Penolakan grasi enam orang terpidana mati oleh Presiden Megawati dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Pasal 28 A dan 28 I menyebutkan,
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. PBB juga mengeluarkan sebuah Konvenan Hak Sipil dan Politik beserta protokolnya yang sudah menghapus hukuman mati. Aturan internasional ini seharusnya diikuti oleh Komnas HAM Indonesia yang dalam fungsi dan tugasnya mengacu pada Komisi Tinggi HAM di PBB.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa hukuman mati masih menjadi hukum positif. Karena itu, hukuman matiharus ditimpakan pada terpidana mati. Sikap tersebut didasari oleh adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan dalam pasal 28 yang berbunyi "
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.....Kenyataannya, hukuman mati memang masih tercantum dalam KUHP dan UU negara ini.
Hukuman mati atau
capital punishment akar katanya berasal dari
caput (bahasa Latin). Kata ini dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala, hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati dimengerti sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah.
DAlam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. Sanksi ini bertujuan menegakkan norma hukum dan secaraa preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Si terhukum pun menjadi contoh yang menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran.
Tujuan hukuman mati adalah pembalasan yang lebih menonjol dalam masyarakat primitif, penghapusan dosa yang dilatarbelakangi pandangan religius untuk menghapus kesalahan dengan penderitaan setimpal, membuat jera untuk pelaku kejahatan lain. Hukuman mati bertujuan pula melindungi kepentingan umum dan memperbaiki penjahat yang akan melakukan kejahatan.
Gerakan penghapusan hukuman mati telah gencar dibicarakan sejak abad ke-18. Beberapa tokohnya antara lain: Montesquieu menulis
Lettres-persanes (1721), Voltaire membela Jean Callas yang terlanjur dihukum mati, Cesare Beccaria (1738-1794) menerbitkan buku
An Essay on Crimes and Punishment.
Argumen penghapusan hukuman mati didasarkan pada alasan yang meragukan efektivitas hukuman mati. Putusan seseorang dihukum mati seringkali dianggap tidak berdasarkan observasi empirik, tetapi terbatas pada opini polisi dan bantahan para jaksa. Lebih buruk lagi, terhukum kerap kali dihukum berdasarkan motif-motif politik seperti mengancam
status quo atau berasal dari kelas sosial dana ras tertentu. Hal ini dialami oleh para budak dan kulit hitam di Amerika pada tahun 1930-1964.
Keberatan lain didasarkan pada pendapat bahwa seseorang yang dihukum mati tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Von Henting menilai hukuman mati bernilai destruktif karena negara dianggap tidak menghargai maratabat luhur warganya. Padahal negara seharusnya wajib mempertahankan nyawa warganya dalam keadaan apapun. Leo Polak menganggap hukuman mati berisiko tinggi jiwa hakim keliru dalam menentukan keputusan sementara terhukum sudah mati.
Alasan bahwa pelaku akan takut jika diberlakukan hukuman mati, tidak sepenuhnya tepat. Di negara yang memberlakukan hukuman mati pun angka kejahatan tidak turun. contohnya para teroris siap mati untuk tugas mereka dan menghukum mereka justru menjadikajn mereka sebagai pahlawan. Pemberlakuan hukuman mati tidak menyelesaikan masalah dan seringkali tidak adil. Sulit sekali membuat putusan hukuman mati bila ada aturan membawa 10 gr heroin akan dihukum mati, lantas bagaimana dengan pelaku yang membawa 9,8 gr.
Dalam beberapa penelitian tentang hubungan antara tindak kejahatan dengan hukuman mati, tidak ada kaitan yang erat. Sejak tahun 1874 Italia tidak menerapkan hukuman mati, namun di tahun 1876-1907 angka pembunuhan menurun dari 9,86/100.000 jiwa menjadi 4,86/100.000 jiwa. Sementara di Rumania yang menghapus hukuman mati sejak tahun 1865, justru angka pembunuhan menurun dari 5,6/100.000 jiwa menjadi 2,5/100.000 jiwa pada tahun 1876 - 1907. Saat ini ada 35 negara yang menghapus total hukuman mati, 18 negara menghapusnya kecuali untuk kejahatan perang dan 27 negara mempertahankan hukumam mati tetapi tidak pernah melaksanakannya.
Meskipun angin penghapusan hukuman mati telah berhembus, masih ada negara-negara yang menerapkan hukuman mati. Negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati kebanyakan adalah negara-negara totaliter komunis. Dalam ideologi komunis, pribadi manusia harus kalah dengan kepentingan negara, partai dan ideologi komunis. Negara dunia ketia yang menerapkan hukuman mati lebih karena kecenderungan kolektivisme, pemerintah yang otoriter serta adanya kaum fundamentalis. Pada tataran moral dapat dikatakan kepekaan negara-negara tersebut terhadap keluhuran martabat manusia dan hak-haknya belum sangat halus atau mereka berpendapat bahwa pribadi manusia dapat dikorbankan demi stabilitas nasional.
