa masalah yang tidak diselesaikan secepatnya akan membawa hal buruk yang lainnya di luar masalah yang sebenarnya. Masalah yang awalnya sepele nantinya akan menjadi sesuatu yang sangat besar karena tidak cepat-cepat diselesaikan. Kita tidak boleh takut apabila kita ingin menegur salah satu dari teman kita apabila kita yakin bahwa apa yang kita lihat atau saksikan bhawa itu telah salah jalan. Selain itu kita juga dapat membantu sesama yang telah salah jalan dan kita bantu mereka kembali ke jalan yang benar. Seperti sebagaimana mestinya kita sebagai yang menasehati juga harus melakukan hal yang kita nasehati kepada orang lain. Karena dengan begitu tanpa kita harus menasehati orang lain yang melihat tindakan kita akan dengan sendirinya sadar akan tindakannya yang salah walaupun persentase dari kesadaran seorang manusia terhadap kesalahannya sendiri kecil. Manusia cenderung lebih dapat melihat kesalahan orang lain secara lebih mudah. Selain menegur secara langsung sendiri kita juga dapat membawa salah satu dari teman kita agar yang kita tegur dapat yakin bahwa tindakannya benar-benar salah karena penilaian terhadap tindakannya dilakukan oleh beberapa orang. Sehingga dengan begitu si orang yang dinasehati ini tidak akan salah sangka karena penilaiannya akan lebih objektif di samping penilaian individu yang mungkin saja akan lebih bersifat subjektif karena mungkin si penasehat memiliki rasa tidak suka terhadap yang dinasehati. Tetapi secara pribadi lebih baik dibicarakan/dinasehati secara empat mata karena di samping aib atau kesalahan yang dibuat oleh orang yang dinasehati tidak terlau diketahui orang banyak dan juga biasanya orang akan lebih terbuka apabila mereka berbicara empat mata dengan orang yang mereka sudah kenal dibandingkan berbicara di depan orang banyak.
Sekian pendapat saya semoga bisa berguna bagi pembacanya.Terima Kasih.

Julius Linardi
XIE/26

Unknown mengatakan...

Kutipan Kitab Suci ini berisi mengenai masalah tegur menegur dan cara penyampaiannya. Saya setuju dengan apa yang disampaikan dalam kutipan Kitab Suci tersebut mengenai tegur menegur. Tegur menegur merupakan suatu hal yang lazim dan wajar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tegur menegur terjadi bila seseorang telah melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan ini juga merupakan sesuatu yang umum dilakukan oleh seorang manusia. Dari kesalahan ini, biasanya seseorang mendapat teguran. Teguran yang paling tepat menurut saya untuk seorang yang bersalah adalah dengan menegur empat mata. Teguran ini menurut saya adalah teguran yang paling efektif dan bijak. Karena teguran ini hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan dan orang yang menegurnya, sehingga tidak mempermalukan orang yang bersalah ke hadapan orang banyak. Selain itu teguran secara kelompok juga bisa dilakukan jika seorang itu masih tetap berbuat kesalahan yang sama. Teguran kelompok membuat dia sadar karena tidak hanya satu orang yang menegurnya, tetapi ada lebih dari satu orang. Dengan begitu ia lebih mendengarkan teguran itu. Hal yang kurang saya setujui dalam kutipan kitab suci tersebut adalah mengenai penyampaian kesalahan di hadapan orang banyak. Menyampaikan pada orang banyak karena dapat membuat malu orang yang bersalah itu. Selain itu cara kekerasan untuk menyadarkan seseorang sudah seharusnya kita tentang. Cara-cara kekerasan dapat mengarahkan kita pada tindakan penyiksaan. Selain itu hal ini juga dapat menimbulkan dendam dalam diri orang yang ditegur ini. Memang masih ada cara kekerasan ini, terutama di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Tujuan utama dari teguran sebenarnya adalah untuk menyadarkan kesalahan orang itu dan membuatnya tidak mengulanginya lagi. Karena itu teguran yang baik adalah teguran yang membuat sesorang sadar, menyadari dan tidak mengulangi perbuatan orang itu.
Sebagai contoh adalah pengalaman pribadi saya. Pada suatu hari, saya menonton TV dari pagi bangun tidur sampai siang, padahal keesokan harinya adalah ulangan umum. Ibu saya menegur saya tapi saya hanya mengiyakan teguran itu, dan tetap menonton TV. Akhirnya ayah saya datang dan menegur saya bersama ibu saya. Kemudian saya berhenti menonton TV dan mulai belajar. Saya menyadari kesalahan saya ini.
Dari contoh ini, saya merupakan seorang yang berbuat kesalahan. Lalu ibu saya merupakan seorang yang menegur saya dan kemudian setelah tidak saya hiraukan, ayah dan ibu saya menegur secara bersama. Setelah teguran bersama ini, saya menyadari kesalahan saya.

Kevin /XI-E / 27

Didit mengatakan...

Dari artikel tersebut, ada hal yang saya setujui maupun juga yang tidak saya setujui. Hal yang saya setujui adalah mengenai hal teguran empat mata. Cara menegur seperti ini adalah cara yang paling baik dan nyaman. Dari cara ini seseorang yang melakukan kesalahan akan menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan atau telah mengganggu/membuat orang lain tidak nyaman. Dari hal itu mungkin dia dapat merubah kebiasaan buruknya itu. Tetapi tidak semua orang dapat mendengar teguran dari seseorang dan tersadar. Bila orang itu masih belum tersadarkan akan kesalahannya, kita sebagai penegur bisa mengajak 2-3 orang lain juga untuk menegurnya. Dengan begitu dia akan sadar bahwa bukan hanya si A yang merasakan akibat dari tindakannya, tetapi juga si B dan si C.

Tetapi untuk mengenai teguran yang melibatkan komunitas/banyak orang, saya kurang setuju. Hal ini dapat membuat si pelaku merasa dipermalukan dan perasaannya tidak nyaman. Apalagi kalau kesalahannya bersifat rahasia/privat. Jadi cara teguran yang paling baik menurut saya adalah cara teguran empat mata.

Raditya P. /XI E/32

Alfred mengatakan...