Dari uraian di atas tampak bahwa sebenarnya pro dan kontra terhadap kukuman mati telah berlangsung sejak lama. Ketika Litbang
Kompas mengadakan jajak pendapat, sebagian besar responden (76 %) menyetujui penerapan hukuman mati sebagai tingkat hukuman paling berat kepada terpidana kasus berat. Para responden menyebutkan beberapa kasus yang pantas dijatuhi hukuman mati yaitu: pembunuhan berencana 32,4 %, narkoba 29,2 %, terorisme 11,7 %, pemerkosaan 10,4 %, dan korupsi 9,1 %. Sikap setuju terhadap hukuman mati tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor lemahnya penegakan hukum, ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, dan makin maraknya aksi kejahatan. Legitimasi negara untuk menentukan hidup mati seseorang pun semakin kuat dengan bertambahnya kasus-kasus pidana yang diganjar hukuman mati dalam enam tahun terakhir ini.
Dari pihak terhukum muncul pendapat agar putusan hukuman mati patut ditunda atau diberikan keringanan. Alasannya beraneka seperti: pada kasus Jurit terdapat beberapa kejanggalan dalam vonis, putusan terhadap Adi Kumis dinilai tak adil karena ada pelaku yang belum tertangkap, pada kasus Sumiarsih dan Sugeng diakui bahwa inisiatif pembunuhan bukan dari Sugeng sedangkan dalam kasus Ayodya telah ditemukan bukti baru yang bisa mengubah vonis hukuman mati. Selain itu mereka telah berubah setelah menjalani hukuman penjara sekian lama. Dr Arief Budiman (
Kompas 17/2/2003) menilai sistem peradilan kita masih lemah dan berlumuran KKN sehingga kemungkinan besar terjadi ketidakadilan dalam putusan, apalagi mengingat ada banyak orang yang dosanya lebih besar justru dibiarkan bebas.
Persoalan pro dan kontra hukuman mati, jika dilihat dengan budi nurani jernih, memang tidak mudah dituntaskan. Di Indonesia, hal ini terkait dengan maraknya kejahatan sehagai akibat ketidakadilan ekonomi, politik, hukum dan peradilan. Seringkali setelah hukuman mati dilaksanakan, aneka akar permasalahan itu tidak diselesaikan secara tuntas.
Meskipun demikian ada beberapa pendapat dari ajaran Katolik yang ada membantu memperluas cakrawala berpikir dalam menyikapi hukuman mati. Santo Ambrosius pernah mengatakan: "Allah lebih menyukai perbaikan daripada kematian pendosa, Ia tidak menghendaki pembunuh dihukujm dengan pelaksanaan tindakan pembunuhan lainnya." Teolog moral Katolik, Karl H. Peschke mengalami kesulitan dalam menentukan pelaksanaan hukuman mati. Ia mengingatkan supaya daerah yang menetapkan hukuman mati menghindari kekhilafan dalam pengambilan keputusan pengadilan. Ia menyarankan penetapan grasi untuk meringankan hukuman mati ke dalam bentuk hukuman lain. Bernhard Haring berpendapat bahwa penghapusan hukuman mati adalah jalan terbaik. Alasannya, setiap orang harus melihat konsekuensi tindakan hukuman mati itu secara lebih menyeluruh dan merefleksikan dengan hati-hati semua pengalaman dan konsekuensi-konsekuensi tindakan hukuman mati tersebut. Haring membenarkan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama memuat teks yang membenarkan hukuman mati. Namun, ada pewahyuan yang melampauinya ialah Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.
Sementara John Dear mempertentangkan hukuman mati dengan sikap anti kekerasan Yesus. Argumentasinya ialah Yesus tidak menghukum perempuan yang berbuat zinah (Yoh 8: 4-7). Ia tak pernah memakai kkerasan untuk menolak otoritas negara. Yesus tidak melupakan Allah dan tidak meninggalkan kewajiban kepada kaisar. Ia mengatakan "berikan kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Mrk 12: 17). Lebih dari itu, Yesus mengajarkan kasih kepada manusia dengan firman-Nya yang terkenal: "Hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini" (Mrk 12: 29-31)
Akhir-akhir ini berkembang penghargaan terhadap nilai-nilai hidup manusia seiring denan berhembusnya isu penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Ketika presiden George W.l Bush menyerang Irak, aneka protes muncul dari berbagai kalangan suku, agama, ras dan golongan. Mereka bersatu padu menentang pelanggaran hak asasi manusia. Demikian pula penghargaan hak asasi manusia seharusnya dijunjung tinggi di negeri ini. Sebuah ensiklik keluaran Vatikan,
Evangelium Vitae artikel 56 memberi pendapat bahwa: "makin kuatlah kecenderungan untuk meminta supaya hukuman mati itu diterapkan secara terbatas atau bahkan dihapus sama sekali....hakikat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat dan jangan sampai kepada ekstrim melaksanakan hukuman mati kecuali bila mutlak perlu". Upaya yang lebih penting ialah mempromosikan penghargaan hak asasi manusia kepada seluruh warga sehingga memiliki nurani jernih sebagai kontrol yang menghalangi mereka melakukan tindak kejahatan. Di samping upaya hukum, seiring kampanye penghargaan terhadap hak asasi manusia, saat ini perlu dilakukan pendampingan terhadap 42 orang yang sedang menunggu eksekusi pidana mati, menghibur, bersikap empati, dan meyakinkan bahwa mereka berharga. Karena mereka adalah manusia yang hak hidupnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(A. Luluk Widyawan, "Mempersoalkan Hukuman Mati", dlm.
Hidup, 6 April 2003)