Saya rasa saya kurang setuju dengan pendapat tersebut dimana jika kita melihat seseorang yang bersalah langsung menegurnya. Sebab, sebagai manusia kita hendaknya berbuat segala sesuatu dengan sebuah alasan yang pasti. Tanpa sebuah alasan yang jelas, kita tidak akan berbuat nekat apalagi berbuat dosa. Sebuah perbuatan salah dapat dikatakan sebuah dosa jika pelaku perbuatan tersebut menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah perbuatan dosa. Maka, saya rasa ia memiliki sebuah alasan yang cukup kuat untuk berbuat
demikian.
Sebagai contoh adalah seorang pencuri. Mungkin ia dapat tidak melakukan kegiatan mencuri, akan tetapi jika ia tidak mencuri ia tidak dapat hidup. Mungkin kita juga berpikir bahwa ia dapat melakukan perkerjaan yang lebih layak seperti menjadi seorang buruh. Akan tetapi, dapatkah ia menemukan tempat tersebut jika kita melihat keadaan sekarang dimana angka pengangguran begitu tinggi ditambah dengan tingkat pendidikan di negara ini yang tergolong rendah sehingga kemungkinan ia adalah salah seorang dari mereka yang berpendidikan rendah. Akan sulit baginya untuk berpikir jauh dan ia akan lebih cenderung mengambil jalan pintas. Jadi, secara tidak langsung ia memiliki dua pilihan yakni mencuri atau mati. Mungkin awalnya ia dapat melawan keinginannya untuk mencuri, akan tetapi ketika badan dan jiwa bertentangan, manakah yang akan manusia dahulukan, terutama untuk mereka yang berpendidikan rendah? Tentunya adalah badan mereka yang kelaparan.
Contoh lainnya adalah jika salah seorang yang hidup di lingkungan yang terbiasa berbuat suatu dosa seperti lingkungan pencuri. Ia tidak akan menyadari bahwa perbuatannya adalah perbuatan dosa. Jika kita langsung berbuat seperti pendapat di atas, kita akan langsung menegurnya dengan perkataaan antara lain “Kamu telah berbuat salah. Jangan mengulanginya kembali.” Saya rasa, kemungkinan besar ia tidak akan menerima pendapat kita, lalu kita bawalah orang lain. Untuk kejadian kali ini, kemungkinan besar ia tidak akan percaya kepada kita kembali sebab lingkungan tempat ia tinggal
mengatakan bahwa perbuatan itu benar adanya dengan sebuah alasan seperti “Mereka adalah orang-orang suruhanmu. Perbuatanku ini adalah benar sebab mereka yang hidup di lingkunganku berbuat hal ini.” Akhirnya kita membawanya ke jemaat. Pada kasus ini, mungkin ia akan tetap tidak percaya dan ada kemungkinan jemaat memberinya sebuah “cap bersalah” dan mungkin memberinya sebuah sanksi. Apakah perbuatan ini adalah adil dimana ia merasa perbuatannya benar walaupun bagi kita adalah salah? Jadi, dapatkah kita mengatakannya 100% salah?
Sebagaimana kebenaran itu berbeda-beda untuk setiap orang, saya rasa akan lebih baik jika kita melakukan pendekatan terlebih dahulu sebelum melakukan proses peneguran. Memang proses peneguran diperlukan untuk pengubahan diri seseorang agar sesuai dengan budaya yang berlaku. Tetapi, proses peneguran yang langsung dilakukan dapat menyebabkan ia menolak mentah-mentah peneguran tersebut dengan alasan yang ia percaya sebagai sebuah kebenaran. Dengan melakukan pendekatan, ia tidak akan merasa “kaget” dan akan lebih bisa menerima diri kita sebagai salah seorang temannya yang tidak berlaku sebagai ”hakim” tetapi sebagai ”teman” seperti halnya Yesus yang tidak hadir sebagai hakim tetapi hadir sebagai teman bagi kita. Sebagai tambahan, dengan pendekatan terlebih dahulu, pikirannya akan lebih tenang. Dengan demikian, hendaknya ia dapat mengambil kesimpulan sendiri dengan pikirannya sendiri tentang perbuatannya yang kita anggap salah. Jika ia setuju bahwa perbuatannya salah, tentunya ia akan sulit untuk mengulanginya kembali sebab kemungkinan besar ia telah menemukan jalan lain selain berbuat dosa tersebut saat kita melakukan pendekatan dengan dirinya. Sebab, dengan proses pendekatan, kita dapat bertukar pikiran dengannya mengenai hal yang kita anggap baik dan benar.
Adapun pengalaman saya yang cukup mirip untuk berkata demikian yakni saat masih SMP. Saat itu, saya dan beberapa teman saya berbuat salah dengan bermain kartu di tengah jam pelajaran kosong. Salah seorang guru piket masuk dan mengambil kartu tersebut. Sebenarnya saat itu kami telah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru kami dan kami menganggur pada saat itu. Esok harinya, kami menerima teguran yang keras dari salah seorang guru kami. Saya tidak dapat menerima tegurannya yang tergolong keras tersebut dan seolah-olah menentangnya. Akhirnya, pertengkaran cukup hebat sempat terjadi. Pada akhirnya, walaupun saya mendapat sebuah pelajaran, tetapi sebuah pengalaman buruk juga tercipta dari proses peneguran langsung tersebut. Selain itu, perbuatan salah tersebut akhirnya membawa pada dosa lainnya yakni menentang orang yang lebih tua. Sebagai tambahan, alasan kami bermain kartu tidak dapat kami ucapkan sama sekali atau kami dalam keadaan tanpa pembelaan dan saya inilah yang menjadikan alasan saya untuk menentang teguran tanpa kesempatan untuk pembelaan tersebut. Maka, saya rasa lebih baik pendekatan dilakukan sebelum melakukan peneguran. Kita perlu memahami diri pelaku sebelum menyalahkannya dan memberikannya teguran. Dengan demikian, langkah yang kita ambil akan lebih kekeluargaan dan akhirnya tujuan dapat tercapai lebih baik.
Memang apa yang dikatakan oleh kitab suci adalah benar. Proses peneguran diperlukan untuk membawa seseorang kembali ke jalan yang benar dari jalan yang salah. Akan tetapi bukankah kita tidak boleh menerima setiap perkara mentah-mentah? Bukankah beberapa bagian dari perkara tertentu yang harus kita “saring” terlebih dahulu? Maka, saya rasa dalam hal ini berlaku hal yang sama yakni perlu pendekatan sebelum proses peneguran. Demikian pendapat saya yang kurang sempurna ini. Terima kasih.

Alfred Susilodinata
XIE/3

togar mengatakan...

Sebagai orang percaya kita harus mengoreksi kesalahan orang lain, khususnya teman kita. Saya setuju dengan kutipan Kitab Suci di atas, menegur untuk yang pertama kali lebih baik berbicara langsung empat mata. Kata-kata kita juga harus dijaga saat menegur, jangan mengejek atau kesannya menekan teman kita yang ditegur ini. Teguran kita harus secara sopan dan sifatnya membangun, jangan sampai malah menyebabkan dia makin jatuh ke jurang dosa. Jika hal ini tidak cukup, saya tidak akan mengajak teman-teman untuk menegur dia. Karena kesannya seperti "mengeroyok" dia. Lebih baik biarkan dia berubah seiring berjalannya waktu.


Evan Togar
XI A/8

Unknown mengatakan...

Secara pribadi saya setuju dengan postingan/pendapat ini. jika seseorang berbuat/berkata sesuatu yang menurut saya itu salah atau saya memang tahu bahwa hal itu salah, orang tersebut akan saya tegur dan mencoba membuat orang tersebut mengerti bahwa yang dia lakukan itu salah dan menuntunnya agar melakukan hal yang benar. Dan memang lebih baik apabila dihadpi di bawah empat mata, bukannya di secara terang-terangan di depan banyak orang. jadi membicarakannya juga lebih enak. dan lebih baik kalau awalnya kita tegur secara halus, jangan langsung menegur seakan-akan memarahi dia.
jika dia tidak mau mendengarkan, tidak ada salahnya untuk meminta bantuan teman yang lain sekadar untuk second opinion, agar dia juga mengerti, bahwa bukan hanya kita yang merasa perbuatannya salah.




Arvin Nugroho
XI-E/06

Unknown mengatakan...

Saya sangat SETUJU dengan kutipan Kitab Suci diatas, karena barangsiapa yang telah berbuat dosa maka sepantasnyalah ia ditegur. Apabila seseorang baik saudara maupun teman berbuat dosa, sebaiknya dengan segera kita tegur agar ia tidak mengulangi dosa yang sama lagi dikemudian hari. Barangsiapa yang telah berbuat dosa maka ia telah melanggar satu atau sebagian dari sepuluh perintah Allah. Pertama-tama, kita tegur dibawah empat mata. Kita dapat memberi nasehat agar ia dapat instropeksi dirinya sendiri. Alangkah baiknya, bila ia mau mengakui dosa yang telah ia perbuat, mohon ampun kepada Tuhan atas dosa yang telah ia perbuat, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi (bdk. Mat. 18:15). Namun, apabila ia juga tidak mau mengakui dosanya, panggillah satu atau dua orang yang melihat ia berbuat dosa untuk memberikan bukti-bukti bahwa ia memang telah berbuat dosa (bdk. Mat. 18:16). Bila ia tetap tidak mau mengakuinya bawalah ia kepada suatu komunitas dimana ia merupakan salah satu anggotanya agar seluruh anggota dari komunitas itu mengetahui bahwa ia telah berbuat dosa. Dan apabila ia juga tidak mau mengakuinya, anggaplah ia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah, karena barangsiapa yang telah berbuat dosa maka ia sudah tidak lagi mengikuti jalan yang ditunjukkan Allah (bdk. Mat. 18:17).

Saya memiliki sebuah pengalaman yang mendukung pendapat saya diatas. Pada saat berada di SMP 3, tanpa sengaja saya melihat ada seorang teman saya yang menyontek saat ulangan sedang berlansung. Setelah ulangan selesai, saya menghampiri dia dan menegurnya. Ia membalas teguran saya itu dengan berkata bahwa saya hanya suka ikut campur masalah orang lain dan ia berkata bahwa suka-suka dia mau berbuat apa, bukan urusan saya. Lalu ada dua orang teman saya yang juga melihat bahwa dia menyontek. Kami bertiga menegurnya dan berusaha agar ia mau berterus terang dan kami berjanji tidak akan mengadukan kepada guru asalkan ia mau mengakuinya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun ia juga tidak mau mengakui perbuatan dosanya itu. Oleh sebab itu, kami bertiga memberitahu teman sekelas bahwa ia telah menyontek saat ulangan tadi. Maksud kami bukan untuk mempermalukan dia di depan kelas, namun untuk menyadarkan dia dan untuk mengembalikan dia ke jalan yang benar sesuai yang ditunjukkan Allah melalui Sepuluh Perintah Allah karena ia sudah tidak lagi mengenal Allah. Namun, ia juga tetap tidak mau mengakuinya, mungkin karena ia takut dilaporkan kepada guru. Karena ia tidak mau mengakuinya, setelah kejadian itu teman-teman sekelas menjadi mengucilkan dia. Setelah beberapa hari, ia sudah tidak tahan dengan suasana seperti itu dan akhirnya ia mau mengakui kepada teman-teman sekelasnya bahwa ia telah menyontek saat ulangan dan kami semua telah memaafkannya asalkan ia tidak mengulanginya lagi, dan tidak ada seorang gurupun yang mengetahui peristiwa ini. Setelah kejadian ini, ia bertobat, tidak mengulanginya lagi karena ia telah kembali kejalan yang ditunjukkan oleh Allah.

Dalam pengalaman saya diatas, teman saya telah melanggar satu dari Sepuluh Perintah Allah yaitu perintah ke-8, bersaksi dusta. Dalam hal ini, ada dua saksi dusta yaitu ketika ia menyontek saat ulangan dan ketika ia tidak mau mengakui bahwa ia telah menyontek saat ditanya oleh teman-temannya. Ketika hanya saya saja yang menegurnya, ia dengan yakin menentangnya. Begitu pula dengan dua orang teman saya. Namun setelah satu teman sekelasnya menegur dia, lama-kelamaan ia baru sadar dan mengakui dosanya itu, mohon ampun, dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Sebelum dia mau mengakui perbuatan dosanya dia tidak mengenal Allah, dimana godaan setan untuk menghalalkan segala cara untuk mendapat nilai yang bagus lebih besar. Karena apabila ia mengenal Allah ia pasti akan berani mengakuinya dan meminta maaf kepada Allah, karena Allah itu Maha Pemaaf. Berdasarkan pengalaman inilah saya mengatakan bahwa saya setuju dengan kutipan Kitab Suci diatas.

Dengan menegur berarti kita sudah berusaha untuk mengembalikkan jalan seseorang yang pada awalnya bertentangan dengan jalan Allah untuk kembali ke jalan yang benar sesuai dengan petunjuk Allah.

Demikian tanggapan saya terhadap kutipan Kitab Suci diatas. Semoga bermanfaat.
- A M D G -

James Hidayat
XI-E / 24

Andreas Bramantyo mengatakan...

Masalah- masalah seperti itu banyak dijumpai di kehidupan kita. Kita sebagai manusia pasti banyak melakukan kesalahan. Kita harus menasehati orang yang mempunyai salah pada kita secara pelan- pelan, jangan membuat dia seperti sedang disudutkan oleh kita. Kita harus melakukan pendekatan yang intensif apabila kita ingin merubah sikap orang itu kepada kita. Misalnnya, kita bicara baik - baik kepada teman kita yang sedang mempunyai masalah dengan kita. Kita tidak boleh menegur temn yang bersalah pada kita dengan menggunakan emosi, itu akan berakibat buruk pada orang tersebut. Sebaiknya kita bicara denagn dia, apakah ia punya masalah dengan kita. Kalau punya, sebaiknya kita membicarakan maslah itu dengan orang tersebut dan memberikan jalan keluar yang terbaik bagi masing - masing kita.

Andreas Bramantyo mengatakan...

Masalah- masalah seperti itu banyak dijumpai di kehidupan kita. Kita sebagai manusia pasti banyak melakukan kesalahan. Kita harus menasehati orang yang mempunyai salah pada kita secara pelan- pelan, jangan membuat dia seperti sedang disudutkan oleh kita. Kita harus melakukan pendekatan yang intensif apabila kita ingin merubah sikap orang itu kepada kita. Misalnnya, kita bicara baik - baik kepada teman kita yang sedang mempunyai masalah dengan kita. Kita tidak boleh menegur temn yang bersalah pada kita dengan menggunakan emosi, itu akan berakibat buruk pada orang tersebut. Sebaiknya kita bicara dengan dia, apakah ia punya masalah dengan kita. Kalau punya, sebaiknya kita membicarakan maslah itu dengan orang tersebut dan memberikan jalan keluar yang terbaik bagi masing - masing kita.

Andreas Bramantyo
XI A/03

sammy mengatakan...

saya sangat setuju dengan kalimat diatas karena apabila ada seseorang yg melakukan kesalahan maka yang pertama kali kita lakukan adalah menegurnya, lalu apabila ia tidak mau mendengarkan lalu kita pun memanggil teman kita untuk menegur ia.
Cara ini sangat sering kita temui dalam dunia nyata. Pada masa kita org sering kali tidak peduli bila melakukan kesalahan, teguran yg kita berikan hanya dianggap angin lalu, apabila kita menyebarkan persoalannya pada komunitas ato khalayak ramai tentu ia akan merasa malu dan tidak akan melakukan kesalahannya lagi.
Semoga komentar saya dapat berguna terima kasih.

XI-E/34 Samuel Tanuwijaya

kevin hendra mengatakan...

saya sangat setuju, ketika kita menegur teman kita mungkin kita akan dicap sebagai orang yang hanya bisa mengoreksi saja pemikiran itulah yang selalu dipikirkan oleh orang sehingga ada perasaan tidak enak untuk menegur, namun yang perlu kita sadari bahwa apa yg kita lakukan bukan semata-mata karena kita ingin terlihat seperti orang yang sok pintar, tapi ini semua demi kebaikan dia juga.

kevin
XIA/14

toper mengatakan...

Menurut saya, pernyataan ini benar. Jika kita melihat seseorang berbuat kesalahan, kita harus menegur dan mengingatkannya agar tidak dia ulangi lagi. Biarpun kesalahan yang ia lakukan itu ditujukan kepada kita sehingga kita terkena dampak negatifnya, hendaknya kita tetap menegurnya dan membalas kejahatan dengan kebaikan.

Dari segi psikologis, memang lebih baik jika pada awalnya kita cukup menegur secara 4 mata. Untuk menjaga kondisi mental orang yang kita tegur, ini memang lebih baik. Jika dari awal kita langsung memberitahukan kesalahannya di depan banyak orang, yang akan terjadi adalah kejiwaan dia akan terganggu dan justru akan menimbulkan efek negatif lainnya dan mungkin dia tidak akan berubah, namun memendam rasa dendam dan mengulang kesalahannya. Jika ia tidak mengakui kesalahannya dan membantah, barulah kita mulai mengajak orang lain secukupnya untuk meyakinkan dia, namun kita harus mengingatkan dia secara halus dan penuh kasih, jangan dengan kebencian. Bila kita sudah mengingatkan dengan cara halus namun tidak berhasil sama sekali, kita boleh menegurnya secara keras. Marah terhadap orang yang salah tidaklah dosa, asalkan tujuannya benar. Bahkan Yesus saja pernah marah di Bait Allah karena tempat itu disalahgunakan oleh orang-orang.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menegur orang lain. Yang pertama, kita juga harus melihat kondisi diri kita sendiri. Apakah kita sudah benar dan tidak melakukan kesalahan yang dia lakukan? Jika kita juga masih melakukan kesalahan itu, sebelum kita menegur dia kita harus merubah diri kita sendiri terlebih dahulu atau kita sama saja dengan orang munafik. Tentu saja orang itu tidak akan mendengarkan nasihat dari orang yang sama-sama salah. Jadi, sebelum menegur orang lebih baik kita introspeksi diri sendiri dahulu.

Dari pengalaman saya sendiri, dulu saya seringkali tidak dipedulikan bila menegur orang lain dan saat ditegur juga saya pun sering tidak peduli. Itu dikarenakan diri saya sendiri yang masih banyak kekurangan dan juga orang yang menegur saya juga punya banyak kekurangan di mata saya. Jadi menurut saya, sebelum kita menegur orang, lebih baik kita merubah diri kita dulu. Bila tidak, maka menegur orang lain secara 4 mata ataupun di depan banyak orang tidak akan berpengaruh apa-apa.


Christopher B
xi c / 10

sean rich mengatakan...

Tegur menegur merupakan sebuah hal yang sulit bagi sebagian bahkan banyak orang.Seseorang takut menegur karena takut orang yang ditegur itu akan tersinggung dan marah kepadanya.Mengacu pada kutipan di atas, saya setuju bahwa sebenarnya sebuah teguran digunakan untuk membuat orang itu menyadari kesalahannya dan mau untuk memperbaikinya.Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara kita menyampaikan teguran.Saya kurang setuju apabila kesalahan orang lain dibesar-besarkan sehingga banyak orang yang tahu.Lebih baik kita menegur secara personal sehingga orang yang berbuat salah tersebut merasa diperhatikan bukan dilecehkan dan mau mendengarkan teguran kita.Sesungguhnya kita tidak perlu takut untuk menegur orang lain asalkan dilandasi oleh niat yang baik yaitu agar orang tersebut tidak terjerumus pada kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.Apabila kita yang mendapat teguran pun,kita tidak perlu marah, karena itu berarti masih ada orang yang memperhatikan kita dan menghendaki kita untuk menjadi lebih baik."Terkadang sebuah kenyataan memang menyakitkan.Namun bila kita tidak mengetahui kenyataan itu, kapan kita dapat berubah untuk menjadi lebih baik".Menurut saya pikiran seperti itu harus terdapat di benak setiap orang.Diharapkan dengan pikiran seperti itu kita menjadi seseorang yang terbuka dan mau menerima kritik serta saran dari orang lain.

Sean Rich
XI A / 18

diditxic11 mengatakan...

didit xic 11

Saya sangat setuju dengan pendapat anda?

Teguran dengan 4 mata adalah cara yang efektif. Kenapa? sebab dengan cara 4 mata, kita sebagai penegur dapat berbicara dari hati ke hati dengan orang yang ditegur mendengar, mamahami dan mengerti untuk siapa, kenapa, apa , dan buat apa dia melakukannya tanpa ada tujuan untuk menghakimi serta tanpa ada perasaan tertekan.

Dan apabila dia masih bersikeras, kita bisa mengajak orang lain yang berhubungan dengan masalah dengan catatan bahwa memang paham yang kita yakini itu memang benar. Dan cara diatas hanya berlaku bagi segala pelanggaran yang bersifat normatif dan lebih kepada pelanggaran yang mengakibatkan rusaknya hubungan antar individu .

endii mengatakan...

Saya setuju dengan pernyataan tersebut, selama kita tidak mengkondisikan orang tersebut sebagai pesakitan dan mempermalukannya di depan khalayak ramai. Kelalaian dan kesalahan yang dengan tidak sengaja dilakukan adalah tindakan yang sangat manusiawi karenanya di dalam menegur orang yang lalai atau berbuat kesalahan itu kita harus sangat berhati-hati. "Teguran" yang santun akan menjadi suatu hal yang positif untuk mengingatkan orang tersebut sehingga tidak mengulangi kesalahannya untuk yang kesekiankalinya.

Endi K - XIA/07

gregorius deo mengatakan...

Saya sependapat dengan kutipan perikope kita suci diatas. Menegur memang salah satu cara yang sangat baik untuk bisa mengingatkan orang jikalau dia berbuat salah. Menegur adalah suatu tindakan interpersonal atau bisa diartikan pendekatan secara pribadi ke individu. Dengan melakukan pendekatan secara pribadi, akan lebih nyaman dan enak dalam menyampaikan hal yang salah tersebut. Dibanding dia harus langsung diangkat masalahnya ke publik. Alangkah baiknya jika diselesaikan secara pribadi terlebih dahulu.

Cara pendekatan ini atau cara menegur ini, lebih tepat jika digunakan untuk menghadapi suatu masalah yang tidak terlalu besar dan bukan masalah kriminal. Tidak lah perlu hingga membawa suatu masalah kecil di depan publik. Itu sama halnya dengan terlalu membesar - besarkan masalah dan hal itu memungkinkan timbulnya masalah lain yang lebih besar.

Cara menegur sebenarnya bukan tidak cocok digunakan untuk seorang pelaku tindak kriminal. Namun tindak kriminal sudah memiliki sendiri hal yang bisa membuat Sang pelaku jera atau sadar, yaitu sanksi hukum.

Dan dalam menghadapi suatu kasus, saya lebih baik melakukan pendekatan secara interpersonal atau menegur terlebih dahulu. Karena menurut saya dengan menegur dia terlebih dahulu setidaknya kewajiban saya sebagai orang beriman yang mempunyai tugas mengingatkan orang - orang yang berbuat salah, sudah saya jalani. Namun jika yang saya tegur tidak mau menghiraukan saya, saya lebih baik diam dan biarkan waktu yang membuktikan bahwa tindakan itu benar salah sehingga pukulan yang ia terima akan lebih menyakitkan lagi. Terima Kasih.

Gregorius DEo XI A/ 10

ALVINradityaXIB-7 mengatakan...

saya tidak begitu mendukung pendapat diatas, karena pada dasarnya seorang manusia harusnya akan belajar sendiri. daripada kita pada akhirnya harus tetap memperbaiki orang lain, kita tidak akan punya waktu untuk mengurus diri sendiri.
seiring waktu, orang tersebut akan belajar sendiri atas kesalahan-kesalahannya. karena hal ini adlaah fakta yang sering terjadi pada diri saya sendiri.

alvin XIB-7

Vivensius mengatakan...

Menurut pendapat saya, sebuah perkara adalah halangan bagi kita untuk melanjutkan perjalanan hidup kita. Sebuah perkara hendaknya diselesaikan dalam waktu singkat, agar perkara tersebut tidak membuat berbagai pihak yang bertikai di dalamnya menjadi bermasalah dengan yang lainnya yang tidak terlibat dengan perkara tersebut.
Oleh karena itu, kita harus mau untuk menyadarkan agar ia mampu mengakui kalau dirinya itu salah.
Tujuannya adalah, agar kita bisa membawa ia kembali ke tujuan yang benar. Kita harus memberi masukan-masukan yang baik padanya, agar kita semakin mengerti seluk-beluk dirinya itu. Namun, kita perlu berhati-hati untuk berperilaku, agar tidak termakan oleh omongan yang kita ucapkan sendiri (maksudnya adalah apabila kita melanggar sendiri apa yang kita bicarakan, maka kita akan malu di kemudian hari).

Vivensius.
XI-A / 20

Yohanes Wirawan Putranto mengatakan...

Setiap orang pasti memiliki kelalaian atau kesalahan, tergantung dari besar kecilnya. Apabila kesalahannya kecil, maka dapat ditolerir dan dapat diberitahu saja. Namun apabila kesalahannya besar, perlu kita tegaskan sebab yang kita inginkan adalah agar ia menjadi lebih baik, sehingga hubungan kita dengan dia semakin baik dan juga dia disenangi oleh semua orang.

Merupakan tanggung jawab kita untuk membimbing saudara kita, sebab kita dan saudara kita berasal dari satu ibu dan kelak akan menghadapi sulitnya hidup bersama-sama. Apabila bersama saudara saja tidak kompak, bagaimana mau kompak dengan orang lain?

Dengan teguran kita dapat mengubah perilaku saudara kita dari buruk menjadi lebih baik.

Yohanes Wirawan Putranto
XIC/40

Stefanus Raditya Purba mengatakan...

Menurut saya sebagai sesama manusia, kita harus saling mengingatkan apabila ada teman, saudara atau seseorang yang berbuat salah. Oleh sebab itu saya setuju dengan kutipan dari injil Matius itu. Hal ini disebabkan karena jika kita tidak mengingatkan, orang yang melakukuan kesalahan akan terus mengulangi kesalahan yang sama. Sebagai contoh, jika seorang anak tiap hari kerjanya hanya main saja dan tidak pernah belajar atau melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat tetapi orang tua dari anak tersebut tidak pernah menegurnya, maka ia akan merasa bahwa yang diperbuatnya biasa biasa saja dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain sehingga ia akan terus bermain dan bermain. Maka mungkin hal buruk akan menimpa dirinya misalnya nilai ulangannya menjadi amat jelek sehingga ia dapat tinggal kelas dan akan merugikan dirinya sendiri dan orang tuanya karena orang tuanya harus membayar lebih setahun dibanding yang lainnya. Hal lain yang perlu ditekankan adalah sebaiknya teguran disampaikan sesegera mungkin setelah seseorang melakukan kesalahan sehingga kesalahan-kesalahannya tidak semakin bertumpuk dan menjadi kebiasaan bagi orang tersebut. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah cara penyampaian teguran itu sendiri. Hendaknya teguran itu disampaikan dengan halus sehingga tidak menyinggung perasaan orang yang berbuat salah tersebut. Selain itu dalam penyampaiannya juga jangan menimbulkan kesan yang menggurui karena itu dapat membuat orang yang berbuat salah tidak memiliki simpati terhadap orang yang memberi teguran sehingga kemungkinan ia tak mau merubah perangainya. Selain itu jika kita bersikap menggurui dalam menyampaikan teguran, jika suatu saat kita tidak sengaja melakukan kesalahan yang sama dan diketahui orang yang ditegur maka kemungkinan ia akan kecewa dan akhirnya kembali berbuat salah lagi karena ia merasa orang yang menasehatinya saja berbuat begitu mengapa ia tidak berbuat demikian saja? Selain itu dalam menyampaikan teguran kita tidak boleh langsung memberi label negatif kepada orang tersebut misalnya dengan mengatakannya "si pembohong", "si pemalas", "pencuri" dan sebagainya karena hal itu hanya dapat membuatnya malu dan rendah diri yang akan membuatnya sebagai orang yang anti sosial. Tegur-menegur memang perlu dalam kehidupan tetapi cara penyampaiannya juga harus diperhatikan sehingga orang yang bersalah benar-benar introspeksi diri dan sadar akan kesalahannya.

Oleh:
Stefanus Raditya Purba
XI E / 35

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan kutipan injil matius tersebut, karena menurut saya suatu perkara harus diselesaikan secara baik-baik. Apabila kita mampu menyelesaikan perkara itu seorang diri maka harus kita selesaikan secepatnya agar tidak timbul perkara lain, tetapi apabila kita tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut sendirian maka kita dapat meminta bantuan dari orang lainnya melalui diskusi/musyawarah. Maka apabila kita menemukan/melihat sesorang yang berbuat salah hendaknya kita menegurnya secara halus dan tegas, janganlah kita membentaknya. Dengan begitu diharapkan si pembuat salah tidak akan mengulangi lagi perbuatannya itu.

Sebagai seorang pelajar tentunya kita seringkali melihat teman-teman kita yang berbuat kesalahan di sekolah, sebagai seorang teman maka sudah selayaknya kita menegur mereka dengan cara yang benar. Dan perlu diingat juga apabila kita yang berbuat salah kita juga harus mau menerima teguran yang diberikan oleh teman-teman kita. Apabila proses tegur menegur tersebut berjalan dengan lancar tentunya hubungan pertemanan juga menjadi lebih erat.

Apabila kita melakukan teguran secara 4 mata dengan seseorang hendaknya kita melakukannya dengan sopan, karena menurut saya teguran secara 4 mata adalah yang terbaik untuk menegur seseorang. Kita juga menjadi lebih leluasa untuk memberikan nasihat/teguran. Orang yang ditegurnya pun akan merasa lebih enak bila ditegur oleh satu orang saja. Orang akan merasa malu apabila ia ditegur secara langsung di depan umum dan ia juga akan sulit menerima maksud teguran yang ingin kita sampaikan. Jadi sebisa mungkin tegur menegur dilakukan secara 4 mata tetapi apabila pihak yang ditegur berusaha untuk terus menghindari teguran kita hendaknya kita meminta bantuan dari pihak lain dan tetap menegurnya secara baik-baik.

Sebagai seorang penegur hendaknya kita juga memperhatikan diri sendiri terlebih dahulu, apakah kita sudah benar dalam bertindak. Jangan sampai kita melakukan teguran pada orang lain secara semena-mena padahal kita sendiri masih melakukan hal yang serupa. Hendaknya teguran yang sudah kita lakukan juga kita refleksikan, sehingga akan menjadi lebih bermanfaat bagi kedua belah pihak yang bersangkutan.

Sekian komentar yang bisa saya sampaikan, terima kasih

Edward William
XI-E/16

jefta mengatakan...

Suatu permasalahan antara seorang dengan yang lainnya memang tidak bisa terus menerus disimpan di dalam hati. Apalagi bila permasalahan tersebut adalah permasalahan yang besar yang bisa menimbulkan sakit hati atau perselisihan baik antar individu atau pun kelompok.

Saya setuju bila suatu permasalahan diselesaikan secepat mungkin karena bila dipendam lebih lama akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks. Saya juga setuju bila seseorang yang memang melakukan sebuah kesalahan ditegur sehingga dia bisa langsung sadar akan kekeliruannya dan segera berubah. Namun dalam menegur semua orang harus berhati-hati. Jangan memberikan teguran yang langsung menyerang atau dengan nada yang kurang menyenangkan. Hal ini mungkin dapat menimbulkan dampak yang lebih fatal. Orang yang ditegur mungkin akan tersinggung dan tidak mau berubah. Jadi, sebaiknya teguran diberikan dengan sopan dan dengan pendekatan yang baik sehingga orang yang ditegur lebih cepat sadar dan mau berubah.

Saya juga setuju bila orang yang bersalah ditegur oleh beberapa orang langsung jika masih mengulangi kesalahan yang sama terus menerus. Apabila perbuatannya memang semakin meresahkan, sebuah kelompok masyarakat atau sebuah forum boleh mengambil tindakan untuk menyelesaikan permasalahan dengan orang yang bersangkutan lagi. Namun sekali lagi saya ingin tekankan, kelompok tersebut tidak boleh melakukan kekerasan atau tindakan-tindakan yang kurang menyenangkan karena bisa menimbulkan masalah baru.

Teguran sebenarnya adalah hal yang amat penting. Kita harus mau menegur dan siap ditegur. Bila kita tidak mau menerima saran dan teguran orang lain, kita akan menjadi pribadi yang tidak akan bisa maju karena tidak pernah mau berubah.



Jefta Gamaliel
XIE/25

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan kutipan kitab suci di atas karena saya merasa tegur menegur sangat penting untuk mengintrospeksi diri kita sendiri atas kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat. Saya rasa kutipan kitab suci tersebut juga masih relevan dengan keadaan sosial masyarakat kita sekarang ini, meskipun ada bagian yang menurut saya relatif tidak sesuai dengan keadaan kita sekarang, yaitu dengan menyampaikan masalah tersebut kepada komunitas / orang banyak.

Saya kira kata-kata “tegurlah dia di bawah empat mata” jika disesuaikan dengan masa kita sekarang ini, bukan diartikan sebagai menegur seseorang tanpa diketahui orang lain tetapi kita harus menegur seseorang bukan dengan maksud mengumbar kesalahan orang lain tersebut kepada orang banyak.

Menurut saya, seseorang berbuat kesalahan hanya dapat disebabkan oleh 3 kemungkinan, entah orang tersebut melakukan kesalahan dengan ketidaksengajaan, orang tersebut melakukan kesalahan karena ia terpaksa melakukan tindakan yang dinilai salah itu, atau ia sudah terbiasa melakukan kesalahan tersebut sehingga ia menilai tindakan tersebut bukan sebagai tindakan yang salah lagi.

Inilah kegunaan dari kebiasaan tegur menegur di masyarakat kita ini, untuk menyadarkan orang lain bahwa perbuatannya itu salah dan membuat orang tersebut tidak mengulangi kesalahannya itu lagi.

Menegur seseorang yang melakukan kesalahan secara tidak sengaja pasti akan membuat orang itu mengakui kesalahannya dan membuat ia berintrospeksi. Tetapi akan lain halnya ketika kita menegur orang yang terpaksa melakukan kesalahan tersebut atau orang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan. Mereka cenderung tidak menerima perbuatan mereka tersebut sebagai sebuah kesalahan dan melindungi diri mereka sendiri. Karena itu kita mungkin memerlukan bantuan orang lain yang dekat dengan orang yang kita tegur untuk membantu memberikan saran dan nasihat kepada orang tersebut. Saya yakin dengan cara ini setidaknya sudah sedikit membantu orang tersebut untuk mengintrospeksi dirinya.

Akhir kata, kita sendiri juga harus terbuka terhadap teguran dan nasihat dari orang lain agar kita sadar terhadap kesalahan kita sendiri. Tidak hanya memberikan nasihat untuk memperbaiki kesalahan orang lain, kita sendiri juga harus berusaha melihat kesalahan-kesalahan yang kita perbuat dan berusaha memperbaikinya.

Yoeko Xavier
XI-E / 38

edo mengatakan...

Saya pikir saya dapat menyetujui pernyataan tersebut sampai kepada yang menyertakan dua saksi atau lebih di dalam permasalahan tersebut. Kenapa? Karena bisa saja hal yang awalnya bisa dikatakan cukup sepele atau kecil, menjadi berkembang ke dalam permasalahan kelompok kecil maupun besar. Bila menurut saya, ada baiknya bila kita yang bersangkutan langsung meminta penyelesaian yang lebih spesifik dari pihak yang lebih mengerti dalam hal tersebut sampai ke penyelesaian yang bersifat tetap dan tidak temporer.
Nah, kembali ke bagian awal permasalahan yang baik yang dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak tanpa perlu adanya sifat menegur lebih jauh, dapat menjadi tunjangan hidup yang baik sampai ke masa yang akan datang. Karena dengan cukup pengertian, kita dapat memahami apa artinya peneguran, yang bermanfaat tentunya. Dengan ini, seseorang yang awalnya tidak tahu dimana dan kemana mereka akan pergi dari suatu tempat, dapat dengan jelas menemukan jawabannya tanpa adanya halangan dalam hidup mereka.
Saya rasa dalam kehidupan saya sendiri tak banyak yang mempermasalahkan peneguran antar sesama, karena saya sendiri lebih banyak mendapat teguran yang biasanya diberikan dari orang yang berstatus di atas saya atau lebih tua dari saya. Seperti orang tua saya yang senantiasa mengajar kepada saya dari kecil hal-hal yang (bisa saja) orang lain anggap sepele atau bahkan tidak penting.Maka dari itu saya sudah lebih banyak belajar dari kesalahan dan peneguran tersebut sehingga tidak saya ulangi di kemudian hari.
Terima Kasih.

Edward Julian
XIE / 15

dito mengatakan...

Saya setuju dengan kutipan kitab suci di atas karena saya merasa tegur menegur sangat penting untuk mengintrospeksi diri kita sendiri atas kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat.Selain itu tegur menegur adalah cara yang paling halus dan dapat disampaikan secara lebih menyenangkan.Namun dalam hal tegur menegur pun ad tahapan-tahapan tertentu,sehingga memudahkan penyampain.Ketika kita melakukan kesalahan alangkah indahnya ada seseorang yang menegur kita,untuk mengingatkan kesadaran kita.Saya pun demikian,seringkali berbuat salah namun tidak sadar,sehingga teguran-teguran dapat membuat saya sadar.
Karena sebuah perkara harus dapat diselesaikan dalam waktu yng singkat agar perkara tersebut tidak terus berkembang menjadi yang lebih buruk lagi, atau mungkin bisa jadi akan memperluas masalah.Teguran dalam bentuk empat mata bagi saya juga merupakan suatu cara yang gentle untuk menyampaikan perasaan kita terhadap seseorang.Karena di saat itu perhatian si penegur dan yang sedang ditegur pun menjadi lebih baik,sehingga bisa saling menghargai pendapat masing-masing.Dan bisa saling mengoreksi diri.Saya pun dan teman dekat saya brusaha untuk saling tegur menegur,sehingga kita bisa saling menjauhkan diri dari dari perbuatan salah.Sekian dari saya.Terima kasih.


Anindito Bayhaqie
XI E/ 4

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan kutipan dari injil matius tersebut, yaitu orang yang bersalah/berbuat dosa, harus dinasehati agar niscaya berubah. Bila orang tersebut tidak mau untuk merubah sikap buruknya tersebut, yang membuatnya jatuh dalam dosa, selayaknya kita membawa saksi yang menguatkan bahwa tindakannya memang salah dan harus beralih menuju jalur kebaikan. Kita memang harus sabar dalam menghadapi orang yang terlibat dalam dosa, jangan sampai kita terlibat emosi dan malah merusak tujuan awal kita sendiri, yaitu mebuat orang berdosa kembali ke jalan yang benar.
Pada saat sekarang ini, hal tersebut sangat banyak terjadi. Seperti misalkan di lingkungan sekolah. Banyak siswa yang demi prestasi akademik berusaha menghalalkan segala cara untuk mendapatkan prestasi akademik yang baik, salah satunya adalah dorongan untuk menyontek. Sama dengan injil yang telah diketahui diatas, ada teman yang berusaha memperingatkan untuk tidak menyontek. Sebagai hasil akhirnya, ada yang menurut dan mengerjakan dengan percaya diri tanpa menyontek, namun ada pula yang tetap bersikukuh ingin menyontek. Siswa tersebut dapat terkena sangsi fatal bila diketahui oleh pihak sekolah.

Gregorius Fomalhout P. XI E/ 22

Unknown mengatakan...

Saya ada sedikit ketidaksetujuan atas pendapat kutipan ini. Memang, menegur adalah sesuatu yang bisa dilakukan siapa saja. Akan tetapi, orang yang ditegur juga harus mengerti mengapa dia ditegur. Terkadang, peneguran bisa membuat orang sakit hati. Kehadiran saksi mungkin sedikit membantu untuk menegur seseorang yang berbuat salah dan mungkin bisa membuat orang yang berbuat salah itu mengerti. Tetapi, yang menjadi permasalahan adalah apakah orang yang berbuat salah itu akan mengulangi perbuatan itu lagi?
Saya punya sebuah keyakinan kalau untuk membuat seseorang tidak mengulangi perbuatan salahnya adalah memberi orang itu contoh yang baik. Kita beri dulu contoh melalui perbuatan. Saya dulu pernah mengalami hal seperti ini. Orangtua saya mengajarkan saya melalui perbuatan yang baik. Sehingga, saya bisa mencontoh beberapa sifat baik dari mereka.
Tetapi, saya juga merasa kalau kutipan kitab suci ini ada benarnya juga. Apabila kita sudah "menegur" ia melalui perbuatan dan ia belum jera atau masih mengulanginya lagi, ada baiknya juga kita menegur dia dibawah empat mata. Karena, apabila kita bicara dibawah empat mata, kita bisa mengungkapkan rasa kekecewaan kita dan bisa menegur orang yang bersalah itu dan menyuruh dia untuk tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi, terkadang yang ditegur pun tidak mengindahkan teguran kita maka saksi-saksi itu membantu kita untuk memberi opini mereka atas apa yang telah dilakukan oleh yang ditegur. Jadi, kutipan ini ada benarnya juga dan kutipan ini bermanfaat karena bisa membantu kita untuk mengetahui cara menegur yang betul.

Fajar Setyadi XI-E/18

Edwin mengatakan...

Menurut saya, teguran sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya teguran, seseorang dapat mengingatkan orang lain apabila orang tersebut melakukan kelalaian atau kesalahan, sehingga diharapkan orang yang berbuat kesalahan tersebut menyadari kesalahannya dan memperbaikinya. Apabila masing-masing individu saling menegur dan mengingatkan satu dengan yang lain, tentunya akan makin banyak kesalahan atau kelalaian yang dapat diperbaiki. Perbaikan sikap ini tentunya akan menyebabkan kepribadian masing-masing individu berkembang.

Ada beberapa cara untuk menegur seseorang yang berbuat kesalahan, seperti yang ditunjukkan dalam kutipan kitab suci di atas. Cara yang pertama adalah dengan pembicaraan empat mata, yaitu penegur berhadapan langsung dengan yang ditegur. Cara yang kedua adalah dengan meminta bantuan beberapa orang lain, dan cara yang terakhir adalah dengan menyampaikan masalah tersebut kepada komunitas yang lebih luas. Saya setuju dengan etika menegur seperti yang tertulis di dalam kitab suci di atas, di mana cara menegur yang dilakukan bertahap, disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari orang yang akan ditegur tersebut.

Teguran yang pertama kali sebaiknya dilakukan secara empat mata. Hal ini bertujuan agar kesalahan yang dilakukan oleh pihak yang ditegur tersebut tidak langsung diketahui oleh orang banyak. Dengan begitu, perasaan orang tersebut akan tetap terjaga. Apabila kesalahan seseorang langsung disebarkan sehingga banyak orang mengetahuinya, besar kemungkinan berbagai perasaan negatif muncul dari dalam diri orang tersebut. Misalnya, perasaan malu, kesal, ataupun rendah diri. Adanya perasaan negatif ini bisa jadi malah menyebabkan teguran yang disampaikan tidak diindahkan.

Apabila teguran yang disampaikan secara empat mata tidak berhasil, teguran dengan bantuan beberapa orang lainnya bisa dilakukan. Hal ini bertujuan untuk lebih meyakinkan pihak yang ditegur tersebut bahwa perbuatan yang dilakukannya memang keliru. Biasanya, pengaruh yang diberikan oleh beberapa orang akan lebih kuat dibandingkan satu orang saja.

Jika teguran yang disampaikan dengan bantuan beberapa orang juga tidak membuahkan hasil, cara terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan menyampaikan masalah tersebut kepada komunitas. Kelalaian yang dibuat oleh pihak yang ditegur tersebut tentunya cukup besar sehingga melibatkan orang banyak. Penyampaian tersebut ditujukan agar pengaruh yang ditimbulkan terhadap pihak yang ditegur tersebut lebih besar lagi. Selain itu, apabila masalah tersebut diketahui orang banyak, sedikit banyak perasaan orang tersebut akan terpengaruh. Apabila perasaan negatif muncul dari pihak yang ditegur tersebut, ada kemungkinan orang tersebut akan mengevaluasi dirinya. Ia akan melihat, kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga perasaan negatif tersebut muncul. Dengan begitu, diharapkan pihak yang ditegur tersebut dapat menyadari dan memperbaiki kesalahannya.

Edwin Hutomo
XIE/17

-スマリ さま- mengatakan...

Saya setuju akan pendapat ini. Terutama bila yang membuat dosa adalah saudara/teman dekat kita. Bila kesalahannya tidak terlalu besar, maka teguran itu cukuplah empat mata dan dengan kata-kata yang halus. Tidak perlu di depan orang banyak, karena akan membuat dia malu dan bahkan terluka hatinya. Apabila teguran kita tidak diindahkannya, maka kita harus memohon bantuan kepada orang lain dimana orang ini setidaknya dihormati/disegani oleh teman/saudara kita tsb.

Tetapi jika permasalahannya cukup besar, seperti melibatkan dua kelompok/melanggar hukum yang berlaku, kita tidak bisa menegurnya saja, melainkan kita mesti membawa pihak yang berwajib dan mengusahakan agar dapat diselesaikan dengan damai/musyawarah.

Brian Sumali
XIE / 10

Unknown mengatakan...

Pater Sigit, saya minta maaf karena komentar saya baru bisa dilihat hari ini. Sebetulnya saya sudah memposting komentar saya ini jumat tanggal 15 Agustus 2008 jam 20.00. Namun tidak tahu kenapa komentar saya tidak ada di blog milik Pater Sigit. Sekali lagi saya meminta maaf atas kesalahan ini

Tegur menegur merupakan suatu hal yang sudah sering kita jumpai. Kita sering menjumpai hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Baik di Rumah,di Sekolah,di Tempat umum,dan lain sebagainya. Biasanya tegur-menegur terjadi karena ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Contoh sederhana yang sering kita jumpai adalah ketika kita dijahili oleh teman sebangku kita saat pelajaran sedang berlangsung, lalu kemudian kita menegurnya. Misalnya ada Budi dan Bidu. Budi merupakan seorang anak yang rajin sedangkan Bidu merupakan seorang anak yang usil dan suka menjahili teman yang sedang belajar. Saat pelajaran matematika, ketika Budi sedang serius mengerjakan soal. Bidu menusuk pantat Budi dengan menggunakan jarum. Tentu saja Budi merasa kesal dan jengkel terhadap Bidu. Sebagai teman baik Bidu, Budi menasehatinya agar ia tak berbuat seperti itu lagi.

Saya setuju dengan kutipan kitab suci dari Mat 18, 15-17b. Mula-mula memang kita harus menegur seseorang yang berbuat salah secara dibawah empat mata dan tidak dilakukan di depan umum. Menurut saya, ini cara yang paling baik dan paling ampuh. Disini kita berbicara dari hati ke hati dengan orang itu, menanyakan motif dia melakukan hal itu dan memberi tahunya kalau hal itu salah. Apabila saya menegur seseorang yang berbuat salah, saya selalu menggunakan cara ini untuk menyadarkan kesalahan yang telah ia buat. Menurut saya,menegur orang didepan umum sama saja dengan mempermalukan orang itu.

Namun, apabila teguran kita secara empat mata ini diacuhkan dan ia tetap melakukan kesalahan yang sama. Pada umumnya, teguran kita diabaikan karena 2 hal. Pertama si pembuat salah tidak suka dengan si penegur dan si pembuat salah menilai perbuatannya ini benar. Ada baiknya kita memberi tahu kesalahan yang dibuat orang itu kepada teman-teman terdekatnya. Kita meminta bantuan kepada teman-teman terdekatnya untuk menyadarkan kesalahannya. Sebagai contoh Budi menegur Bidu secara empat mata supaya ia tidak berbuat jahil lagi, namum Bidu tak mau mendengarkannya. Ia malah menjahili teman-teman yang lainnya. Kemudian Budi meminta teman-teman yang dijahili oleh Bidu untuk membantu menyadarkan kesalahan yang dibuat oleh Bidu. Namun, kita tidak boleh menggunakan kekerasan fisik atau menyebarkan kesalahannya itu ke muka umum untuk menyadarkannya. Karena bisa jadi orang itu dikucilkan dan tak punya teman lagi.

Teguran memang perlu kita berikan terhadap orang yang berbuat salah. Teguran merupakan salah satu bentuk kepedulian kita untuk menyadarkan kesalahan yang telah diperbuat oleh orang lain agar ia tak mengulangi kesalahan itu lagi. Yang kita perlukan dalam menegur orang yang berbuat salah adalah kemauan untuk melihat perubahan sikap

Unknown mengatakan...

Jovian Jevon / XI-D / 22

Saya setuju dengan pendapat ini. Kita harus menegur sesama kita yang berbuat dosa. Hal ini perlu dilakukan agar kesalahannya tidak bertambah kompleks (seperti dikatakan steve edpin). Kita tidak perlu segan untuk menegur seseorang yang berbuat dosa sekalipun ia adalah orang yang lebih tua. Selain mewujudkan kepedulian kita, orang itu akan sadar dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.

Satu hal lagi yang penting, tegur menegur harus terjadi secara dua arah. Selain menegur orang lain, kita juga harus mau ditegur bila kita membuat kesalahan. Kita harus menerima setiap teguran dari orang lain karena teguran tersebut pasti akan berguna untuk memperbaiki diri kita menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Unknown mengatakan...

Menurut saya hal ini sangat penting karena untuk menegur seseorang, terutama seseorang yang kita anggap teman, dibutuhkan kesadaran yang sangat tinggi. Kita seringkali hanya mengikuti dan mendukung tindakan yang dilakukan seseorang, walaupun kita tahu bahwa tindakan itu sebenarnya salah. Maka, untuk menegur seseorang, khususnya teman, kita harus berani dan memberikan contoh yang lebih baik kepada teman kita.

Arza T. O. Waas XIE / 7

kiel mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat di atas bila kita menegur seseorang secara benar sesuai dengan kitab suci tetapi apabila kita dengan seenaknya menegur orang, berarti kita hanya menuruti kemauan kita dan tidak bertoleransi.
Menurut saya teguran dapat dilakaukan bila seseorang sudah melenceng dari jalan yang benar karena seringkali orang menegur hanya karena perbedaan. Hal yang patut kita tanamkan adalah PERBEDAAN BUKAN KESALAHAN! maka kita tidak boleh seenaknya menegur orang karena hanya kita melihat orang itu berbeda dengan kita. Kita harus melihatnya secara mendalam maksud tujuan perilaku orang itu.

Di lain sisi saya melihat tegur menegur sangat baik karena dapat menyadarkan dan membuat orang lain semakin baik lagi.

kiel mengatakan...

maaf saya lupa, data saya :
Yehezkiel Nathanael
XI D/39

Ry0_W4t4n4b3 mengatakan...

saya setuju dengan ini karena dengan menegur seseorang yang berbuat salah, kita telah menyelamatkan orang tersebut secara tidak langsung dan tanpa kita sadari. Mengapa? karena dengan kita menegur seseorang yang berbuat salah, kita mencoba mendorongnya ke arah yang lebih baik. Orang tersebut juga terselamatkan dari kenikmatan dosa yang telah ia perbuat.

Sebagai contoh, seorang murid menegur temannya yang menyontek. Jika ia mendengarkan, maka kemungkinan ia akan tidak akan melakukannya lagi dan dia juga akan memperingatkan temannya yang lain yang menyontek agar tidak menyontek. Jika ia terus-menerus menyontek, maka kemungkinan suatu hari ia akan ketahuan dan mendapat sanksi. Jadi kesimpulan dari pendapat saya adalah menegur seseorang yang berbuat salah itu perlu untuk menjadikan kehidupan lebih baik.

Marvin
XIC/26

ayam katsu mengatakan...

Nicholas Lay 11-6/23 CC25
Saya setuju dengan hal yang dibahas dalam artikel ini karena saya pun sering mengalami hal ini. Di antara ditegur maupun menegur temsn saya. Jika terjadi sebuah kesalahan atau tindakan yang tidak baik, akan lebih baik jika pelakunya langsung ditegur agar tidak terjadi lagi atau terus menerus. Kita tidak boleh takut melainkan harus berani untuk membenarkan teman kami yang salah.

Cornelius Matthew Pramono mengatakan...

Menurut saya, statement ini adalah statement yang bagus sekali dan patut untuk dicontohi pada kehidupan nyata. Ini dapat mengubah cara pandang kita terhadap rekan kita dan membuat kita semua lebih jujur. Hal ini juga membantu kita untuk bertindak dengan benar yang dapat membuat dunia lebih damai.